[caption caption="dokumentasi pribadi"][/caption] Sedang asyik menggambar, pada pukul 17.00-an WITA (Kamis, 8/10/2015) saya kedatangan anak nomor dua-nya tetangga pas samping Rukan-Kebun Karya. “Om, nanti, selesai Isa, ke rumah, ya? Ada acara tahlilan seribu harinya bapak,” ujarnya. Saya langsung saja mengiyakan.
Langsung saja mengiyakan? Bukankah saya seorang Nasrani, dan anak tetangga itu pun mengetahuinya apalagi Minggu kemarin (4/10) ia dan empat sepupunya memasang teralis besi di jendela Rukan, dimana pada dinding dalam Rukan tergantung dua salib?
Coba baca cuplikan sebuah berita dua hari sebelumnya (Selasa, 6/10) mengenai kehadiran Presiden Joko Widodo pada pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi di Ambon, Maluku. (http://setkab.go.id/buka-pesparawi-presiden-jokowi-bila-kita-bersatu-segala-persoalan-bangsa-dapat-kita-atasi/)
Berita dari Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Ibu Negara Iriana Widodo dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menghadiri pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Nasional Ke-11, di Ambon, Maluku, Selasa (6/10) malam.
Dalam sambutannya Presiden Jokowi mengatakan, penyelenggaraan Pesparawi ke-11 di Ambon itu, bukan semata-mata pesta paduan suara rohani tapi acara ini adalah momentum untuk menegaskan kembali seruan bersama kepada seluruh anak bangsa, bahwa dalam hidup berbangsa dan bernegara, hidup kita harus berbuah.
“Hidup kita harus seperti pohon yang menghasilkan buah yang berbiji. Buah tersebut adalah komitmen dan kesadaran religius kita untuk selalu ingat jati diri kita sebagai bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika,” kata Presiden Jokowi.
Dengan kesadaran itu, Presiden Jokowi meyakini, kita akan selalu ingat bahwa kita adalah bersaudara, bahwa kita lahir dari rahim ibu pertiwi Indonesia, dan harus harus berguna bagi sesama warga bangsa dan umat manusia di muka bumi.
Oleh sebab itu, Presiden Jokowi mengaku sangat gembira ketika mendengar bahwa banyak peserta Pesparawi tinggal di rumah-rumah penduduk yang berbeda agama.”Itulah contoh langsung, contoh hidup dari tema Pesparawi ke-11 kali ini, yaitu ‘Sungguh Alangkah Baik dan Indahnya Hidup dalam Persaudaraan yang Rukun’,” tutur Presiden Jokowi.
Apa hubungannya antara saya dan Presiden Joko Widodo dalam hal tahlilan dan pesparawi itu? Hubungannya adalah sesama warga negara Indonesia; sesama bangsa ber-Bhinneka Tunggal Ika; sama-sama masih menjadikan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari. Itu saja. Tidak perlu bingung.
Saya memang seorang rakyat. Jokowi memang seorang presiden. Apakah status “rakyat” dan status “presiden” lantas saya (rakyat) ‘menyekutukan’ diri dengan Jokowi (presiden)? Tidak usahlah terlalu ruwet berpikir. Sederhana saja : demi persatuan-persatuan bangsa-negara. Seandainya Pemilu 3000 saya terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, bagaimana?
Sementara, apa yang saya alami ketika berada dalam lingkungan tetangga Muslim (seluruhnya Muslim, saya saja yang Nasrani) yang melafalkan doa-doa berbahasa Arab, tentu saja berbanding terbalik dengan Jokowi ketika berada dalam lingkungan rakyat Nasrani yang melantunkan doa-nyanyian rohani walaupun berbahasa Indonesia. Meskipun demikian, apa pun perbedaannya atau kebalikannya, toh tetap Bhinneka Tunggal Ika, ‘kan?
Kamis malam Jumat dan dari pkl. 19.30 s.d. 21.00 WITA itu merupakan kali pertama saya diundang sekaligus hadir dalam acara Tahlilan. Datang, masuk ke teras depan berukuran berukuran 3m x 6m, menyalami seorang demi seorang undangan yang sudah terbih dulu hadir. Setelah itu barulah saya duduk bersila di atas karpet.
Para hadirinnya 99% Muslim, dan 97% Jawa. Mayoritas berbusana gamis, saya sendiri yang berkaus oblong. Ngobrol sebentar dengan bahasa Jawa. Pukul 19.45 WITA acara pun dimulai.
Mayoritas hadirin melafalkan doa, saya sendiri yang diam. Ada buku panduan tetapi bertuliskan aksara Arab. Saya tidak bisa membaca apalagi melafalkannya. Lha saya berdoa apa? Rahasia. Ini rahasia pribadi, bukan untuk konsumsi publik.
Sekitar 45 menit (pkl.19.45 s.d. 20.30 WITA) acara doanya. Selama 45 menit itu pula saya diam. Mujurnya ponsel saya tidak rewel.
Nah, ketika acara doa selesai dan memasuki acara makan bersama, tentu saja saya tidak mau sendiri (1%), baik sendirian makan sementara mayoritas hadirin tidak makan ataupun mayoritas hadirin makan sementara saya sendiri yang tidak makan. Juga ketika semua menerima satu plastik makanan untuk dibawa pulang (“berkat”, istilah Jawa-nya), saya pun menerimanya.
Ya, saya menghargai tuan rumah (tetangga), baik undangan maupun bingkisan untuk dibawa pulang. Saya memang selalu siap berada dalam suasana semacam itu karena sejak kecil beranjak remaja di kampung halaman (Sri Pemandang Atas), mayoritas tetangga saya adalah Muslim meskipun mereka tidak pernah mengundang saya dalam acara tahlilan. Kemudian pada 1990 Kakenda (Muslim) meninggal dunia, saya mudik ke dusun Kakenda, juga ada tahlilan, meskipun saya tidak berada di antara duduk bersila pada hadirin yang bertahlil.
Demikian saja catatan saya. Terima kasih.
*******
Kebun Karya, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H