[caption id="attachment_78860" align="alignleft" width="300" caption="Daerah Biawak, Negara Bagian Serawak, Malaysia yang berbatasan dengan Aruk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kompas/A Handoko)"][/caption]
Tinggal di perbatasan Indonesia dan Malaysia, bagi masyarakat Kalimantan Barat sebetulnya bukan pilihan terbaik. Seandainya ada pilihan hidup yang memungkinkan, mereka akan memilihnya. Wilayah perbatasan Indonesia di Kalimantan Barat, identik dengan persoalan buruknya infrastruktur dan minimnya fasilitas umum. Persoalan ini barangkali sudah tidak lagi banyak terjadi di Entikong, Kabupaten Sanggau yang kini telah menjadi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) yang berbatasan dengan Tebedu, Negara Bagian Serawak, Malaysia. Selain Entikong, wilayah perbatasan lainnya praktis masih harus bergelut dengan persoalan-persoalan dasar tadi. Padahal, panjang batas negara di Kalimantan Barat mencapai 966 kilometer. Cerita seru tentu masih seputar penolakan mata uang rupiah oleh sebagian masyarakat Sajingan, Kabupaten Sambas dan memilih mata uang ringgit. Cerita ini beberapa kali diungkapkan oleh Bupati Sambas Burhanuddin A Rasyid. Ceritanya, pada tahun 2000an, Burhanuddin yang ketika itu masih menjadi Kepala Dinas Pertanian Sambas, mengikuti kunjungan kerja bupatinya ke Aruk, Sajingan Besar yang berbatasan dengan Biawak, Negara Bagian Serawak. "Ada beberapa orang masyarakat kita yang melintas dengan memikul durian. Saya mau beli durian mereka Rp 10.000 per buah, mereka tidak mau. Saya tawar lagi menjadi Rp 15.000 per buah, mereka tidak mau juga. Mereka bilang, hanya akan menjual durian itu kalau mau beli dengan harga 1 Ringgit Malaysia per buah. Padahal waktu itu, Rp 10.000 itu kira-kira ya 4 RM," kata Burhanuddin. Masyarakat memilih mata uang ringgit karena memang mereka sehari-hari bertransaksi di Serawak yang bisa membeli dan menyediakan semua kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika itu, Aruk dan Sambas baru terhubung jalan tanah yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan saat hujan. Kini, jalan antara Aruk dan Sambas sudah diperkeras walaupun belum semuanya aspal halus. Namun, soal masyarakat perbatasan dengan dua mata uang, hari ini masih berlangsung. Penyebabnya tentu saja efisiensi waktu dan biaya jika harus berbelanja ke pusat kecamatan atau kabupaten, sementara kalau berbelanja ke Serawak bisa lebih murah. Hampir di sebagian besar wilayah perbatasan masih mengalami hal itu. Jadi jangan pernah tanyakan kepada mereka soal nasionalisme. Mereka tetap nasionalis sambil berharap Indonesia akan hadir di wilayah mereka dalam bentuk pelayanan, bukan hanya janji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H