“Mencatut” antara nama “seorang tokoh” dan “sekelompok rakyat” merupakan kegemaran dan kebiasaan sebagian orang Indonesia, entah apa saja tujuannya, yang bisa saya duga sebagai bagian dari “politik”, baik “politik individu” (persoanal) maupun “politik sosial” (satu atau banyak kelompok). Saya sering menemukan faktanya dari dulu hingga sekarang.
Dan, sekali lagi, inilah politik sejati, dan telah ditampilkan oleh legislatif (MKD dan sebuah partai yang ‘mbalelo’) di Senayan, Jakarta. “Kepentingan” menjadi ujung tombak semua partai politik, dan alasan utama-terutama untuk ngotot atau membelot. Dengan lincah mereka menggunakan istilah budaya-agama demi tujuan politis, misalnya “saya tidak bersalah”, “saya dizalimi” atau “mereka melakukan kejahatan terhadap saya”. Bukankah sesuatu yang wajar-jamak jika para politikus menggunakan istilah apa pun untuk tujuan politik itu sendiri?
Begitu pula orang-orang dalam eksekutif, dengan menyisipkan “kepentingan” masing-masing. Mengapa presiden begini, wakil presiden begitu, para menterinya beginu, dan seterusnya? Saya tidak perlu mengutip soal “begini”, “begitu”, dan “beginu” karena sudah termediakan.
Oleh karenanya saya beranggapan, tidak ada yang luar biasa; tidak ada yang melanggar istilah “politik”; tidak ada yang merusak hakikat politik; tidak ada yang mengkhianati politik. Kalau soal merusak pemahaman sebagian masyarakat Indonesia mengenai politik, alangkah baiknya kembali membuka buku-buku politik, baik dulu maupun kini. Paling tidak, sidang MKD pada Senin, 7 Desember kemarin, malah sedang mengajari komedi dan drama dalam politik yang sejati itu bagaimana semestinya.
Justru, bagi saya pribadi, yang luar biasa aneh bin ajaib adalah reaksi spontan MKD lainnya alias “Mereka Kecewa & Dongkol”. Saya mengamati “MKD lainnya” ini begitu gemas dan geram atas keputusan akhir yang berbunyi “tidak bersalah”. Lho, betapa tidak luar biasa, wong ya politik itu bukanlah sebuah dunia dwi-warna alias putih-hitam; sebuah ujian di sekolah yang berisi “benar atau salah”; atau sebuah kotbah di mimbar-mimbar rumah ibadah yang hanya mengenal “suci dan dosa”.
Luar biasanya lagi ketika sebagian tokoh agama mencemooh MKD serta oknum-oknum yang terlibat seolah mereka (MKD dan oknum-oknum itu) adalah komplotan antek iblis-setan yang sangat pantas untuk diadili-dikutuki-dikecam-dirajam secara total-moral. Apa-apaan ini?
Kata “kehormatan” dalam ranah politik tidaklah sama dengan “kehormatan” dalam ranah agama-spiritualitas. Kata “moral” pun tidak bisa sama antara budaya dan politik. Kalau “kehormatan” dan “moral” disamakan artinya pada ranah agama-budaya-pendidikan dan politik, bukanlah mustahil politik sudah kehilangan jati dirinya.
Bukankah politik itu menghalalkan segala cara demi tujuan politik itu sendiri? Kalau politik tidak menghalalkan segala cara, pastilah politik-politikan. Sebaliknya, kalau agama menghalalkan segala cara, itu jelas berbahaya alias agama berpolitik. Perang Salib atau Yesus disalibkan adalah bukti historis, bagaimana busuknya tokoh agama yang berpolitik!
Saya juga heran lho. “MKD lainnya” dan sebagian tokoh agama yang begitu getol memelototi media, termasuk media sosial, seolah-olah paling cerdas sedunia dalam hal politik, tetapi, kok, malah mengalami kemerosotan pemahaman yang drastis terhadap kesejatian politik itu sendiri, ya? Jangan-jangan selama ini, sebenarnya, “kelompok kecewa-pencemooh” ini mendadak mengalami amnesia terhadap kesejatian politik, dan peristiwa “Senin, 7 Desember 2015” membuktikan keamnesiaan itu?
Jangan-jangan lho, ya? Atau mungkin, ada Pembaca yang curiga, diam-diam saya kecipratan “saham” dan mendapat tiket gratis untuk terbang ke Negeri Paman Sam nih? Wah, bisa terbang saya!
*******