Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sirine Lepas Malam

26 Februari 2015   08:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mimpi indah lagu dengkur berselimut sutera dirobek sirine-sirine menyisir aspal mulus tembok raksasa beton menjulang baliho iklan mobil mewah hiasan badan langsing jelita. Sirine-sirine panjang, robek-robek memanjang, menyela semburat merah menyaingi liuk pijar obor pertamina. Gincu-gincu saga redup menggoyang, degup dinding-dinding malam masih mengganyang kencang belum jua kenyang.

Sirine-sirine meradang menendang taman-taman bidadari-bidadari busa-busa emas-permata sekitar seng-seng. Dengkur tersedak lampu legam. Selimut tersulut suara bersahutan. Nyamuk menerobos mengamuk dari persembunyian senyap menyerbu kuping-kuping. Sirine-sirine melengking-lengking. Nyenyak terhenyak dalam pelbagai tanya tentang tempat. Kemarahan merah tidak mengenal teori fisika dan filsafat. Tidak ada buku untuk membendung kobarnya. Beruang madu dan enggang pun membeku dalam hutan sawit.

Merah delima menyala nyalang menjilati pembuluh jantung kota. Hitam menghantam mata seperempat ranjang terpuruk dalam paru bercampur aroma pandan serpihan mimpi indah lagu dengkur berselimut sutera robek. Selokan-selokan busuk pipa-pipa peralon besi menggiring tikus-tikus gendut mencari jalan lengang. Sobekan-sobekan bungkus belanja berminyak berceceran sayur-mayur menorehkan jejak-jejak sandal sepatu sebelum sirine-sirine keluar tangki.

Langit tidak luntur. Hujan tidak tumpah dari penampungan. Kelelawar tidak kencing beramai-ramai. Cicak bergegas mengepotkan ekornya dari cengkraman cakar taring kucing ke balik tritisan miring bertetesan. Laba-laba memberi aba-aba untuk memindahkan jala-jalanya. Sirine-sirine kerepotan menyemprotkan sisa semburat bintang rembulan. Kota kebanjiran kata kenapa ketika merah memerintahkan keranda-keranda peti-peti berlarian ke tempat peristiwa.

*******

Panggung Renung, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun