Entah berapa banyak teori, tips, atau buku tentang menulis, atau mengarang. Salah satu yang terkenal adalah Mengarang itu Gampang karya Arswendo Atmowiloto.
Menulis ataukah mengarang? Pasnya : menulis karangan. Itu sajalah. Karena, ada orang yang mengarang secara lisan alias berbicara hal-hal yang tidak jelas kebenarannya. Sering terjadi, bukan?
Nah, apakah memang gampang menulis karangan? Gampang. Benar, gampang. Yang terutama adalah tidak buta huruf sekaligus bisa menulis. Tidak perlu ditambahi dengan gelar pendidikan, apalagi dengan keseharian yang rajin membaca.
Orang yang tidak buta huruf,tentu saja, setiap hari akan membaca. Entah membaca apa saja yang terlihat, termasuk kalimat keramat “Seribu Rupiah” pada lembaran hijau bergambar Patimura ataupun “Seratus Ribu Rupiah” pada lembaran merah jambu yang bergambar Soekarno-Hatta.
Dan, tentu tidak susah, menuliskannya kembali pada selembar kertas, “Seribu Rupiah” atau “Seratus Ribu Rupiah”, ‘kan? Tentu tidak susah alias mudah-gampang.
Selanjutnya,bagaimana agar bisa menjadi sebuah karangan alias meneruskan tulisan “Seribu Rupiah” atau “Seratus Ribu Rupiah” itu?
Setelah terutama (tidak buta huruf sekaligus bisa menulis), berikutnya utama. Apa itu? Pikiran yang berisi ingatan bahkan khayalan. Singkatnya: ingatan atau khayalan.
Tidak usah susah-payah membuka buku atau mesin pencari informasi mengenai sejarah, Patimura, Soekarno-Hatta, dan sekitarnya. Cukup dengan mengingat suatu peristiwa ataupun khayalan berkaitan seribu rupiah atau seratus ribu rupiah.
Coba tuliskan ingatan atau khayalan itu; apa saja yang terlintas dalam pikiran. Buka saja pikiran itu sebebas-bebasnya, apa yang terlintas, lalu tuliskan sepuas-puasnya.
Misalnya begini. Dulu aku senang sekali diberi seribu rupiah. Bisa untuk jajan kerupuk. Dulu seribu rupiah bisa mendapat kerupuk berbungkus-bungkus. Kini tidak lagi. Dan seterusnya
Misalnya lagi. Tinggal seribu rupiah di kantung. Untuk beli apa, ya? Untuk beri pada siapa, ya? Dan seterusnya.
Di antara dua permisalan di atas, salah satunya bisa menjadi sebuah tulisan. Pendek-panjangnya tulisan tergantung apa yang terlintas dalam pikiran–ingatan atau khayalan.
Judulnya pun tidak perlu susah-susah dicari. Cukup dengan judul “Seribu Rupiah”. Kalau sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran, mungkin judulnya “Seribu Rupiah dari Ayah”, “Untuk Apa Seribu Rupiah?”, “Ada Apa dengan Seribu Rupiah”, “Gara-gara Seribu Rupiah”, “Seribu Rupiah Memberi Hikmah”, “Seribu Rupiah Berbuah Seratus Ribu Rupiah”, dan lain-lain.
Jadi, alangkah mudahnya menulis itu tanpa perlu susah-payah memahami aneka teori atau tips menulis, atau membaca bukunya Arswendo sampai tamat apalagi berulang-ulang, bukan?
Yang sering membuatnya menjadi susah hanyalah pikiran yang sedang mengalami kepayahan. Paling susah apabila mendadak pikun, terserang stroke parah, dipentung oknum ormas anarkis, atau ditimpa pesawat terbang yang mati mesinnya.
Semoga tulisan ini mudah dimengerti.
*******
Panggung Renung, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H