Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Suduk] Tidak Semua Tulisan Wajib Dibaca

23 Januari 2016   21:52 Diperbarui: 23 Januari 2016   23:12 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada 5 Maret 2013 atau nyaris 3 tahun saya resmi bergabung di Kompasiana, meskipun tanpa mendapat surat keterangan resmi (berstempel) langsung dari Kompasiana mengenai keanggotaan saya dengan sebutan kompasianer. Barangkali itu seperti yang tidak pernah dikatakan oleh Shakespeare, “Apalah arti sebuah surat.”

Ketertarikan saya untuk bergabung di blog milik Grup Kompas-Gramedia ini dikarenakan oleh, pertama, tulisan yang diambil dari Kompasiana, dan dibagikan oleh seorang kawan di media sosial FB. Saya lupa apa judul dan genre tulisan itu tetapi saya langsung membukanya.

Kedua, Kompasiana memberikan ruang untuk tulisan fiksi-nonfiksi melalui rubrik-rubriknya , setelah saya membuka tulisan yang dibagikan seorang kawan tadi. Rubrik politik, media, pendidikan, wisata, dan lain-lain. Dengan aneka tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi tetapi bukan berita semacam jurnalistik melainkan opini atau esai, memberi nuansa tersendiri yang tidak ada di media umumnya.

Ketiga, para kontributor tulisan (kompasianer) dan pembaca (non-kompasianer), saya duga, berjumlah banyak karena nama besar Kompas yang dipercaya, mudah bisa dibaca (diakses), dan lingkungan pembaca yang berbeda dari jejaring sosial (FB dan TW) dalam pertemanan dengan saya.  

Ketiga hal di atas menyuguhkan aneka rasa informasi sesuai dengan selera baca saya. Meskipun saya tidak mengenal siapa penulisnya (kompasianer) karena tidak setenar, misalnya Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Adidarma, Arie Budiman, Darmaningtyas, dll., atau mungkin penulisnya sesungguhnya memang tenar tetapi menggunakan nama samaran, saya bisa menambah wawasan alternatif. 

Yang menambah ketertarikan saya adalah siapa pun, baik penulis berpengalaman maupun pemula, dibebaskan menulis. Dari judul saja saya bisa menduga, apalagi isinya. Ada yang tenang, sensual, provokatif, tergesa-gesa, dan lain-lain. Soal mutu apalagi jika sebenarnya merupakan fitnah atau hoax, bukanlah kompetensi saya karena saya sendiri bukanlah seorang pembaca yang bermutu-kritis.

Kompasiana, menurut saya, merupakan salah (salahnya apa, sih?) satu media alternatif secara online. Sepanjang pemahaman saya mengenai media alternatif, Kompasiana-lah yang paling terdepan. Pertama-tama membaca artikel-artikel di Kompasiana, saya kaget. Betapa merdekanya kompasianer menyampaikan pendapat atau pengalaman. Kalau dikirim ke media cetak (koran atau majalah), belum tentu segera dimuat, dan dibaca.

Memang, tidak semua perlu bahkan wajib dibaca. Sama juga dengan media lainnya, tidak semua perlu diperhatikan. Kalau diibaratkan sebuah hajatan besar, tidak semua makanan yang tersaji wajib dimakan apalagi dihabiskan. Makanya, saya membaca beberapa artikel saja.

Dari membaca beberapa artikel di Kompasiana itulah saya pun tertarik untuk membagikan pemikiran plus semacam catatan perjalanan saya secara bebas, terlebih saya bukanlah penulis yang rajin menembus media mainstream (media cetak), dan mayoritas tulisan saya memang tidak layak menembus media cetak.

Sebenarnya melalui tulisan-tulisan itu saya hendak menyatakan “begini lho menurut pendapat saya” pada situasi aktual, “begini lho kenyataan yang saya alami” pada situasi yang saya alami sendiri, atau “begini lho khayalan saya” pada situasi imajinatif (dengan adanya fiksiana). Saya sangat menyukai Kompasiana karena kehendak dalam pendapat pribadi mendapat tempat secara merdeka, dan dibaca orang lain, walaupun jumlah pembaca hanya sedikit. Ya, seperti yang sudah saya sampaikan, tidak semua tulisan saya pun wajib dibaca.

Bagi saya, jumlah pembaca bukanlah sebuah hal yang merisaukan (mendukakan) saya, kendati tulisan saya sebenarnya “serius” (faktual). Adanya nilai (menarik, inspiratif, aktual, bermanfaat, dll.) atau komentar dari para pembaca, dan label (pilihan atau headline) dari redaktur Kompasiana, bukan juga hal yang penting bagi saya. Yang terpenting adalah pemikiran saya melalui tulisan sudah saya sampaikan.

Yang merisaukan saya justru membagi waktu dengan kegiatan utama-wajib saya karena saya juga harus bekerja (realistis), selain menyampaikan ‘sesuatu’ melalui tulisan untuk Kompasiana. Tidak jarang saya gregetan sendiri karena saya tidak memiliki kesempatan untuk menulis sesuatu yang aktual lalu memajangnya di Kompasiana. Padahal, bahan dan gagasan sudah tersedia bahkan selalu ada. Padahal juga, menulis merupakan upaya saya melawan lupa, dan mencatatkan sesuatu yang bisa menjadi bagian dari sebuah sejarah kecil, minimal untuk diri saya sendiri.

Ya, menulis, bagi saya, merupakan upaya melawan lupa, dan menyampaikan pendapat yang belum tentu suatu waktu kelak akan saya ucapkan karena faktor usia dan kesehatan yang menjadi misteri hidup siapa pun. Menulis juga merupakan sebuah terapi khusus untuk mendayagunakan ingatan, pengetahuan, niat-itikad, dan lain-lain.

Melalui tulisan-tulisan yang terpajang di Kompasiana, saya sudah menyelesaikan bagian-bagian yang menjadi ganjalan (ketiadaan kesempatan) ketika ada kawan yang bertanya atau meminta pendapat saya. Tersering saya memberi tahu kawan-kawan saya bahwa hal semacam “apa saja itu” sudah saya tuliskan dan terpajang di Kompasiana. Saya tidak usah susah-susah mengulang dengan bercerita secara lisan. Bahkan, tidak jarang, tulisan saya lebih lengkap daripada penyampaian saya secara lisan.

Puji Tuhan sampai pada 23 Januari 2016 saya masih menjadi seorang kompasianer, dan tetap diberi kesempatan memajang tulisan di Kompasiana. Tulisan terbaru saya, ya, ini, dengan label “Suduk” (Suka-Duka Kompasianer). Saya berharap Kompasiana selalu ada seperti adanya sekarang ini. Soal bertaburnya tulisan dari sebagian kompasianer yang tidak jelas visi-misinya, semua itu kembali kepada pertanggunjawaban hidup mereka sendiri. Terima kasih, Kompasiana!

 

*******

Kebun Karya & Panggung Renung – Balikpapan, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun