Saya menengok Ahok belumlah tentu sama dengan orang lain melihat Ahok. Ketika saya menengok Ahok dari sebuah pojok, bisa jadi orang lain menengok Ahok secara berhadapan atau dari belakang Ahok. Orang yang menengok Ahok secara berhadapan tentu saja berbeda dengan orang yang berada di belakang atau samping Ahok.
Tetapi ketika saya menyampaikan hasil tengokan dari sebuah pojok, tidak sedikit pembaca yang menilai bahwa hasil tengokan saya salah secara mutlak, bahkan memvonis saya berlogika jongkok. Mereka segera mencecar saya dengan bermacam cercaan. Ada yang mendadak tampil sebagai diktator, yang memaksa saya berpikir (menuliskan) mengenai Ahok sesuai dengan keinginannya (diktator dadakan tadi). Ada yang kurang mampu menyimak secara saksama tetapi lebih mampu memaki ketika pikiran (tulisan) saya membelok arah atau bertolak belakang dengan pikirannya. Dan lain-lain.
Apa boleh buat, begitulah konsekuensi logis-lazim terhadap sebuah tulisan (hasil pemikiran), yang berujung pada siapa penulisnya. Menuliskan hasil tengokan mengenai Ahok dari beberapa pojok, serta-merta saya dicurigai, diduga, bahkan dituduh mencokok Ahok ke sebuah pojok seakan memaksa Ahok untuk mojok berdua.
Pojok-pojok Berbeda
Saya memang bisa sekaligus biasa menengok Ahok dari pojok yang berbeda. Berbeda dengan sekelompok orang, sebut saja “Kelompok A”, saya menuliskan Ahok dengan judul “Soal Berhitung, Ko Ahok Kok Dilawan?”.
Pada tulisan “Soal Berhitung, Ko Ahok Kok Dilawan?”, tentu saja tidak disukai oleh Kelompok A. Tetapi, tidaklah demikian dengan kelompok lainnya, sebut saja “Kelompok B”.
Tanggapan pun berbeda pada tulisan lainnya, semisal “Seekor Ular Beludak dalam Dinamika Politik Terkini”. Tulisan satu ini disukai oleh Kelompok B, mungkin juga “Kelompok C”, “Kelompok D”, dan lain-lain, tetapi tidaklah demikian oleh Kelompok A.
Pada suatu waktu saya menengok Ahok dari pojok lain, dan menuliskannya. Misalnya “Ke-Tionghoa-an misalnya “Ke-Tionghoa-an antara Jaya Suprana dan Basoeki Tjahaja Poernama” atau malah “Ahok Tidak Pernah Tulus Demi Ambisi Politiknya Sendiri”. Di antara dua tulisan ini pun menuai tanggapan yang berbeda-beda, termasuk oleh “Kelompok E”, dan seterusnya, meskipun cukup untuk kalangan sendiri.
Kemerdekaan Memilih Pojok
Bagi saya, menyampaikan pemikiran dari tengokan mengenai Ahok tidaklah untuk menyenangkan (disukai) oleh kelompok mana pun. Saya tidak dilahirkan-dibesarkan-disekolahkan-dihidupi-disponsori-dipromosi-diongkosi oleh kelompok mana pun dari kelompok-kelompok itu. Saya melatih diri dalam kepenulisan, toh bukanlah lantaran dari hasil bimbingan atau binaan dari kelompok-kelompok itu. Saya demam, lapar, haus, tidak memiliki uang, menganggur, dan seterusnya, tiada satu kelompok pun (dari kelompok itu) yang peduli pada kondisi saya. Nah, apa pedulinya saya pada kelompok-kelompok itu?
Secara murni dan konsekuen saya seorang independen (merdeka), sebagaimana saya lahir dan kelak jika mati (meninggal dunia). Sebagai seorang yang independen, tentu saja, saya tidak akan berkelompok dengan orang-orang yang juga independen. Sekelompok orang yang independen, dan mendeklarasikan kelompok tersebut sebagai “kelompok independen”, justru sebenarnya sudah tidak independen lagi.
Di pojok lain saya heran ketika menengok sekelompok orang yang sangat lantang memproklamirkan diri sebagai KelompokAhok. Semula kelompok ini menginginkan sebuah independensi (jalur independen) dalam suatu tujuan dengan alasan bahwa kelompok-kelompok ber-status quo selalu ‘berkepentingan’ bagi kelompok-kelompoknya sendiri.
Herannya saya ketika kemudian kelompok ini justru tidak lagi independen alias bergabung dengan kelompok-kelompok tertentu. Independensi macam apa, sih, yang sebenarnya sedang dipertunjukkan dengan mendompleng kata “independen” itu?
Tetapi apalah gunanya membiarkan diri saya terheran-heran sendiri, selain tetap berpegang pada independensi saya sendiri. Dengan memegang prinsip independen ala saya sendiri, saya bisa dan biasa leluasa menempatkan diri pada pojok-pojok yang saya pilih sendiri sesuai dengan diri saya sendiri.
Dan, dengan prinsip independensi (kemerdekaan) saya sendiri, kelompok manapun tidak berhak ataupun wajib memaksa (menjajah; memojokkan) saya untuk tetap berada pada suatu pojok tertentu. Saya pun memahami bahwa setiap orang membuat kelompoknya masing-masing, dan antarkelompok bisa-biasa saling memusuhi (dalam situasi tertentu demi suatu kepentingan), bahkan sering pula dalam lingkup internal kelompok mereka sendiri. Apa faedahnya bagi saya jika harus menyenangkan satu kelompok tetapi tidak menyenangkan kelompok lainnya?
Demikian halnya ketika saya berada pada pojok yang berbeda ketika menengok Ahok. Saya tidak pernah memiliki kepentingan apa pun terhadap seorang Ahok dan kelompok manapun karena saya seorang independen yang murni dan konsekuen. Dengan sikap independen saya bisa dan biasa menengok Ahok dari pojok-pojok manapun tanpa ditunggangi para joki atau direcoki suatu kelompok yang berkepentingan terselubung.
Inilah kemerdekaan sejati bagi saya, yaitu ketika bisa-biasa leluasa mojok, bahkan sambil jongkok di manapun!
*******
Panggung Renung, 4 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H