Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komunitas sebagai Kendaraan Kepentingan Pribadi dan Partai

9 Februari 2014   23:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak mengetahui secara pasti, apakah realitas ini biasa terjadi di pelbagai daerah di Indonesia, ataukah hanyalah halusinasi paranoid saya sendiri. Namun saya memiliki catatan khusus mengenai agresivitas seorang ketua yang menjadikankomunitas, organisasi, paguyuban, dan sejenisnya, sebagai kendaraan awal bagi kepentingan politiknya.

Realitas tersebut semula saya dapatkan di daerah kelahiran saya. Seorang mantan ketua dewan kesenian di sana telah menjadikan lembaga kesenian sebagai kendaraan politik partai selagi menjabat. Ketika ‘beliau’ tidak menjabat lagi, lembaga kesenian itu pun ‘mampus’tanpa terjadi regenerasi seniman yang signifikan.

Berikutnya, yang kedua, ketika saya akan menetap di luar daerah kelahiran saya alias Balikpapan pada 10 Maret 2009. Baru tiga hari saya berada di Kota Minyak Kalimantan Timur ini, seorang ketua dewan kesenian menawari (‘mengajak’) saya untuk ikut bergabung.

Memang saya orang baru. Tetapi ‘ajakan’-nya tiba-tiba terasa tidak nyaman bagi saya. Seketika naluri (insting) politik saya menyampaikan pesan, “Jangan diterima tawarannya!” Lantas saya menolak dengan berkelit, “Saya tidak berpikir untuk berpartisipasi dalam organisasi besar semacam ini, Pak. Saya hanya ingin bergabung dengan sanggar-sanggar kesenian dalam skala kecil.”

Beberapa minggu kemudian saya diperkenalkan oleh seorang kawan dengan sebuah komunitas kesenian. Dalam pergaulan dengan kawan-kawan baru di situ, barulah saya mengetahui bahwa ketua dewan kesenian tersebut sedang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari sebuah partai. Dan, setelah gagal pada Pemilihan Legislatif (PILEG) 2009, dia pun mencalonkan (nyaleg) lagi untuk PILEG 2014 dari partai yang sama.

Selain ketua itu, ada juga seniman ‘senior’ yang juga nyaleg pada 2009 tetapi tidak berhasil menembus angka yang signifikan. Seniman ‘senior’ ini mengatakan pada saya dan kawan-kawan bahwa kegagalan menjadi anggota legislatif disebabkan oleh bla-bla-bla, padahal ia yakin bahwa jumlah pemilihnya melebihi kuota yang ditetapkan. Seketika saya kehilangan respek terhadap ‘keseniman-nya apalagi ‘kesenioran’-nya.

Pasalnya lagi, sampai lebih empat tahun bahkan mendekati angka lima tahun di Balikpapan, saya tidak melihat aksi kesenimannya menghasilkan sebuah pagelaran seni yang memadai, apalagi soal pembinaan yang memang pantas untuk memantapkannya sebagai sebutan “senior” yang patut diteladani. Menurut saya, sayang sekali ‘nama besar’ dan kesempatan yang begitu besar tidak dimanfaatkannya untuk meregenerasi dan menggelar pentas, minimal satu tahun dua kali, sebagai puncak sebuah proses yang normal dalam kesenian.

Yang ketiga, seorang ketua sebuah organisasi profesi di Balikpapan. Kebetulan pula ia mendapat porsi satu halaman penuh di media massa lokal untuk memberikan solusi alternatif bagi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan bidangnya. Katanya pada saya suatu waktu, “Menulis di situ saya tidak dibayar. Hanya berbagi saja. Memberikan semacam solusi bagi masyarakat yang membutuhkannya. Kalau tidak ada pembaca yang mengirimkan persoalannya, ya, saya buatkan sendiri sehingga halaman tetap terisi.”

Selama lebih empat tahun saya bergaul dengannya, tiba-tiba ia menyampaikan berita bahwa ia sedang mendaftarkan diri untuk nyaleg. Sebelumnya, 2009, saya sudah bisa menebak keinginannya dan partai apa yang akan ‘dikendarai’-nya sebab saya sering menyaksikan suatu ‘komunikasi’ yang ‘tendensius’ antara ia dan seorang kader partai itu, dan naluri politik saya menyampaikan ‘warning’ bahwa ia adalah simpatisan dan mengarah pada posisi kader partai tersebut. Terbukti ketika ia menyampaikan berita nyaleg-nya.

Seketika pula respek saya lenyap, baik terhadap ia maupun organisasi kami. Saya berpikir, “Kalau selama ini ia bukan siapa-siapa dan tidak mendapat ‘lapak’ di sebuah media lokal, apakah ia akan bernyali untuk nyaleg sekarang (2014)? Artinya, selama ini semua kiprahnya tidaklah lebih dari sebuah upaya untuk meraih kursi politik yang sudah berbau tengik itu. Jadi, selama sekian tahun, ia menyimpan ambisinya hingga sampai suatu masa yang memberi peluang lebar baginya, dan saya termasuk dalam bagian konspirasi personal-nya? Dasar manusia bajingan-keparat-bangsat-penjahat-setan-iblis telah mengadali saya yang selalu berterus terang ini!”

Yang keempat, beberapa ketua komunitas kesenian di Balikpapan ternyata menjadikan komunitas dan kesenian sebagai ajang penggalangan simpatisan alias massa agar memudahkan ambisi mereka terwujud dalam suatu pesta demokrasi (PILEG). Hal ini selanjutnya saya ketahui melalui obrolan-obrolan sembari minum kopi dengan kawan-kawan seniman mandiri (independen) di Balikpapan.

Terus terang, perselingkuhan politik-kesenian semacam itu mengingatkan saya pada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada tahun 1960-an, yang polemiknya masih terasa hingga sekarang. Saya tidak mengetahui, mana kelompok yang benar dan mana pula kelompok yang tidak benar secara kebebasan berekspresi tanpa tendensi.

Selain keempat hal di atas, saya yakin, masih banyak komunitas, organisasi, lembaga non-pemerintah, paguyuban, dan lain-lain yang menjadi ‘alat’ bagi seorang ketua bahkan sebagian anggotanya untuk ‘berpolitik’. Saya yakin Anda, Para Pembaca yang budiman, jauh lebih memahami perihal politik-organisasi di Indonesia daripada saya yang bukan siapa-siapa ini.

Yang lantas menjadi kegalauan saya bahkan kekhawatiran saya untuk bergaul dengan ketua-ketua komunitas, selain komunitas kesenian, adalah persoalan ‘penyelewengan posisi’ demi kepentingan politik. Kegalauan tersebut disebabkan oleh pemahaman sederhana saya, bahwa berkegiatan haruslah melepaskan diri dari suatu kepentingan yang ‘merusak’ kemurnian, misalnya seni atau profesi sebagai suara politik tertentu. Kenyataannya, memang tidak sedikit suatu komunitas berkegiatan dalam rangka “menyelundupkan’ doktrin-doktrin partai, yang sama sekali tidak bertujuan murni demi kebaikan seluruh rakyat Balikpapan maupun Indonesia secara umum.

Akibat kegalauan tersebut, saya menghalau diri saya sendiri dari tawaran atau ajakan orang-orang untuk berkegiatan. Saya bukanlah kerbau sehingga bisa plus biasa ditunggangi dan dipakai untuk membajak lahan politik yang ujung-ujungnya adalah menyejahterakan sebagian orang belaka. Saya manusia, bukanlah boneka atau robot kebudayaan.

Sejak pertama saya giat berkesenian dan berorganisasi, sama sekali saya harus mewaspadai kecenderungan jiwa saya yang ‘kelam’, yaitu ‘memanfaatkan kesempatan demi tujuan pribadi dengan diam-diam menjadi kendaraan politik suatu partai atau rezim’ seperti yang sering dijadikan pledoi orang-orang sebagai “sesuatu yang manusiawi”. Waduh, manusiawi. Menjadi bajingan alias titisan setan kok disebut manusiawi?

Saya warga negara Indonesia. Partai-partai selama ini hanya memikirkan kesejahteraan dan kemajuan partai-partai mereka, bukan kesejahteraan dan kemajuan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kegaduhan politik dan kegundahan politikus tidak lebih akibat benturan kepentingan-kepentingan politik antarpartai, bukanlah kepentingan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Saya seorang di antara ratusan juta warga negara Indonesia. Seorang saja. Saya tidak berambisi muluk-meliuk hingga nekat ‘berselingkuh’ dengan suatu partai atau sekelompok anggota rezim melalui slogan-slogan yang menyimpan segala dusta- durjana. Dengan kemurnian dalam berkesenian dan berprofesi, bagi saya pribadi, merupakan sebuah prestasi serta reputasi yang mengagumkan.

Dan memilih sebagai kader GOLPUT sejati pun bukanlah keputusan yang main-main pada saat sebagian orang di sekitar saya begitu bangga-bahagia memanfaatkan apa saja demi ambisi politik dan partai mereka. Dengan berpegang pada kejujuran diri bahwa saya tidak berpihak bahkan tidak menyanjung siapa dan partai, saya bisa lebih leluasa menyampaikan pemikiran saya tanpa perlu repot-repot dicurigai sebagai "moncong partai tertentu”!

Memang, semua ini menurut pendapat saya pribadi, dan saya jadikan sebagai prinsip utama berkesenian dan berprofesi, meskipun akibatnya saya tidak juga segera kaya-raya atau terjamin secara ekonomi sampai tujuh keturunan karena ‘dikucilkan’ oleh para pemain politik yang berpura-pura mengelola kekayaan bangsa-negara. Secara batin saya merasa diri saya kaya-raya karena tidak melibatkan diri dalam kemunafikan penguasa rezim ataupun kader partai yang kelihatan dermawan tetapi sejatinya sosok bajingan-bangsat-keparat-penjahat-setan-iblis (melarat separah-parahnya secara integritas!) dengan selalu sibuk mengeruk keuntungan profit yang tidak sedikit milik seluruh rakyat Indonesia (APBD, APBN, dan bantuan-bantuan finansial dari negara lain).

*******

Panggung Renung, 09 Februari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun