Belis, atau mas kawin, adalah tradisi yang mencerminkan penghormatan terhadap perempuan dan keluarganya, serta menjadi simbol penyatuan dua keluarga besar dalam pernikahan yang sakral. Lebih dari sekadar nilai ekonomi, belis memiliki makna budaya yang dalam. Namun, di era modern, tradisi ini kerap menjadi beban finansial yang berat, terutama ketika tuntutan belis tinggi menimbulkan tekanan psikologis dan konflik keluarga. Kasus tragis, seperti pria di Kupang yang mengakhiri hidupnya (12/01/2025) konon karena ketidakmampuan memenuhi tuntutan belis, menyoroti sisi gelap tradisi ini yang perlu dievaluasi. Pertanyaannya, apakah belis masih dapat mempertahankan makna penghargaan budaya tanpa menjadi beban bagi pihak-pihak yang terlibat? Untuk itu, diperlukan pendekatan yang bijak agar tradisi ini tetap relevan, menghormati budaya, dan mendukung kesejahteraan keluarga.
Makna dan Simbol Positif Belis
Belis memiliki nilai luhur sebagai bentuk penghargaan terhadap martabat perempuan dan keluarganya. Dalam budaya tradisional, belis melambangkan pengakuan atas peran perempuan sebagai pusat kehidupan keluarga. Lebih dari itu, belis juga menunjukkan keseriusan laki-laki dalam menjalin hubungan. Dengan menyerahkan belis, seorang laki-laki dianggap telah menunjukkan komitmen dan tanggung jawabnya (secara ideal) untuk membangun keluarga yang harmonis.
Belis juga berperan sebagai simbol penyatuan dua keluarga besar. Dalam praktiknya, belis bukan hanya tentang pertukaran materi, tetapi juga tentang membangun hubungan sosial antara keluarga laki-laki dan perempuan. Tradisi ini menggarisbawahi bahwa pernikahan tidak hanya melibatkan dua individu, tetapi juga menyatukan dua komunitas. Dengan demikian, belis menjadi media untuk mempererat solidaritas dan kerja sama antara dua keluarga.
Belis adalah bagian dari warisan budaya yang mencerminkan identitas masyarakat tertentu. Setiap daerah memiliki tata cara dan nilai filosofis yang terkandung dalam tradisi belis, yang menunjukkan keanekaragaman budaya Indonesia. Dengan memahami makna positif belis, masyarakat dapat melestarikan tradisi ini sebagai simbol penghormatan, penyatuan, dan pelestarian budaya, sambil memastikan bahwa nilai-nilainya tetap relevan dalam konteks modern.
Pada masyarakat Lamaholot (di Flores Timur, Solor, Adonara, dan Lembata) terdapat sistem perkawinan patrilineal, di mana belis (welin) seorang perempuan tercermin dalam gading gajah (bala). Besaran dan jumlah gading diatur menurut status sosial seorang perempuan. Misalnya, belis untuk seorang perempuan dari kaum bangsawan biasanya lima gading, sedangkan untuk masyarakat biasa tiga gading. Selain gading, pihak laki-laki wajib menyerahkan sejumlah barang lain berupa sarung tenun sutra (lodan, yang merupakan barang antik pada masyarakat Lamaholot) serta babi, kambing, ayam jantan, dan arak. Meskipun demikian, tradisi tersebut tidak selalu diberlakukan secara murni dan konsekuen dalam praktiknya. Besaran dan jumlah belis masih dinegosiasikan, didiskusikan, bahkan diperdebatkan secara sengit di meja adat, hingga tercapai kata sepakat, yang dalam kenyataannya lebih rendah harganya daripada yang diucapkan di mulut. Yang menarik, bahwa tuntutan kepada pihak laki-laki berupa gading (bala), sarung tenun sutra (lodan), dan sebagainya biasanya dibalas oleh pihak perempuan, yang menyiapkan anting-anting, gelang gading, cincin atau rantai mas, sarung sutra asli (kewatek lodan). Dengan demikian, tuntutan tradisi belis pada masyarakat Lamaholot untuk menghargai martabat perempuan tidak sepenuhnya menjadi beban bagi pihak laki-laki. Pihak perempuan pun harus menanggung sejumlah barang berharga sebagai balasannya kepada pihak laki-laki.
Tantangan dan Beban Finansial
Salah satu tantangan utama yang sering muncul dalam tradisi belis adalah tingginya tuntutan nominal yang ditetapkan. Dalam beberapa kasus, besarnya jumlah belis yang diminta dapat menjadi kendala serius, terutama bagi keluarga laki-laki dengan keterbatasan ekonomi. Namun, beban finansial ini sebenarnya tidak hanya dialami oleh keluarga laki-laki. Dalam banyak budaya di Nusa Tenggara Timur (NTT), seperti etnis Lamaholot, keluarga perempuan juga memiliki kewajiban untuk memberikan balasan kepada pihak laki-laki, berupa gelang gading atau sarung tenun sutra.
Tuntutan belis yang tinggi juga dapat memicu konflik, baik antara pasangan maupun keluarga mereka. Ketika keluarga perempuan menetapkan nominal yang sulit dipenuhi, hal ini dapat menimbulkan ketegangan yang merusak hubungan. Selain itu, konflik juga dapat muncul ketika keluarga laki-laki merasa harga diri mereka dipertaruhkan jika tidak mampu memenuhi tuntutan belis. Hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam hubungan antara dua keluarga yang seharusnya terjalin harmonis.
Dampak sosial dari tuntutan belis yang tinggi sangat nyata, terutama dalam bentuk penundaan pernikahan. Banyak pasangan memilih menunda pernikahan karena belum mampu memenuhi persyaratan belis, meskipun secara agama maupun hukum mereka sebenarnya sudah bisa menikah. Selain itu, tekanan ekonomi dan sosial sering berdampak pada kesehatan mental, terutama bagi pihak laki-laki. Mereka merasa terbebani oleh ekspektasi keluarga dan masyarakat.
Tantangan ini menunjukkan pentingnya diskusi terbuka antara keluarga, masyarakat, dan pemimpin adat untuk menemukan solusi yang menjaga nilai tradisi, tetapi tidak membebani pihak-pihak yang terlibat. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam acara adat perkawinan selalu terjadi negosiasi serta musyawarah mufakat.