Tak bisa ditolak apalagi disangkal. Bahasa menjadi kekuatan besar yang menyembuhkan. Paling tidak dengan bahasa kerutan di kening bisa terurai tatkala kita dipenuhi masalah yang membuat kehidupan kita kehilangan arti.Â
Kita bisa membangun hubungan antara "aku dan engkau" dengan bahasa untuk memberi makna manusia tidak hidup sendiri dalam kegiatan masyarakat. Tak hanya itu, orang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan atas dasar bahasa karena bahasa adalah wujud dari budaya manusia.Â
Terkadang dalam keseharian, sering kata-kata pedas yang menyakitkan (sarkasme) berupa cemoohan atau ejekan masih kental di lidah kita. Misalnya, "Intermiami bantai Atlanta United 4-0 po. Mesi 2 gol dan 1 asist", kata seorang teman saya dengan logat khasnya. Yang dimaksudkan teman saya itu, Intermiami menang atas Atlanta United dengan skor 4-0.
Merujuk pada kbbi.web.id, kata bantai berarti daging (binatang yang disembelih), sedangkan membantai berati menyembelih, memotong. Ungkapkan teman saya di atas, semacam memberikan bayangan menakutkan karena mencerminkan kekerasan bahasa yang digunakan. Kata bantai lebih tepat digunakan untuk binatang.Â
Fenomena tersebut perlu kita sadari dan waspadai dalam penggunaan bahasa kita. Kita perlu memilih dan memilah kata yang tepat agar kedengaran lebih halus. Bisa saja kita menggunakan eufemisme atau ungkapan yang lebih halus untuk menggantikan kata bantai tersebut misalnya mengalahkan, 'Intermiami mengalahkan Atlanta United dengan skor 4-0', yang kedengarannya lebih adem di telinga.
Menyadari bahasa sebagai kekuatan besar yang bisa menyembuhkan, maka pilihan kata yang tepat bisa kita gunakan sebagai obatnya. Bahasa yang menyembuhkan adalah bahasa yang santun, tidak harus dengan ungkapan-ungkapan puitis, melainkan yang tidak mengandung kekerasan bahasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H