Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berkeringat

1 Mei 2015   01:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demun :“Aku heran sama kamu, Ji. Kalau kerja, kamu tidak berkeringat.”

Oji : “Kerjanya di kantor, ruangannya ber-AC, Mun. Bagaimana bisa berkeringat?”

Demun : “Tapi, di kantin, yang juga ber-AC, setiap makan, kamu pasti berkeringat.”

Oji : “Utangku sudah menumpuk di kantin, Mun. Sssst... ini rahasia lho!”

***

Saya sudah lupa perihal berkeringat yang berkaitan dengan biologi atau metabolisma tubuh; bagaimana proses biologis dan kimiawi-nya; kalori atau kalor; dan lain-lain. Saya belum juga memelajari teori perihal “berkeringat itu sehat” atau “keringat adalah manfaat”. Padahal, sebenarnya, hal itu sangat penting untuk saya pahami, mengingat bahwa keringat dan kesehatan memiliki hubungan harmonis, dan teori bisa saya cari di internet.

Apakah berkeringat identik dengan berolah raga? Saya jawab sendiri, “Jelas dong!” Kalau raga didiamkan tanpa diolah (digerakkan), mana mungkin berkeringat sebagaimana seharusnya. Tapi, apakah olah raga itu seharusnya seperti sepakbola, basket, marathon, angkat besi, dan seterusnya?Entahlah.

Lho, kok “entahlah”? Karena, kalau saya amati selama ini, meskipun seseorang selalu berkeringat atau berolah raga, semisal profesinya tukang kebun, tidak mungkin dia disebut “olahragawan”, ‘kan? Makanya, saya memilih judulnya “Berkeringat”, yang berkaitan dengan “olah raga”, “gerak fisik”, dan sejenisnya. Kayaknya lebih afdol begitu.

Sewaktu balita saya sering sakit, khususnya sakit kuning. Tidak jarang saya harus menginap (opname) di rumah sakit (R.S. Unit Penambangan Timah Bangka, Sungailiat). Tapi, kalau tidak sakit bahkan masih terasa sakit, saya selalu berusaha keluar rumah, dan bermain dengan kawan-kawan sebaya. Tentu saja selalu berkeringat.

Sebagai anak kampung pelosok (Kampung Sri Pemandang Atas), yang ketika belum remaja suka bermain dengan kawan-kawan, berkeringat merupakan hal yang biasa. Lahan tetangga yang tersisa (belum terbangun) dengan rata-rata melebihi 100 m2, bermain kejar-kejaran (usek-usek cuit, usek-usek patung, dll.), berlari dengan membawa pelepah pisang seolah berkuda atau sambil membawa sebatang kayu seolah sedang balapan motor, main petak umpet (gom kaleng), memanjat pohon karet, dan seterusnya, selalu berimbas pada basah-kuyup sekujur tubuh dan pakaian.

Ada juga bermain badminton (saya pernah masuk sebuah klub badminton, yang berlatihan di OROM atau kini Gelora Sutijono), sepatu roda di jalan, balap sepeda mini (sampai-sampai saya menabrak anak tetangga yang baru berusia 3 tahun), dan bermain sepak bola di belakang rumah tetangga depan saya. Pernah juga tetangga depan rumah membeli meja pingpong. Saya pun nimbrung. Di tahun lainnya, halaman depan rumah mereka sempat dijadikan lapangan sepak takraw. Tentu saja saya ikut bermain sepak takraw, walaupun waktu itu saya baru sunat (khitan) dan belum sembuh.

Di sekolah juga begitu. Selain ada mata pelajaran Olah Raga di SD, saya juga biasa bermain dengan kawan-kawan, baik masih satu kelas (sesama kelas III, misalnya) maupun dengan kakak kelas. Berlari, sembunyi, dan lain-lain. Selalu berkeringat, dan ‘kepanasan’ tetap saja mengikuti pelajaran. Namanya juga anak-anak, bermain merupakan bagian dari proses belajar (bersosialisasi).

Di waktu tertentu, khususnya ketika kelas III dan IV (masuk sore), saya pergi ke rumah kawan sekolah, yang juga masih saudara jauh saya. Di rumahnya ada meja pingpong, dan saya pun sering bermain pingpong di sana.

Beberapa kali saya diajak ke kebun, baik oleh orangtua maupun kakak angkat saya. Kebun kami ada di beberapa tempat. Pertama, sebelah lapangan sepakbola Panser (tepatnya di belakang rumah Wak Ata, pemain Panser ketika itu). Kedua, dekat Perumnas (kini Perum Belitung). Ketiga, dekat Bukit Betung (bentuknya mirip Gunung Tangkuban Parahu di Jawa Barat) yang khusus untuk menanam sahang (merica atau lada putih).

Saya senang sekali apabila diajak ke kebun. Apakah karena saya akan membersihkan kebun? Oh, tidak harus begitu. Saya lebih sering mencari burung, biji karet (ketika musim pangkak alias adu biji karet), dan lain-lain. Saya lebih sering bersenang-senang di kebun. Kalau pun saya ikut membersihkan kebun, tentu tidaklah seperti orangtua atau kakak angkat saya. Yang jelas, berkeringat.

Ketika SMP, saya aktif dalam kegiatan olahraga, khususnya bola voli dan sepakbola. Tapi, memang, lebih sering saya lakukan ketika di luar sekolah. Sementara ketika di sekolah, tidak mungkin lagi seperti anak SD. Sedangkan kawan-kawan saya, khususnya perempuan beretnis Tionghoa dan setiap usai ulangan umum (kini ujian semesteran), sering ‘menyulap’ meja-meja kelas menjadi meja pingpong, dan tiga penghapus (dulu masih menggunakan papan tulis hitam) sebagai penyangga mistar (penggaris) panjang dari kayu menjadi netnya. Saya tidak bisa nimbrung, tentunya, kecuali saya mau memakai rok biru tua.

Saya mulai berhenti berolah raga, khususnya bola voli dan sepakbola meskipun masih terlibat dalam tim voli kelas, ketika tinggal (kos) di Yogyakarta. Mujurnya di indekos saya ada barbel milik anak ibu kos. Dari lari-lari kecil di antara teras depan kamar kawan-kawan sampai kemudian mengangkat barbel. Kalau pun tidak keluar kamar, saya melakukan push up saja, baik di lantai maupun dinding.

Selama kuliah, saya benar-benar lepas dari kegiatan bola voli dan sepakbola. Saya tidak pernah berolah raga secara rutin, semisal jogging. Di kamar saya hanya melakukan push up, dan angkat barbel 3 kg. Pernah juga saya ikut pembentukan tubuh (body building) di sebuah klub tetapi tidak benar-benar ingin menjadi atlet binaraga.

Selain itu, saya masih sering ke rumah Mbah Kakung (kampung halaman Ibu) di Dusun Clepor, Kelurahan Ngadirejo, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Kota Surakarta. Di sana saya sering nimbrung dengan remaja-remaja sekitar untuk bermain sepakbola atau bola voli di lapangan Kelurahan. Uniknya, seorang kawan bermain sepakbola sembari membawa sapinya karena lapangan kelurahan yang berumput tebal-hujai biasa juga dipakai untuk menggembalakan sapi, kerbau, dan kambing.

Terakhir kali ke rumah Mbah saya ikut kawan-kawan, termasuk seorang bapak yang juga anak dari mantan lurah, sekitar dusun bermain badminton di sebuah gedung badminton yang berada di dusun lain. Setahun kemudian saya mendapat kabar bahwa bapak itu meninggal dunia karena terjana serangan jantung.

Kembali ke kampung halaman saya di Bangka bukan berarti saya kembali aktif berolah raga, apalagi saya bekerja di meja. Kawan-kawan sebaya di kampung pun sudah sibuk berbisnis, termasuk bisnis timah semenjak tambang inkonvensional (T.I.) marak dibuka. Meski beberapa mantan kawan sekolah (dulu bisa satu sekolah dari TK sampai SMP di Maria Goretti, Sungailiat), saya menghindar dari mereka karena saya berusaha bekerja tanpa ‘pertolongan’ mereka (padahal kawan-kawan saya, apalagi yang beretnis Tionghoa, sangat memungkinkan untuk mengajak saya bekerja di perusahaan mereka).

Olah raga yang sempat saya lakukan adalah ketika di proyek. Jalan sana-sini. Itu pun sekadar berkeringat. Kadang main ke rumah seorang kawan, yang ada meja pingpongnya. Kadang pula bermain voli, meski sekadar passing dan smesh, di kompleks karyawan P.T. Koba Tin (kakak angkat saya bekerja di perusahaan asing tersebut) pada sore hari sepulang dari proyek. Lumayanlah.

Ketika di Jakarta, tepatnya Jakarta Barat, saya sering main pingpong, yaitu di bengkel mobil milik Bos saya. Bengkel itu memang luas. Saking luasnya, paling tidak, ada enam-delapan meja pingpong bisa digelar untuk sebuah klub pingpong. Anggota klub itu mayoritas beretnis Tionghoa Bangka (Bos saya juga Tionghoa Sungailiat Bangka). Tiga kali dalam seminggu (malam Rabu, malam Jumat, dan Minggu pagi) mereka bermain pingpong.

Sungguh menyenangkan, sepulang kerja bisa bermain pingpong dengan kondisi basah-kuyup. Saya selalu meluangkan waktu untuk bermain pingpong, termasuk Minggu. Bos saya tidak pernah melarang ketika saya ikut bermain pingpong, bahkan lebih dari lima game, padahal sekadar berkeringat! Alhasil, saya selalu segar-bugar tanpa sekalipun terkena wabah influenza, meski pekerjaan sehari-hari saya berada dalam ruangan ber-AC.

Lalu saya bekerja di sebuah kontraktor jasa konstruksi, yang menggarap perumahan di Pantai Indah Kapuk, dan Sentul City, Bogor. Kegiatan berkeringat saya adalah ketika berada di lapangan (lokasi proyek). Sangat menyenangkan karena kombinasi bekerja antara di meja kantor dan di lapangan terjadi dalam satu waktu kerja. Strategi mengelola proyek, yaitu jadwal pelaksanaan, pekerja, bahan bangunan, pembelian bahan bangunan (tetap dalam pantauan Bos saya karena saya tidak bisa-biasa melakukan korupsi melalui logistik!), dan bersinergi langsung dengan penduduk sekitar, sangatlah menyenangkan. Otak dan otot berpadu.

Saya berhenti total dalam olah raga, baik pingpong, badminton, bola voli maupun sepakbola, adalah ketika pindah dan menetap di Balikpapan, Kaltim. Bermula dari pekerjaan sebagai supervisor (pengawas) di sebuah proyek rumah sakit, saya menyukai ‘jalan-jalan’ di lokasi untuk berkeringat. Bekerja di meja dalam ruangan ber-AC memang tugas utama karena berkaitan dengan laporan proyek, dan segala urusan dengan pekerja. Tapi, saya tetap akan ke lapangan, karena saat itulah saya bisa berkeringat.

Menjadi arsitek dengan totalitas kerja di meja merupakan kesadaran sepenuhnya bagi saya ketika menjadi karyawan sebuah kontraktor jasa konstruksi. Pekerjaan menjadi hal terpenting sebagai tanggung jawab seorang karyawan yang berposisi sebagai Lead of Architects (memang asyik berbahasa Inggris itu, bisa nggaya alias pembualan!) yang merangkap drafter. Saya memang menyukai pekerjaan saya. Olah raga itu, ya, sesempatnya, meski tidak pernah sempat.

Ada kalanya saya berangkat ke kebun (saat itu belum terkelola menjadi Kebun Karya) dengan berbekal parang. Apa lagi kalau bukan ‘merintis’ (istilah di Balikpapan untuk membersihkan kebun). Tentu saja kegiatan di sana menyebabkan keringat mengalir deras, dan basah-kuyuplah pakaian saya (sampai jeroan-nya!). Saya tidak ngotot untuk membersihkan semuanya (lahan 1.200 m2).

Satu sisi, memang saya ingin berkeringat. Di sisi lain saya sengaja memberi ‘tanda’ kepada orang-orang sekitar lahan mengenai ‘status kepemilikan’ karena, waktu itu, saya masih bekerja di perusahaan orang lain, yang ruangannya ber-AC. Ilalang di sana bisa mencapai tinggi sekitar 1,5 m. Pepohonan liar begitu menjulang, dan berdaun banyak.

Seorang kawan (pendatang asal Jawa, dan dosen di sebuah perguruan tinggi di Balikpapan) pernah menceritakan bahwa ada orang Bangka, Tionghoa, di Balikpapan yang rajin berkebun (saya pernah berkunjung sewaktu Imlek). Lahannya sekitar satu hektar, dan ditanami pohon buah, misalnya mangga, jambu, duku, dan lain-lain. Kawan itu pun mengatakan bahwa dia tidak bisa membereskan kebun sebagaimana yang dilakukan oleh orang Bangka yang luar biasa itu. Saya jadi terinspirasi pada kebun keluarga untuk menjadikan lahan yang ada sebagai kebun buah.

Lantas saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja di perusahaan manapun. Saya menjadi arsitek lepas. Kegiatan berkeringat saya adalah membereskan rumah, khususnya lahan di belakang rumah. Segala tanaman liar, apalagi yang merambat, saya bersihkan tanpa sisa. Saya sangat berkeringat. Kemudian dengan dibantu oleh dua pekerja, saya memasang pagar lahan. Setelah itu terbangunlah Panggung Renung dengan kayu ulin sebagai struktur utama agar aman dari penggerogotan rayap.

Selepas Panggung Renung terbangun dan berfungsi, saya diminta seorang kawan (dulu kami aktif di pers mahasiswa, meski dia mahasiswa Prodi Komunikasi, Fisip) untuk membantu dia dan bapaknya di Kupang. Di sana, khususnya Kupang Barat, terdapat kebun milik bapaknya. Saya diajak ke sana, dan ikut membersihkan kebun. benar-benar berkeringat!

Sepulang dari Kupang, saya kembali ke kebun keluarga untuk menyiapkan pembangunan rukan (rumah bukan, kantor pun bukan). Setiap hari saya pergi ke kebun. Setiap hari pula basah-kuyup di sekujur tubuh. Apalagi ketika rukan dibangun, kegiatan membersihkan lahan tetap saya lakukan.

Ketika rukan terbangun dan berfungsi, barulah saya menyebut kebun itu sebagai “Kebun Karya”. Tempat ini merupakan tempat paling ideal bagi saya untuk kembali berkeringat. Lahan seluas 1.160 m2 (40 m2 sudah menjadi rukan) dengan permukaan tanah yang mayoritas dihuni oleh ilalang dan semak-belukar, memberi kesempatan pada saya untuk melakukan kegiatan olah raga yang benar-benar mampu menghasilkan keringat dalam jumlah banyak.

Ada waktu dimana saya sama sekali tidak berkegiatan fisik secara signifikan, kecuali rutin menyiram tanaman dari air sumur di depan rukan. Cukup lama, kira-kira satu bulan karena saya sibuk membuat gambar arsitektur, menghitung R.A.B. (Rencana Anggaran Bangunan), dan lain-lain. Akibatnya, badan terasa kurang enak. Bergerak agak berat, dan mulai malas bergerak.

Saya menduga, semua itu disebabkan oleh berkurangnya kegiatan fisik saya. Maka saya mulai bergerak lagi dengan cara menebas ilalang yang sudah setinggi kira-kira 70 cm. Saya berkeringat lagi. Awalnya agak pegal karena lama tidak banyak bergerak, lambat-laun mulai segar kembali. Saban hari saya ‘mandi keringat’. Alhasil, badan terasa segar kembali.

Memang melelahkan fisik. Setiap hari pun harus siap dengan baju ganti. Warna kulit selalu legam. Otot-otot lengan menjadi kencang dan pegal. Telapak tangan terasa kasar. Tapi saya merasa kondisi tubuh saya segar. Dan dengan kegiatan fisik sedemikian melelahkan selama lebih setengah tahun, saya sama sekali tidak pernah mengalami sakit, terutama influenza yang biasanya mudah menyerang saya. Ketika ada gejala bersin-bersin, segera saya antisipasi dengan minum teh jeruk, dan tidur melebihi dosis.

Saya tidak tahu, apakah kegiatan berkeringat saya ini justru, diam-diam, menjadi pergunjingan para tetangga (mayoritas pendatang dari kampung di Jawa dengan pendidikan maksimal SMA/STM) sekitar Kebun Karya, “Arsitek kok jadi tukang kebun; jadi mirip orang hutan daripada orang berpendidikan-kantoran.” Dan saya tidak perlu tahu, jika memang ada yang menggunjingkan saya begitu. Saya menyukai kegiatan saya, dan tidak suka memikirkan pergunjingan siapa pun. Saya sehat atau sakit, saya sendirilah yang merasakannya. Kalau saya sakit dan harus opname di rumah sakit, toh tidak seorang tetangga pun yang sudi membantu biaya pengobatan.

Demikianlah kisah saya seputar keringat. Sesibuk apa pun pekerjaan saya dalam merancang-bangun atau menghitung anggaran, dan menulis atau menggambar, berkeringat tetap menyenangkan. Saya sengaja tidak akan menggunakan jasa pembersih kebun karena saya senang berkeringat. Meski saya sudah menyiapkan kartu kesehatan (BPJS), berkeringat merupakan upaya saya untuk menjaga kesehatan, dan berpikir secara fokus (skala prioritas). Semoga saya tidak dimusuhi oleh dokter dan paramedis.

*******

Kebun Karya, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun