Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

MKD Mengajari Komedi dan Drama dalam Politik Sejati

8 Desember 2015   07:12 Diperbarui: 8 Desember 2015   16:09 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya menandai “Senin, 7 Desember 2015” sebagai hari istimewa bagi Indonesia, khususnya bagi para peminat dinamika politik mutakhir. Hari istimewa berkaitan dengan Mahkamah Kehormatan Dewan yang benar-benar “memberi kado Desember”.

Dari foto-foto dalam sebuah kampanye seorang capres Negeri Paman Sam sampai transkip dalam obrolan tiga pemeran lakon “Papa Minta Saham” tiba di Senayan, Jakarta, bagi saya pribadi, bukanlah sebuah peristiwa yang perlu dihebohkan hingga menjadi “masalah kegaduhan dadakan”. Semuanya masih berada dalam ruang dan koridor politik. Tidak ada yang keluar dari sana. 

Dan, cobalah untuk kembali ke ranah politik sejati, yang selalu berslogan “Tiada Kawan-Lawan Abadi, kecuali Kepentingan”.  Misalnya, si A ternyata berkomplot dengan si B, sementara si C berkomplot dengan si D, dan seterusnya, lantas komplotan lainnya merasa dibagaimanakan sehingga terjadilah “masalah kegaduhan dadakan”. Yang paling menggiurkan dan sangat menyilaukan adalah emas sekaligus pengelolaan tambangnya. Yang lainnya, belumlah tampil di permukaan perebutan antarkomplotan. 

Oh iya? Iya! Bagi sebagian politikus Indonesia, menjadi mitra Paman Sam itu biasa. Menjadi makelar bahkan pemilik saham di sebuah perusahaan pun biasa. Tidak ada yang asing, aneh, baru, atau fenomenal. Saya tidak pernah kaget, meskipun tidak secara persis-gamblang mengetahui posisi strategis politikus dalam sebuah kemitraan ataupun kemakelaran itu. 

Realitas dinamika politik nasional mutakhir pun masih tegas-tandas menampilkan rivalitas antarkubu pasca Pemilu 2014. Di kalangan akar rumput, masih saja terdapat Jokowers (pendukung Presiden Joko Widodo) dan Jokoters (penolak-pembenci Presiden Joko Widodo). Kemudian, anggota sebuah kubu ternyata mengulangi lagi pem-mbalelo-annya seperti periode sebelumnya, juga masih menunjukkan kesejatiannya berpolitik praktis yang legal secara administratif. 

Siapakah yang sesungguhnya telah “membesar-besarkan” ataupun “mengecil-ngecilkan” suatu peristiwa nasional berkaitan dengan dinamika politik nasional mutakhir? Bukankah suatu riak kecil bisa digelorakan, dan riak besar bisa diredamkan? Ada kepentingan apakah di balik semua itu? Dan, siapa sajakah yang ternyata sedang berebut keuntungan sekaligus beribut kerugian dari kegaduhan itu? 

Sementara di tingkat regional, tepatnya Pilkada serentak ini, anggota sebuah kubu nasional bisa menyeberang-merapat ke kubu rivalnya. Tidak ada yang protes bahkan gaduh di media manapun. Semua berjalan biasa-biasa saja dengan segala kepentingannya masing-masing, dengan suatu komedi-drama yang sesuai dengan daerahnya. Siapa yang diuntungkan atau dirugikan, coba? 

Di tingkat sosial sekitar rumah pun saya tidaklah kaget pada realitas yang situasional. Misalnya ada seorang fungsionaris partai di dekat rumah lalu selalu memberi “sumbangan” pada setiap hajatan RT apalagi berurusan dengan hal-hal ibadah, lantas orang-orang sekitarnya mengatakan bahwa orang itu baik dan patut dipilih lagi pada periode berikut. Padahal, tidak seorang pun dari orang-orang sekitarnya yang mengetahui asal-muasal sekaligus motivasi “sumbangan” itu, bahkan langsung menghardik, “Jangan su’udzon!” 

Misalnya lagi, seorang fungsionaris partai masih terhitung sanak keluarga bagi orang-orang sekitarnya. Orang tersebut sangat “dermawan”, bahkan tidak seorang sanak keluarganya yang dipilihkasihkan. Tapi soal asal-muasal “derma”-nya, seluruh sanak keluarga tidak suka berburuk sangka dengan nasihat “jangan su’udzon”. Sanak keluarganya pasti akan mensosialisasikan, “Dia orang baik, sangat peduli pada keluarga besar.” Maka, kalau orang tersebut kembali mencalonkan diri, tentu saja akan didukung sepenuhnya oleh seluruh anggota keluarga besarnya. 

Bagaimana dengan catut-mencatut nama? Wakil rakyat, di satu sisi, merupakan cerminan sebagian rakyat, dimana sebagian rakyat pun biasa “mencatut” nama seorang tokoh yang disegani atau memiliki suatu “pengaruh” (power) dalam suatu tatanan budaya-sosial-politik sekitarnya. Mengaku-aku “saudara siapa” atau “dekat siapa”, padahal dirinya sendiri “bukan siapa-siapa”. 

Jangankan nama “seorang tokoh” yang berpengaruh, lha wong nama “bukan tokoh” alias “rakyat” selalu “dicatut” pada suatu waktu untuk sebuah kepentingan tertentu. Tidak sedikit orang akan “mencatut” nama “rakyat” pada suatu waktu itu karena, meski kelihatannya ‘sepele’, nama “rakyat” memiliki kekuatan luar biasa, minimal untuk perolehan suara di Pilkada dan Pemilu. Mengapa “rakyat” tidak muntap, marah atau naik pitam ketika namanya sering “dicatut” bahkan secara gamblang-berulang-ulang? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun