Pada era reformasi terdapat banyak berdiri gerakan masyarakat secara kelembagaan dalam bentuk Lembaga Sosial Masyarakat yang hadir dalam berbagai bentuk organisasi keagamaan, media massa (cetak dan elektronik), organisasi adat/kebudayaan, dan lain-lain. Setiap lembaga mempunyai karakter, tujuan, dan mekanisme perjuangan yang berbeda-beda. Namun lembaga/organisasi tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok, setidaknya berdasarkan keberadaan dan strategi perjuangannya, yaitu: di satu sisi, gerakan masyarakat sipil; dan organisasi masyarakat sipil di sisi lain. Dalam membangun kelembagaan Sosial lebihbanyak mengadopsi konsep-konsep Barat, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) secara kelembagaan berada di luaar struktur pemerintahan atau independent terhadap negara. Secara umum masyarakat sipil sebagai sebuah gerakan berusaha mencapai tujuannya dengan mengorganisir massa untuk melawan kekuasaan negara baik melalui gerakan protes, demonstrasi maupun petisi. Dengan demikian, perjuangan gerakan sipil dapat dengan mudah menyebar di masyarakat, sehingga eksistensi dan reputasinya semakin meningkat.
Terdapat perbedaan yang jelas dalam hubungan antara negara dan masyarakat di berbagai negara di seluruh dunia. Meskipun, dalam banyak kasus, para ahli cenderung membagi pola hubungan negara-masyarakat menjadi dua kategori utama, yaitu: negara kuat (lebih tinggi), sedangkan masyarakat lemah (lebih rendah); dan negara serta masyarakat sama-sama kuat.Negara-negara dengan pemerintahan totaliter dan kekuasaan absolut cenderung menunjukkan pola hubungan pertama, sedangkan negara-negara dengan pemerintahan demokratis cenderung ke arah itu.Penting untuk dicatat bahwa di negara-negara yang sama-sama menganut sistem totaliter/otoritarianisme, profil dominasi sosialnya juga beragam. Begitu pula di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, ruang publik yang diberikan negara kepada masyarakat juga tidak sama, sifatnya juga sangat beragam.
Model hubungan negara-sosial di atas terlihat jelas di Indonesia pada masa Orde Lama (1959-1966) dan masa Orde Baru(1966-1998), sedangkan pola kedua muncul pada masa demokrasi parlementer (1950-1959) dan juga pada masa pemerintahan Orde Baru Dalam rezim totaliter (otoriter), negara berada pada posisi yang sangat kuat, sedangkan masyarakat berada pada posisi yang lemah. Pemerintah berupaya menutup ruang publik untuk mempertahankan status quo.Dalam rezim totaliter, masyarakat sipil tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan berkembang. Sebaliknya, dalam rezim demokrasi, pemerintah berupaya membuka ruang publik untuk dimanfaatkan masyarakat.Pemanfaatan ruang publik memungkinkan adanya keterlibatan berbagai kelompok sosial dalam berbagai kebijakan dan program pemerintah.Oleh karena itu, sistem ini memungkinkan masyarakat sipil untuk berkembang dan maju.
Konsolidasi demokrasi biasanya dikaitkan dengan masyarakat sipil yang beroperasi secara independen dan efektif dalam konteks hubungan negara-sosial.Selain itu. Masyarakat sipil yang independen dapat melampaui perbedaan kelas dan memiliki kekuatan politik yang cukup untuk berfungsi sebagai penyeimbang terhadap pengaruh negara. Area publik yang lebih luas diciptakan dalam kerangka kelembagaan baru pada masa pemerintahan reformasi, yang memungkinkan penerapan prinsip-prinsip berorientasi reformasi. Gerakan organisasi masyarakat sipil telah bermunculan di seluruh pelosok tanah air. Fenomena ini memiliki hubungan erat dengan konsep utama Thornton dan Event yang menyatakan bahwa poin terpenting dari pendekatan logika institusional adalah: perilaku dan sikap politik organisasi/individu ditentukan oleh kerangka kelembagaan. Selain itu, kebijakan-kebijakan baru yang dihasilkan dengan logika kelembagaan baru dapat dijadikan acuan atau pedoman tidak hanya oleh pemerintah, namun juga oleh para aktivis masyarakat sipil.
Masyarakat sipil yang sebelumnya dipandang sebagai entitas independen di luar struktur negara, kini memposisikan dirinya sebagai bagian terkait karena adanya perkembangan sesuai dengan kerangka kelembagaan baru di atas. dari struktur negara.Dampak reformasi dalam memahami hubungan antara negara dan masyarakat sipil terlihat jelas. Dampak reformasi dalam memahami hubungan antara negara dan masyarakat sipil terlihat jelas.Ketika pemerintahan reformasi tumbuh dari gagasan “demokratisasi” dan “otonomi daerah,” menjadi jelas bahwa banyak kebijakan dan program yang diajukan oleh penyelenggara telah menyadari peran masyarakat sipil di dalamnya.Pemerintah semakin mempertimbangkan masyarakat sipil sebagai elemen sosial penting yang dapat diintegrasikan ke dalam operasional pemerintah.Pengakuan terhadap masyarakat sipil oleh pemerintah (penyelenggara negara) seperti disebutkan sebelumnya menumbuhkan hubungan yang lebih positif di antara mereka. Perubahan ini melahirkan logika baru, ketika masyarakat sipil menempatkan dirinya pada level negara.Dalam perkembangan lembaga-lembaga negara, transparansi, tanggung jawab, dan partisipasi menjadi topik krusial yang berperan penting dalam perjuangan gerakan masyarakat sipil.Pembentukan kerangka kelembagaan baru diyakini telah membuka kemungkinan terciptanya masyarakat yang terbuka dan berkeadilan sosial.Meskipun pandangan Negara terhadap masyarakat sipil sebagai sebuah entitas nyata telah berubah selama masa reformasi, banyak kebijakan/peraturan pemerintah pusat yang mencerminkan hal ini.
Namun demikian, kebijakan dan peraturan pemerintah pusat seringkali tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan di tingkat daerah. Buktinya, masih sangat sedikit peraturan daerah atau peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah daerah untuk menegakkan puluhan kebijakan/peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Beberapa LSM telah mencapai berbagai keberhasilan, terutama dengan ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan berbagai kebijakan/program yang diusulkan pemerintah. Di masa lalu, masyarakat sipil berjuang melawan kekuasaan negara namun kini menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah untuk mencapai tujuannya. Sikap politik tersebut erat kaitannya dengan kerangka kelembagaan, yang mencakup seperangkat peraturan (peraturan) tertulis dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan kebijakan strategis lainnya.
Undang-undang yang dikeluarkan negara yang bertujuan untuk membangun masyarakat demokratis membentuk gerakan masyarakat sipil dan organisasi yang berkolaborasi dengan pemerintah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari kerangka kelembagaan yang memuat berbagai ketentuan hukum yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dan berbagai organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi masyarakat sipil. Selain itu, hal ini juga mempengaruhi cara salah satu elemen organisasi memandang dan berperilaku terhadap elemen lainnya. Konsep penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan dari satu wilayah administratif ke wilayah administratif lainnya, karena kini terdapat entitas pusat, daerah, dan masyarakat sipil yang ikut serta dalam penyelenggaran pemerintah.Dengan mendorong demokrasi dan desentralisasi dalam struktur kelembagaan baru, pemerintahan reformasi mulai memandang masyarakat sipil sebagai mitra pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H