Mohon tunggu...
Agustinus Sumaryono
Agustinus Sumaryono Mohon Tunggu... -

Penjual kelontong

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Solidaritas terhadap Kaum Miskin?

17 Agustus 2017   19:50 Diperbarui: 17 Agustus 2017   20:07 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SOLIDARITAS TERHADAP KAUM MISKIN ?

(  Sebuah Refleksi Pendidikan Katolik)

Semua anak-anak kami bersekolah di sekolah katolik, kendati kami keluarga miskin. Dengan beban biaya pendidikan yang berat, kami tetap berjuang sekuat tenaga untuk membiaya pendidikan anak-anak kami. Sekalipun berat dan mungkin ada cercaan mengapa kalau tahu miskin tetap masih menyekolahkan anak di sekolah katolik pada hal sekolah negeri lebih murah, kami tidak berubah pikiran. Kami percaya bahwa buah pendidikan sekolah katolik akan lebih baik dari pada sekolah lain. Buah pendidikan katolik terutama buah dari pembentukan karakter yang baik, tidak akan lenyap dalam diri anak kami, sepeti lenyapnya uang yang kami gunakan untuk membiaya sekolah dengan kerja keras yang terkadang harus pinjam uang atau menjual barang-barang yang kami punya. Ini yang menyebabkan kami "keukeh" (kuat teguh) menyekolahkan anak di sekolah katolik.

Akan tetapi pengalaman memang menunjukkan lain bahwa memang tidak dengan mudah anak bersekolah di sekolah katolik, terutama untuk orang miskin. Tersendatnya biaya pendidikan (SPP, DPP, DPS) sering menjadi faktor penundaan penerimaan raport atau ditahannya ijazah seperti yang kami alami. Ijazah anak terpaksa ditahan hampir lebih dari dua tahun karena ketiadaan biaya untuk menebusnya. Meski akhirnya ijazah itu bisa ditebus dengan susah payah dari hasil pinjaman orang. Maka timbul pertanyaan: apakah semua sekolah katolik berlaku demikian?  Kami pikir tidak! Sebab hal itu tergantung pada sikap sekolah itu sendiri terhadap orang tua siswa miskin.

 Dari pengalaman ini, maka timbul pertanyaan : apa yang membuat suatu sekolah katolik itu sungguh-sungguh katolik, sekolah yang tidak menjauhi orang miskin, tetapi memberikan perhatian yang cukup? Sebab "Katolik" bukanlah embel-embel, bukanlah sebuah kata yang indah digantung pada papan nama tetapi tidak bicara di dalam realitas;  katolik bukan pula kata yang bertebaran di ruang sekolah melalui gambar-gambar suci.

 Katolik adalah suatu penegasan bahwa dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran, sekolah katolik berdasarkan pada iman katolik sebagaimana diajarkan oleh Gereja Katolik. Segala aspek pendidikan mulai dari para guru/staf pengajar, kurikulum, peraturan dan lingkungan sekolah semua didasarkan pada iman katolik. Dengan kata lain, Kristus menjadi dasar dan fondasi dari semua kegiatan sekolah dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Adalah menarik kalau prinsip-prinsip pendidikan katolik sebagaimana pernah dikeluarkan oleh Vatikan melalui Konggregasi untuk Pendidikan Katolik dalam dokumen The Catholic School. dipelajari, dipahami, didalami sebagai suatu konsep yang membantu sekolah menemukan dan mempertahankan arti kekatolikan dalam bidang pendidikan dan pengajaran (www.katolitas.org) Kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekolah akan mempunyai warna dan rasa katolik, kalau prinsip-prinsip pendidikan katolik itu diterapkan dan dipelihara dengan baik.

Salah satu prinsip pendidikan katolik yang barangkali menarik adalah bahwa sekolah - dalam hal ini para guru - harus berpihak pada murid  yang lemah. Para guru dengan sekuat tenaga hendaklah senantiasa berusaha memulihkan murid yang lemah menjadi murid yang bersemangat dalam mengejar ketertinggalannya dan meraih prestasi yang lebih baik. Para gurulah mempunyai andil besar dalam hal ini. Apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh maka akan membuahkan sukacita bagi murid yang lemah.

Prinsip pendidikan katolik yang bersifat anthropologis ini merupakan prinsip pendidikan yang menghargai hak azasi manusia, tetapi sekaligus menghargai martabatnya sebagai anak Tuhan yang telah dimerdekakan sepenuhnya dari dosa oleh Kristus dan dalam Kristus melalui kasih-Nya. Karena itu solidaritas kepada yang lemah, miskin dan tak berdaya menjadi panggilan suci  dari setiap pengajar atau  guru,  juga dari pihak sekolah atau Yayasan yang bekerja dalam bidang pendidikan sekolah. Mengabaikan nilai-nilai solidaritas hanya akan membuat nama katolik menjadi embel-embel indah, tetapi tidak indah dalam kenyataan; hanya akan membuat nama katolik indah pada papan nama sekolah, tetapi tidak indah pada papan hati orang miskin; hanya akan membuat indah di ruang-ruang kelas, tetapi tidak indah di ruang-ruang keluarga miskin.

Sesungguhnya masih ada cukup banyak prinsip pendidikan katolik yang membuat suatu sekolah katolik sungguh-sungguh katolik. Apakah kurikulumnya diresapi oleh pandangan katolik? Apakah sekolah merupakan komunitas iman dimana nilai-nilai kristiani diwujudkan, seperti diharapkan oleh Paus Paulus ke VI bahwa sekolah katolik harus menjadi tempat bertemunya orang-orang yang berkehendak baik untuk mewujukan nilai-nilai kristiani? Apakah sekolah katolik merupakan tempat di mana rasa kekeluargaan dirasakan? Apakah sekolah katolik menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan yang melibatkan orang tua dan pihak-pihak lain dalam dialog yang wajar?

 Terlepas dari semua itu, kami berharap semoga sekolah-sekolah katolik tetap mengedepankan nilai-nilai solidaritas terutama kepada mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir, sebagaimana diamanatkan KWI dalam Nota Pastoralnya mengenai Keadaban Publik 2004. Demikian juga Gereja Keuskuan Agung Semarang (KAS) yang sejak berstatus sebagai Vikariat Apostulik hingga menjadi keuskupan Agung tetap berkomitmen menjadi Gereja Kaum Papa Miskin baik secara Yuridis spiritual maupun pastoral. Semoga sekolah katolik benar-benar katolik, sekolah yang memperhatikan kaum papa miskin. St. Dominicus. Ora pronobis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun