Dari kota hujan aku mencium aroma daun yang basah, udara berkabut, dan nyanyian ranting hening membekas pada batuk yang ranum di simpang- simpang jalan.
Engkau tak boleh khawatir, Maria. Hujan yang manis dan ayu membawa sejuta doa supaya tidak merasa sepi sendirian.
Biarkan ia menyusuri jalan kota bersama senja yang membekasÂ
Dan terpahat juga akhirnya pada balai-balai bambu tempat ibu menidurkan mimpi kecilmu dahulu.
Timanglah, padanya teka-teki nasib sedang berkaca di pelupuk mata.Â
Dari kota hujan kudengar bisik gerimis di ufuk timur bahwa harum rambutmu memadu sunyi
Kelak jika purnama tak terbit, dengan setulus hati maknai doa-doa
Jangan terkejut oleh igauan sendiri
Lembutnya awet di putik-putik kembang randu melampaui hati.
Jangan khawatir, Maria. Hujan tak sedang gundah. Ia hanya berada dalam sakitnya untuk jadi kenangan di cerlang senja
Tangisnya jadi air, tumpah di hatimu
Yang tak pernah bertanyaÂ
Tentang doa dan keramaian kata-kata di rahim puisi.Â
Lewaji, 28 April 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H