Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imlek yang Terasa Banget Bangka-nya di Balikpapan

8 Februari 2016   22:31 Diperbarui: 8 Februari 2016   23:56 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walaupun sudah menjadi warga Balikpapan, Kaltim, sejak 2009, saya tidak bisa melupakan Imlek ketika masih tinggal di Sungailiat, Bangka yang kemudian saya abadikan dalam tulisan “Imlek Bagi Saya”. Selama 7 tahun saya mengunjungi rumah orang Tionghoa yang ber-Imlek hanya satu kali, yaitu rumah keluarga Pak Kiman pada 2563 atau 2012 M.

Lainnya atau selanjutnya, seperti kawan sejak 2010–si  tukang martabak rasa Bangka nan terlezat di Balikpapan alias Asen? Tidak pernah. Sebabnya? Asen sekeluarga biasanya pulang ke Pangkalpinang, Bangka. Jadi, saya ber-Imlek dengan ingatan, kenangan, dan apa saja yang ada dalam pikiran saya.

Dengan khayalan itu, kemarin, di akun FB saya pun mengucapkan “Gong Xi Fa Chay, Selamat Kongien” berlatar foto pemandangan depan Puri Tri Agung, Sungailiat, yang saya kunjungi pada 2 November 2015. Dua hari sebelumnya, saya memajang foto berupa kotak martabak “Asen” yang “paling Bangka se-Balikpapan”. Kedua pajangan tersebut merupakan “kerinduan” ber-Imlek saya yang telah jauh dari Bangka.

 

Pada pajangan foto kotak martabak, kawan saya–Pak Puji, seorang Muslim-Jawa yang rajin sholat dan dosen di sebuah universitas di Balikpapan –mengomentari  dengan menyebut nama “Pak Kiman”. Saya teringat, pada Imlek 2012 itu saya ber-Imlek di rumah Pak Kiman karena diajak oleh kawan saya itu. Apakah kawan saya sengaja “menyindir” agar saya mau diajak lagi ber-Imlek ke rumah Pak Kiman?

 

Langsung saya tanggapi dengan ajakan ber-Imlek ke rumah Pak Kiman. Apa asyiknya ber-Imlek hanya dalam kepala saya sendiri, ‘kan? Saya harus membumi; Balikpapan bukanlah Sungailiat. Baiklah.

 

Dan, senyampang kawan saya lainnya–Agus, sealumni kampus dengan saya–berkunjung ke rumah pada malam sebelum Imlek. Dalam kunjungannya, dia sempat menelpon seorang kawannya–Amuk, orang Bangka. Dia mengucapkan “Selamat Imlek”. Ternyata pada Imlek ini kawannya berada di Balikpapan (biasanya ketika Imlek dia berada di Jakarta), dan menyuruh kawan saya untuk datang.

Beberapa bulan silam kawan saya pernah mengenalkan saya pada Amuk melalui hubungan seluler. Sebagai sesama orang Bangka, apalagi satu kabupaten (Bangka Induk), saya dan Amuk ngobrol menggunakan bahasa Bangka bercampur Tionghoa. Obrolan berasa di daerah sendiri.

Ya! Berarti Imlek 2567 atau 2016 M kali ini saya akan mengunjungi dua orang Tionghoa-Bangka! Berarti juga saya tidak perlu mengulangi Imlek hanya dalam kepala saya sendiri, apalagi kalau diam-diam ada yang menuduh saya sedang galau tingkat Kotamadya Balikpapan.

Imlek, yang kata orang, berhubungan intim dengan hujan, tidaklah demikian pada Imlek 2016. Satu hari menjelang Imlek, cuaca tampak galau. Mendung sebatas iklan. Demikian pula ketika bertepatan dengan Imlek 2016. Hubungan intim tersebut tidak perlu saya percaya. Mending percaya bahwa kunjungan Imlek akan lebih bermanfaat dalam kesehatan pikiran.

Ini Balikpapan. Imlek-nya tanpa hujan pada 2016. Di Bangka, menurut berita, malah terjadi banjir di beberapa tempat. Sepertinya cuaca sedang mendukung saya untuk keluar rumah; bukannya berkhayal melulu.

 

Maka, dalam suhu udara yang cukup gerah (Monyet Api sedang memanggang Balikpapan) pada pkl. 13.00 WITA saya dan kawan saya berangkat ke rumah Amuk. Hanya sekitar 15 menit perjalanan, kami pun sampai.

 

Di sanalah saya benar-benar bertemu dan ngobrol langsung dengan Amuk. Dia berasal dari daerah Pantai Rebo, yang berkecamatan Kenanga. Daerahnya, tentu saja, bukan daerah baru bagi saya. Kemudikan saya sampai berkunjung dan terabadikan dalam foto berupa Puri Tri Agung memang daerahnya.

 

Amuk berada dan bekerja di Balikpapan sejak 2012. Di rumah bertipe 45 dengan gaya masa kini (minimalis amburadul) sebagiann halamannya ditanami bayam itu dia tempati baru satu tahun. Sebelumnya masih mengontrak rumah di sana-sini.  

Pada kesempatan Imlek ini saya pun bisa berkenalan dengan istrinya (saya lupa namanya!). Ternyata istrinya sealumni dengan saya di SD dan SMP Maria Goretti, Sungailiat! Istrinya adik kelas saya tetapi jauh tahun perbedaannya. Istrinya masih tergolong keponakan Pak Min Ho–guru bidang pelajaran Matematika dan Olah Raga di SD Maria Goretti. Wadaw!

Wadaw lagi, sajian Imlek mereka adalah tekwan. Cocok! Imlek kali ini sangat terasa Bangka-nya bagi saya. Memang tidak perlu repot berkhayal, jika Imlek di Balikpapan adalah kenyataan, meski saya harus beralih ke rumah Pak Kiman tanpa disertai kawan saya karena dia akan ke rumah kawannya.

Letak rumah Pak Kiman masih lekat dalam ingatan saya. Dua tiang ulin (kayu hitam) yang masih utuh (bulat) di teras sampingnya adalah penanda utama sejak Imlek 2012. Dan, memang tidak berubah.

Sekitar pkl. 15.00 WITA saya berada di teras samping yang berkursi potongan kayu ulin itu. Pak Puji belum sampai. Ketika saya hubungi, tidak ada sahutan di seberang udara sana. Baiklah, saya lanjutkan obrolan dengan Pak Kiman.

Pak Kiman berasal dari Kampung Opas, Pangkalpinang, Bangka. Saya teringat, di daerah itu terdapat kantor konsultan bangunan, yang pernah menjadi tempat kerja saya. Oh, ini suatu kebetulan seperti apa lagikah?!

Berikutnya Pak Kiman berada di Balikpapan pada 1999. Menempati rumah bertiang ulin itu sejak 2002. Dia masih memiliki lahan seluas 4 hektar di daerah Balikpapan Timur. Sebagian lahannya di sana ditanaminya dengan pepohonan buah, dan sedang ditanami sahang (lada; merica) yang berasal dari Bangka.

Ya, Pak Kiman memang rajin berkebun. Berkebun merupakan salah satu kegiatan yang ditekuni oleh masyarakat Tionghoa-Bangka. Bahkan, saya tidak heran, seorang kawan sealumni saya di SMP Maria Goretti adalah seorang pekebun sayur di daerah Jalan Laut, Sungailiat.

Kemudian saya sempatkan menghubungi Pak Puji lagi. Tersambung. Ternyata Pak Puji ketiduran. Pak Puji pun segera berangkat ke rumah Pak Kiman.

Pkl. 17.50 WITA Pak Puji datang. Tapi saya tidak bisa menemani ngobrol tingkat lanjut karena saya harus pulang (setelah perut kenyang soto dan es buah cempedak). Ya, pkl. 18.15 WITA saya berpamitan pada Pak Kiman sekeluarga.

Imlek 2567 atau 2016 M ini alangkah senangnya saya, meski hanya berkunjung ke dua rumah orang Tionghoa. Senangnya saya karena bisa ber-Imlek lagi, ngobrol dengan sesama Bangka, dan berbahasa Bangka bercampur Tionghoa. Terasa sekali Bangka-nya!

 

*******

Panggung Renung – Balikpapan, 8 Februari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun