Perlahan-lahan kamu menarik leherku ke bawah. Kukira hendak berebahan di hamparan papan pondok. Kukira aksi-reaksi akan semakin hanyut, menyatu hangatnya rasa dan hasrat dengan papan pondok.
Oh, bukan. Tarikanmu tidak ke situ melainkan menyamping, ke arah pasir di bawah aku dan kamu. Tapi sebenarnya aku masih ingin menikmati pipimu dengan segenap rasa yang kupunya. Apa daya. Aku harus berkompromi dalam hal ini; mauku dan maumu akan hanyut ke mana dalam arus lautan kebersamaan.
Aku ikuti saja ketika tubuhmu bergerak perlahan, turun, dan lututmu mulai menekuk. Tanganmu dan tanganku belum berpindah; seakan enggan terpisahkan meski sejenak; seakan hendak aku dan kamu patri bersama.
Kalau sudah begini, seketika aku mengalami masa puber pertama dengan cinta pertama bersama badai cinta setaraf angin tornado melanda dinding dadaku. Sesuatu yang tidak pernah kualami, meski masa puber pertamaku memang berada di Pulau Timah ini. Entahlah dengan masa puber pertamamu–aku tidak sudi mengetahuinya karena bisa mendadak cemburu yang percuma.
Dari pipimu kuingin beralih ke daerah sekitarnya. Bukan lagi hidung menjadi juru bicara melainkan sudah diambil alih oleh bibirku. Perlahan tapi pasti tambatan rasa itu dibawa oleh kedua bibirku menuju kedua bibir ranummu.
Bergemuruhlah dadaku melampaui gemuruh ombak mencumbu pasir Pantai Rambak. Gemuruhnya seolah sebuah tabung gas 12 kg meledak menghantam batu-batu granit raksasa di dekat kita. Memang terlalu berlebihan, tetapi biarlah karena aku memang mengalami sebuah ledakan rasa yang luar biasa.
Entah berapa menit pertautan bibir dan lain-lain seperti sebuah pergulatan paling seru dalam arena supermungil di antara aku dan kamu. Ingatanku mengenai tempat mendadak lenyap. Aku tidak peduli, apakah di ruang publik ataukah dalam sela granit-granit raksasa. Semua ingatan tidak lagi berarti, kecuali luapan rasa tengah berlabuh pada dermaga terlezat seperti yang sekian tahun kudamba.
Suasana kembali berubah ketika gerakanmu mengajakku bergulingan, meski separuh ingatan masih melayang entah ke cakrawala mana. Mungkin beginilah asmara yang menyala-nyala, menghanguskan sebagian ingatan yang tidak perlu diingat.
Aku dan kamu bergulingan di pasir putih pantai. Aku dan kamu berubah posisi. Bolak-balik dalam radius sekian meter saja. Sementara ombak dan pasir pantai seakan tidak sudi mengalah. Percumbuan mereka pun tetap seru dan bergemuruh.
Tapi segera kuhentikan karena aku khawatir pasir-pasir memasuki kaus dan celanamu. Tapi kamu tetap ingin berguling-gulingan sembari memeluk aku.
“Biarlah pasir-pasir itu masuk karena sebentar lagi aku ingin mandi air lautmu setelah larut dalam pelukanmu agar seluruhnya menyatu.”