Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mudik

27 Oktober 2015   23:54 Diperbarui: 28 Oktober 2015   00:52 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah mudik atau pulang ke kampung halaman (itu pun jika kampung masih memiliki halaman, atau kampung masih seperti adanya sebagai kampung ), suatu upaya mengembalikan diri seorang perantau sejati kepada awal kehidupannya. Bertemu lagi dengan keluarga asal dan tetangga awal, seperti mengisi ulang semangat dan impian mula-mula dengan segala kepolosan (kejujuran diri) untuk menyiasati kehidupan terkini.

Mudik dalam tulisan ini tidak berkaitan dengan suatu kondisi darurat (sakit) yang sedang dialami oleh anggota keluarga. Mudik satu ini berada dalam situasi normal. Mudik yang lebih sering dilakukan oleh kalangan perantau, terutama perantau sejati alias tidak pernah kembali ke kampung halamannya dengan beraneka alasan substansial.

Setiap perantau melakukan mudik dengan pelbagai motivasi. Apa pun motivasi itu, mudik selalu menjadi semacam sebuah ‘ritual’. Maksudnya, selain sisi jiwa (soul), ada juga sisi spiritual. Keduanya berpadu dalam upaya memengaruhi raga untuk mewujudkannya sebagai sebuah kepuasan seutuhnya.  Seutuhnya karena mudik dalam wujud nyata pun selalu dibarengi dengan makan makanan di rumah, warung langganan masa lalu, dan lain-lain.

Selain ibu kandung dan rumah orangtua menjadi pusat kemudikan seorang anak kandung yang merantau, kampung halaman pun merupakan ‘ibu’ bagi seorang perantau sejati. Tidak jarang orang lebih berani menghabiskan uang yang dikumpulkan bertahun-tahun hanya untuk mudik. Hal yang paling kelihatan adalah mudik dalam rangka hari raya.

Tantangan sekaligus suatu kenikmatan yang sangat krusial bagi seorang perantau adalah jarak; jarak antara perantauan dan kampung halaman. Yang juga terasa tantangan dan kenikmatannya adalah ketika jarak lebih 200 km atau dipenggal oleh sebuah perairan, misalnya sungai besar, selat, laut, samudera, dan seterusnya.

Waktu, juga tidak kalah krusialnya, terutama jika mudik dilakukan minimal satu kali dalam satu tahun. Menjelang keberangkatan, mendadak segala kenangan dan khayalan beradu untuk mengaduk-aduk pikiran dan perasaan. Wajah orangtua, sanak-saudara, kawan-kawan lama, rumah, kampung halaman, lingkungan, dan suasana melalui ingatan berbaur berita-berita dari komunikasi akan silih-berganti tampil dalam keadaan fisik-non-fisik yang usang dan perubahan (terkini).

Begitulah mudik yang senantiasa menjadi semacam ‘ritual’ bagi sebagian orang dalam sekian waktu hidupnya. Berpulang ke pangkuan ibu (orangtua), pelukan ‘ibu’ (rumah masa kecil), dan ‘ibu’ sekitarnya (kampung halaman) merupakan tiga hal yang sangat menyenangkan dalam melakukan ‘ritual’ kehidupan seorang perantau sejati. Cerita lama, khayalan, baru, dan lain-lain menjadi cerita berikutnya, dan disampaikan dengan senang hati.

Namun, ada satu lagi mudik yang masih saja dihindari oleh sebagian orang, baik perantau maupun bukan perantau. Segala daya-upaya dilakukan dan dibiayai sebesar-besarnya demi tidak mudik satu ini. Olah raga, mengonsumsi makanan penambah usia, berpikir-berasa serba positif (tidak perlu ke bidan atau ahli kandungan), bertamasya, bersenang-senang, dan lain-lain, merupakan upaya nyata untuk mudik terakhir ini. Padahal, sudah pasti akan mudik paling pungkas dalam hidupnya. Mudik apa lagi jika bukan berpulang kepada Sang Pencipta.

Tidak sedikit orang beragama mengamini bahwa diri mereka sejatinya berasal dari Sang Pencipta. Dari Sang Pencipta, dan akan kembali (berpulang) kepada Sang Pencipta. Perantauan yang sejati adalah hidup di dunia. Rumah dan kampung halaman yang sejati adalah Surga, tempat Sang Pencipta bersama para malaikat serta orang-orang suci yang dicintai orang-orang hidup (bernafas dan makan). Di sanalah segala kesenangan tidak pernah berakhir.

Ya, tidak sedikit orang beragama ketika ditanya, apakah siap untuk menikmati hidup di dunia, jawaban apa? “Sangat siap, menyenangkan, ingin awet muda, panjang usia, dan menikmati hidup beratus tahun lagi di dunia!” Tetapi ketika ditanya mengenai kesiapan untuk meninggal dunia, lantas jawabannya bertabur dengan alasan yang intinya adalah takut (sangat tidak siap). Padahal mudik yang sejati adalah berpulang kepada Sang Pencipta.

Disadari atau tidak, mudik yang sejati bagi kalangan beragama adalah berpulang kepada Sang Pencipta. Mudik spiritual ini tidak pernah ditantang oleh jarak, waktu, tenaga, dan biaya. Bisa terjadi secara mendadak, baik akibat ulah siapa, sakit apa maupun musibah apa, tanpa bisa diperhitungkan oleh siapa saja. Siap-tidak siap, mudik ini tidak bisa ditawar atau dinegosiasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun