Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tarian Ilalang

18 Januari 2016   16:07 Diperbarui: 18 Januari 2016   16:08 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilalang-ilalang bertangan kapas

di atas tanah Tuhan

-- tiada tuan selain Tuhan --

Kebebasan berada bertumbuh berkembang biak

dari kebakaran kepala-kepala

Yang selalu menghidupkan bara dalam dada-dada

Menyulut-nyulut telapak-telapak

Ilalang berjingkrak-jingkrak

 

Maunya menggapai matahari

Mimpinya meraih rembulan bebintang

Sampai kapankah hanya kembali ke tanah

Kerontang bertabur koreng

 

Api kemarau tiba tanpa agenda

Burung-burung bertepuk tangan

Dedaunan merapal mantera

Ilalang melambai-lambai memanggil

Angin membawa irama

Seandainya mau mimpi terkabulkan

 

Angin malah mengecup

Setiap senti tubuh-tubuh ilalang

Menggelinjang-gelinjang

 

Kegelian memanggul gejolak

Memanggang kemarau

Jejangnya batang-batang melupa

Dedaunan merapal parau

 

Kecupan-kecupan pun berirama

Ilalang-ilalang bergoyang-goyang

Menari-nari dalam ritual harian

-- Seandainya mau mimpi terkabulkan --

Pohon-pohon bergesekkan

Menajamkan diri

Setajam parang mengancam siapa pandang

Menagih darah para pendekar konyol

 

Di atas tanah Tuhan

Tubuh-tubuh ilalang bergoyang-goyang

Tangan-tangan kapas melambai-lambai

Gemulai seirama segerak tari-tarian ritual

Sembari menadah-nadah

Ke mana angin memuncak kecupan

Mencabut birahi ke lipatan langit ungu

 

Maunya menggapai matahari

Mimpinya meraih rembulan bebintang

Sampai kapankah hanya merasa sinarnya

 

Gemuruh riuh burung-burung

Gemetar dahan-dahan menahan geram

Berguguran daun-daun merontokkan doa

Dipagut punguti rumput-rumput tetangga

Yang iri sejak terusir dari tiang-tiang ulin

 

Kepala-kepala pecah berantakan

Sibuk mencari nafasnya sendiri-sendiri

Api tertimbun dalam dada-dada

Membakar bara-bara di ulu hati

 

Di atas tanah Tuhan tanpa tahta

Ilalang bergoyang-goyang

Menari-nari bersimbah birahi

Membebaskan diri

Dari persinggahan para belalang

Dalam gelora nyalang kemarau

 

*******

Kebun Karya, Kala itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun