Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ada Banjir Jakarta di Mata Saya

12 Februari 2015   07:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir Jakarta selalu mengungkit ingatan saya mengenai setapak jejak perantauan saya. Selama sekian tahun saya tinggal di sana, tepatnya Jakarta Barat, tentulah tidak terlepas dari kata “banjir”. Banjir Jakarta bukanlah peristiwa baru atau luar biasa apalagi istimewa di Grogol dan Jalan Daan Mogot atau jalan raya depan Stasiun TV Indosiar.

Namun, jauh tahun sebelumnya, ketika berita televisi dan radio belum dijejali banjir, saya sudah melihat banjir di dekat kampung halaman saya, Sri Pemandang Pucuk, Sungailiat, Bangka. Kalau banjir di kampung kami, jelas mustahil sekali karena posisi daerah kami pada permukaan daratan yang cukup tinggi.

Lokasi banjir tersebut hanya berjarak sekitar 500 meter dari rumah orangtua saya. Di manakah? Di daerah Pasar Pagi, Jalan Singkai Melintang atau Sam Ratulangi. Waktu itu itu hujan turun bertubi-tubi setiap hari. Akibatnya, parit – hilir sungai Aik Namcong dan Aik Jawe – di sana meluap. Saya dan Ayah – yang akan berangkat ke sekolah – terpaksa berbalik arah karena jalan tidak bisa dilewati. Akibatnya lagi, pasar itu sempat dinamakan “Pasar Kodok”. Itulah banjir pertama yang saya lihat sendiri secara langsung.

Banjir kedua yang pernah saya lihat secara langsung ketika indekos di Yogyakarta. Indekosan saya, baik di Pengok maupun Babarsari tidak mungkin terkena bencana banjir. Banjir yang saya lihat adalah di Jalan Adisucipto, dekat Hotel Ambarukmo, Yogyakarta.

Meski tidak setinggi banjir di daerah “Pasar Kodok” dulu – kira-kira setinggi lutut, tapi cukup mampu membuat lalu-lintas kendaraan menjadi macet dalam waktu beberapa jam saja. Sementara berita “Banjir Jakarta” sudah pernah saya baca di sebuah media cetak, bahkan dengan dramatisasi (belum ada kata “lebay”) judul “Jakarta Tenggelam”.

Nah, banjir yang bukan hanya saya lihat tetapi juga turut merasakannya adalah ketika saya tinggal di Gang Jablay, Kompleks Penerangan, Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat. Saya benar-benar terkesan pada banjir di sana. Memang, kos-kosan saya tidak terkena banjir, apalagi kamar saya di lantai dua. Namun di Jakarta-lah saya bisa benar-benar terheran-heran, apalagi kalau saya bandingkan dengan tempat yang pernah saya tinggali (rumah orangtua alias kampung halaman, indekosan di Yogyakarta dan Jakarta waktu itu).

Suatu pagi bersama listrik padam dalam cuaca hujan di musimnya, dengan berjalan kaki saya keluar dari indekos untuk bekerja seperti biasa. Memang jarak antara indekos dan tempat kerja saya tidaklah jauh; hanya sekitar 300 meter.

Sebelumnya seorang kawan kos sudah mengabarkan bahwa sedang terjadi banjir, listrik padam di mana-mana, bahkan saya disarankan untuk tidak perlu masuk kerja karena Jalan Daan Mogot terputus oleh banjir. Saya tidak terlalu percaya karena saya belum mendapat pemberitahuan rekan kerja, dan belum juga melihat kondisi sebenarnya (fakta).

Sampai di pertigaan antara Gang Jablay dan Jalan Kompleks Penerangan, kondisi kering seperti biasa. Saya menoleh ke kiri karena memang jalan menuju tempat kerja saya berada di sebelah kiri menuju Jalan Daan Mogot. Dari situ saya tidak melihat lalu-lintas padat seperti biasa – Jalan Daan Mogot selalu rampai dan kendaraan melintas dengan kecepatan di atas 60 km/jam. Kondisi lengang.

Saya meneruskan langkah menuju pertigaan antara Jalan Kompleks Penerangan dan Jalan Daan Mogot.Beberapa kawan yang sering nongkrong di warung-warung sekitar jalan itu menegur supaya saya tidak usah bekerja karena biasanya banjir sering meliburkan para pekerja rutin. Seketika saya langsung percaya.

Kebetulan banget, pikir saya. Saatnya saya bisa melihat seberapa hebat banjirnya tanpa perlu membuka informasi di media apa pun. Dan, bagi saya, banjir Jakarta harus saya ‘nikmati’ karena saya tidak pernah berencana akan menetap di Jakarta.

Setiba di pertigaan saya menoleh ke kanan, ke arah jalan di depan Stasiun TV Indosiar, dimana terdengar suara banyak orang. Jalan raya aspal sedang dipenuhi orang, yang tidak mungkin bisa tanpa ada kejadian luar biasa. Banjir!

Tapi saya tidak menuju ke sana, melainkan ke tempat kerja saya di sebelah kiri, yaitu bengkel mobil “REM” (Roda Empat Mulus). Bukan untuk masuk kerja, melainkan memastikan apakah hari itu libur, setor muka, dan melihat situasi di situ. Ya, tempat kerja saya memang di situ, meski pekerjaan saya tidak berhubungan dengan perbaikan atau pemulusan mobil.

Memang kantor tutup, apalagi beberapa karyawan tidak bisa datang ke kantor karena perjalanan dihadang banjir, dan listrik padam meski ada genset yang hanya untuk pekerjaan lapangan. Tapi di depan bengkel sudah berjejer beberapa mobil mogok dengan kondisi basah kuyup dan kumuh. Kawan-kawan yang bekerja di bagian ‘cuci mobil’ (car steam), ‘perbaikan badan mobil’ (body repair) dan ‘mekanik’ harus bekerja, khususnya yang berjarak tempat tinggal-bengkel tanpa gangguan banjir.

Banjir berarti panen bagi bos dan kawan-kawan di bengkel itu. Dari membersihkan luar-dalam sampai menghidupkan mobil secara normal. Satu mobil ditangani satu pekerja. Padahal jumlah mobil melebihi jumlah pekerja. Otomatis diperlukan waktu tidak singkat. Tidak perlu lembur sampai malam demi menghemat BBM untuk genset.

Setelah melihat-lihat kondisi bengkel dan berpamitan pada satpam bengkel yang lucu (ah, saya lupa namanya!), saya keluar. Tujuan saya adalah menyaksikan situasi dan keramaian kawan-kawan saya di sekitar Rumah Duka “Abadi” sampai ke arah jalan di depan Indosiar.

Jalan Daan Mogot setelah Citraland sampai Rumah Duka “Abadi” sangat lengang. Beberapa orang asik bersepeda, bolak-balik. Anak-anak bermain di jalan raya yang biasanya padat dan lalu-lintas kencang melenggang. Ada juga yang bermain sepatu roda dan papan luncur (skate board). Suasana tidak berbeda dengan sebuah tempat wisata mendadak.

Di depan rumah duka yang tidak terimbas banjir itu saya berhenti. Dari situ saya suasana di depan Indosiar dan beberapa kawan kampung, khususnya warga Gang Senggol, sibuk menarik gerobak berisi sepeda motor dan pengendaranya. Setelah menurunkan sepeda motor dan pengendaranya, kawan-kawan menerima imbalan. Air muka kawan-kawan terlihat cerah. Mereka berbalik lagi dengan gerobak. Gerakan mereka sangat lincah. Masih ada penumpang yang menunggu untuk diseberangkan.

Tapi saya tidak melihat kawan akrab saya, Dadang, yang tinggal di Gang Senggol (belakang Rumah Duka “Abadi”) dan juga karyawan bagian administrasi di bengkel tempat saya ‘menumpang’ kerja. Saya hendak menuju ke rumah kontrakan Dadang melewati jalan di samping Rumah Duka “Abadi”.

Tapi saya harus pulang dulu, mengganti pakaian dan sepatu. Cukup dengan celana pendek, kaus oblong butut, dan sandal jepit. Saatnya petualangan kecil dilakoni, pikir saya di sepanjang jalan menuju indekosan.

Saya menuju kontrakan Dadang melalui jalan kanan, ke pertigaan Kompleks Penerangan, dan akan melewati rumah orangtua Dadang. Siapa tahu Dadang sedang ngobrol di teras rumah orangtuanya, pikir saya.

Tapi Dadang tidak sedang di rumah orangtuanya. Kata bapaknya, Dadang ada di rumah kontrakan, sedang beres-beres karena kebanjiran. Lalu saya melaju ke sana, melewati gang sempit, selebar 1m. Belok sedikit, terlihat rumah kontrakan Dadang.

Waow! Jalan setapak menuju kontrakan Dadang bahkan mendekati ujung Gang Senggol terlihatlah air setinggi betis. Saya tersenyum saja karena saya akan bersentuhan dengan air kotor yang diangkut banjir. Ada sensasi tersendiri.

Kebetulan Dadang baru selesai memindahkan barang dan perabot. Kondisi di sekitarnya sangat kumur akibat banjir membawa apa saya yang serba ringan. Kami sempat ngobrol sejenak lalu saya diajak Dadang ke Grogol – Roxi Mas – Universitas Trisakti. Saya langsung mengiyakan. Suatu pengalaman unik bakal saya dapatkan cuma-cuma. Kesempatan berwisata banjir nih!

Di persimpangan Grogol memang banjir. Tidak ada kendaraan. Hanya orang-orang asik bermain banjir. Kami pun turun, menyusuri jalan depan kampus Tri Sakti yang sudah menjadi wilayah kekuasaan air. Dari sebetis sampai sedada. Ditambah bangkai tikus mengambang. Seru!

Mendekati gedung Roxi Mas, saya takjub pada orang-orang di sana. Anak-anak, remaja-remaji, bapak-ibu, dan kakek-nenek. Mereka benar-benar menikmati banjir, sebagian dengan ban dalam, dan meluncur bersama air menderas dari samping gedung itu. Wajah mereka sangat bersuka. Tidak seorang pun yang cemberut, apalagi menangis pilu sambil mengutuki pemerintah. Waow!

Dari Grogol kami berbalik ke arah Indosiar, terus menuju Jembatan dan Jalan Layang (Fly Over) Pesing. Kawan-kawan masih menikmati panen dari banjir dan sempat menanyakan kami hendak ke mana, terlebih kami terus melangkah ke arah air yang sudah mencapai pinggang. Mereka sibuk ‘menjaring’ rezeki, kami sibuk berwisata banjir.

Ada satu yang agak membuat saya tergidik di tengah jalan depan stasiun TV Indosiar, atau pembatas arah menuju Grogol dan Tangerang. Yaitu air bergolak seperti didorong oleh sebuah kekuatan, mungkin gas. Tentu saja kami menghindar. Kami juga tidak melewati ujung jalan layang yang terendam banjir tetapi terus melangkah melewati Jembatan Pesing yang banjir sampai ke ujung jalan layang Pesing yang dari arah Kebon Jeruk.

Di ujung jalan layang sana air hanya semata kaki. Saya diajak Dadang pulang melewati jalan layang. Di jalan layang terlihat beberapa orang menikmati panorama din bawah. Dari atas itu pun saya melihat banjir begitu merdeka merambah wilayah. Lumayan, lebih 15 menit kami di jalan layang itu, sebelum turun, berbasah lagi di depan Indosiar lalu mengeringkan diri di depan Rumah Duka “Abadi”.

Dua hari penuh berbanjir ria, suatu malam saya dikagetkan oleh berita kebakaran di pemukiman Empang Bahagia. Bagaimana bisa begitu, lha wong situasi banjir di mana-mana, malah ditambah kebakaran. Dadang mengajak saya ke sana untuk melihat situasi yang paradoks berjarak sekitar 1 km dari kampung kami.

Di waktu lainnya, saya berpindah tempat kerja, yang kebetulan di proyek perumahan Pantai Indah Kapuk. Setiap pagi saya dijemput rekan saya, Supri, yang tinggal di Jalan Hemat. Kami pasti melewati jalan tembus di Kapuk dan sebuah peternakan babi potong. Tapi ketika banjir, kami terpaksa melewati jalan lain. Saya sendiri tidak berani membayangkan, bagaimana kalau berbanjir-banjir bersama kotoran babi!

Kemudian saya berpindah tempat kerja, yaitu sebuah kontraktor jasa konstruksi yang beralamat di Bojong, Cengkareng alias daerah Rawa Buaya. Di tempat itu labih parah ketika musim hujan, kiriman rutin dari Bogor, lantas banjir. Banjir lebih dua meter. Saya tidak bisa menggunakan kendaraan (RX King milik Bos saya) seperti biasa karena saya berangkat bersama bos ketika banjir belum merambah ke kantor.

Meski banjir terjadi dari luapan air Sungai Rawa Buaya, saya tetap berangkat ke kantor berlantai dua karena saya harus membantu kawan-kawan membereskan alat kerja yang harus kering, selain saya ingin menikmati suasana banjir. Kantor itu pun, khususnya lantai satu (bawah) merupakan tempat tinggal sementara (mess) bagi tukang dan pekerja bangunan.

Sangat sensasional ketika saya melihat permukaan air mulai menaiki tangga masuk di lantai bawah. Dari pukul 08.00 WIB air masih berada di jalan depan kantor lalu sekitar pukul 10.00 WIB air memasuki halaman hingga perlahan menaiki tangga masuk sampai setinggi lutut berada di ruang-ruang lantai bawah menjelang sore.

Saya pun bermalam di sana tanpa dibantu penerangan listrik seperti biasanya. Saya ingin menikmati suasana yang tidak pernah saya alami seumur hidup saya sebelumnya. Beberapa kali saya sempat turun ke lantai bawah, berendam (air sampai leher), dan mengambil bahan makan yang dikirim oleh kawan saya, yang dititipkan oleh bos kami.

Malamnya Tim SAR lewat di jalan depan kantor dengan perahu karet. Biasa, berpatroli dan berjaga-jaga atas situasi yang sedang darurat. Situasi aman-terkendali. Banjir merupakan hal biasa di wilayah itu, meski tidak biasa bagi saya yang tidak pernah kebanjiran selama di kampung halaman dan perantauan di Yogyakarta dan indekos saya di Gang Jablay.

Ketika hendak pulang ke indekosan, saya harus berenang di air yang sangat kotor setinggi lebih dua meter. Saya bisa berenang karena pernah belajar berenang di Aik Jawe ketika meluap dan Kulong Trim ketika masih penuh air, dekat kampung saya. Jadi, tidak perlu “mengajari buaya berenang”, kan?

Demikianlah kisah saya seputar banjir Jakarta. Orang-orang di sekitar indekosan dan tempat kerja saya sudah terbiasa dengan banjir. Tapi, bagi saya, luar biasa karena selama di sana saya tidak pernah mendengar keluhan apalagi kutukan terhadap pemerintah daerahnya.

*******

Panggung Renung, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun