Kubiarkan bibirku terlepas dari bibirmu sesaat sehingga angin pantai langsung dan leluasa menyeret hela nafas kita. Aku merasa semua ini hanya mimpi, atau cerita fiksi yang belum sempat menjadi gagasan dalam seluruh waktu perenunganku.
“Faktakah ini?”
“Hantukah aku ini?” sahutmu disusul sekuntum senyum yang jauh lebih indah dari kuntum bunga seluruh dunia. Bibirmu yang barusan memabukkan, jauh lebih nikmat daripada anggur terbaik di seluruh dunia.
Aku ingin meyakinkan diriku sendiri, apakah kenyataan ini merupakan sebuah fakta ataukah justru fiksi yang sedang kutuliskan. Kutatap wajahmu dengan cara saksama dalam tempo sesingkat-singkatnya. Singkat sekali karena kamu mengagetkan aku dengan sebuah rangkulan di leherku.
Kedua lenganku bergerak ke arah pinggangmu dengan berpikir, apakah ini fakta ataukah fiksi belaka. Sementara pandanganku terpaku pada pukau matamu yang khas orientalis nan sarat daya magis.