Mohon tunggu...
Agustinus Daniel
Agustinus Daniel Mohon Tunggu... -

Credo ut Intelligam - Aku percaya maka aku mengerti.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Visi Peradaban Global dan Kultur Kematian

12 Agustus 2014   00:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Veniat regnum Tuum
Fiat voluntas Tua
Sicut in caelo et in terra

Globalisasi adalah suatu keniscayaan. Sekat-sekat geografis maupun kultur semakin lama semakin menipis dan manusia makin menyadari dirinya adalah bagian dari satu umat manusia yang mendiami satu bumi yang sama dengan semua persoalan yang menjadi masalah bersama. Itu adalah arah sejarah yang tidak bisa dihentikan siapapun, suka atau tidak suka.

Maka sebuah pertanyaan besar muncul: apakah umat manusia yang satu ini punya suatu visi yang menjadi arah gerak perubahan peradaban manusia? Apakah ada sebuah visi peradaban yang bisa disepakati bersama oleh semua manusia? Jika ini tidak ada maka yang akan terjadi adalah kekacauan.

Visi Peradaban versi 'Club Of Rome'

Club of Rome, sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari banyak pakar independen yang berupaya menjadi 'think-tank'untuk memikirkan arah peradaban dunia pada tahun 1972 mengeluarkan sebuah buku berjudul'Limits To Growth'. Buku ini merupakan hasil studi dari beberapa ilmuwan MIT(Dennis Meadows, Jorgen Randers, Danella Meadows, William Behrens)yang mempelajari persoalan-persoalan penting yang terjadi di dunia seperti masalah pertumbuhan populasi, persoalan ketersediaan energi, pertumbuhan kapital, polusi, kerusakan lingkungan, dan dampaknya pada peradaban manusia di masa depan.

Salah satu skenario yang diungkapkan dalam buku tersebut menyatakan bahwa apabila pertumbuhan populasi dunia terus meningkat sementara ketersediaan energi makin menipis dan kerusakan lingkungan makin parah, akan berdampak pada krisis pangan dunia. Ini sebuah gambaran suram masa depan peradaban dunia. Jadi kebutuhan manusia untuk tetap eksis di masa depanadalah persoalan bersama yang harus dicarikan jalan keluar. Itu adalah visi peradaban manusia menurut versi Club of Rome.

Seolah sepakat dengan visi peradaban tersebut, dimana-mana muncul kesadaran untuk megendalikan populasi, menghemat penggunaan BBM dan mengembangkan energi-energi alternatif yang terbarukan, upaya-upaya penyelamatan lingkungan, dan banyak lagi. Tujuannya satu: memastikan bahwa umat manusia di masa depanmasih tetap dapat bertahan eksisdi bumi.

Semua upaya itu tampak bagus sampai kita menyadari bahwa suatu saat, jika cara berpikir seperti ini yang digunakan, manusia akan terpaksa mengambil keputusan mengerikan sebagai solusi: de-populasiumat manusia.

Kultur Kematian Sebagai Solusi

Masa depan umat manusia menurut analisis 'Club of Rome' begitu suram. Ketersediaan bahan bakar fosil makin terbatas sementara energi alternatif belum mampu memenuhi kebutuhan ditambah kerusakan lingkungan yang makin parah karena eksplorasi yang terus-menerus dilakukan manusia. Belum lagi persoalan 'over-fishing' yang menyebabkan ketersediaan ikan semakin sedikit sementara industri perikanan terus berusaha menaikkan produksi untuk memenuhi kebutuhan. Lalu ada juga 'over-farming' di daratan, krisis air bersih, krisis pemanasan global, dan masih banyak lagi.

Akibatnya, pengendalian populasi menjadi alternatif solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini. Pengendalian populasi tidak cukup dilakukan dengan mempertahankan tingkat populasi yang ada, tapi dengan menguranginya secara sistematis, kalau perlu secara drastis.

Maka dari itu pengendalian populasi dengan strategi keluarga berencana (birth-control)tidak lagi cukup. Selain penyebaran masif peralatan kontrasepsi, aborsi mulai dilegalkan dimana-mana. Pernikahan sesama jenis juga mengikuti tren yang sama. Konon ada sebuah wacana yang mengusulkan perlunya ijin bagi pasangan yang ingin punya anak, Dan bukan tidak mungkin ada juga strategi-strategi jahat yang rahasia seperti virus mematikan yang 'tidak sengaja' terlepas dari laboratorium dan menyebar serta membunuh jutaan manusia. Itulah kultur kematianyang terjadi di dalam peradaban manusia dewasa ini. Kelihatannya solusi mengerikan itu seperti tak terhindarkan.

Semua itu adalah upaya-upaya manusia untuk mewujudkan visi peradaban dangkal versi 'Club of Rome'. Tapi apakah tidak ada visi peradaban lain yang lebih baik dari itu? Betapa ironis, manusia yang seharusnya merupakan spesies terunggul, satu-satunya spesies di muka bumi yang mampu membangun peradaban kini harus berjuang sekedar untuk tetap eksis.

Visi Peradaban Universal

Saya percaya seharusnya ada visi peradaban yang lebih baik dari sekedar mempertahankan eksistensi. Hal ini sangat mungkin kalau saja kita percaya bahwa manusia adalah imago dei, yaitu ciptaan terunggul yang diciptakan Tuhan serupa dengan gambar-Nya sendiri. Jika demikian tidakkah Dia juga akan menyediakan habitat yang layak bagi manusia? Tuhan yang mampu menciptakan jutaan bintang dan planet-planet yang begitu menakjubkan pastilah mampu menghadirkan habitat semacam itu.

Dengan cara berpikir demikian visi peradaban umat manusia tidak hanya sekedar mempertahankan eksistensi tapi diarahkan menuju sebuah peradaban paling puncak yang mungkin bisa dipikirkan akal budi manusia. Yaitu ketika manusia yang adalah citra Allahpada akhirnya hidup dalam habitat yang adalah citra surga. Apa ada yang lebih baik dari itu?

Inilah visi peradaban yang disediakan Tuhan bagi manusia, Sebuah visi yang tersembunyi dalam doa luar biasa yang dua abad lalu diajarkan Yesus kepada murid-Nya:

Datanglkah Kerajaan-Mu
Jadilah kehendak-Mu
Di atas bumi seperti di dalam surga

Ini sebuah visi peradaban yang luar biasa! Tidak ada yang lebih baik, lebih indah, dan lebih optimis dari visi peradaban ini. Lalu mengapa manusia lebih memilih percaya pada visi peradaban suram gagasan manusia dan meninggalkan visi peradaban gilang-gemilang yang diberikan Tuhan Sang Pencipta?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah manusia bisa mewujudkan peradaban puncak tersebut? Jawabannya: tidak bisa! Manusia tidak tahu seperti apa peradaban surgawi, yang tahu hanya Tuhan. Maka peradaban puncak itu menurut saya bukan sesuatu yang bisa diwujudkan oleh upaya manusia melainkan merupakan anugerah Tuhan. Yang bisa dilakukan manusia adalah mempersiapkan kedatangannya, yaitu dengan cara hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya dengan cara demikian segala sesuatu di dunia ini akan menjadi semakin baik.

As simple as that!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun