Yang merisaukan saya justru membagi waktu dengan kegiatan utama-wajib saya karena saya juga harus bekerja (realistis), selain menyampaikan ‘sesuatu’ melalui tulisan untuk Kompasiana. Tidak jarang saya gregetan sendiri karena saya tidak memiliki kesempatan untuk menulis sesuatu yang aktual lalu memajangnya di Kompasiana. Padahal, bahan dan gagasan sudah tersedia bahkan selalu ada. Padahal juga, menulis merupakan upaya saya melawan lupa, dan mencatatkan sesuatu yang bisa menjadi bagian dari sebuah sejarah kecil, minimal untuk diri saya sendiri.
Ya, menulis, bagi saya, merupakan upaya melawan lupa, dan menyampaikan pendapat yang belum tentu suatu waktu kelak akan saya ucapkan karena faktor usia dan kesehatan yang menjadi misteri hidup siapa pun. Menulis juga merupakan sebuah terapi khusus untuk mendayagunakan ingatan, pengetahuan, niat-itikad, dan lain-lain.
Melalui tulisan-tulisan yang terpajang di Kompasiana, saya sudah menyelesaikan bagian-bagian yang menjadi ganjalan (ketiadaan kesempatan) ketika ada kawan yang bertanya atau meminta pendapat saya. Tersering saya memberi tahu kawan-kawan saya bahwa hal semacam “apa saja itu” sudah saya tuliskan dan terpajang di Kompasiana. Saya tidak usah susah-susah mengulang dengan bercerita secara lisan. Bahkan, tidak jarang, tulisan saya lebih lengkap daripada penyampaian saya secara lisan.
Puji Tuhan sampai pada 23 Januari 2016 saya masih menjadi seorang kompasianer, dan tetap diberi kesempatan memajang tulisan di Kompasiana. Tulisan terbaru saya, ya, ini, dengan label “Suduk” (Suka-Duka Kompasianer). Saya berharap Kompasiana selalu ada seperti adanya sekarang ini. Soal bertaburnya tulisan dari sebagian kompasianer yang tidak jelas visi-misinya, semua itu kembali kepada pertanggunjawaban hidup mereka sendiri. Terima kasih, Kompasiana!
*******
Kebun Karya & Panggung Renung – Balikpapan, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H