Hari Raya Penampakan Tuhan atau Epifani adalah momen istimewa yang merayakan penampakan kemuliaan Allah dalam diri Yesus Kristus, ditandai dengan kedatangan orang-orang Majus dari Timur yang membawa persembahan emas, kemenyan, dan mur sebagai simbol penghormatan mereka. Peristiwa ini melambangkan universalitas panggilan Allah dan menyoroti pentingnya kerendahan hati, seperti dikatakan Uskup Fulton Sheen, "Gembala adalah mereka yang tahu bahwa mereka tidak tahu apa-apa," sedangkan "Orang Majus adalah mereka yang tahu bahwa mereka tidak tahu segalanya." Dengan sikap batin yang rendah hati, mereka membuka diri terhadap wahyu Allah, mengajarkan kita untuk melepaskan keangkuhan dan menghampiri-Nya dengan hati terbuka.
Orang Majus dan Para Gembala
Kisah kelahiran Yesus yang dicatat dalam Injil Matius dan Lukas menghadirkan dua kelompok yang berbeda tetapi saling melengkapi: orang Majus dan para gembala. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda---orang Majus sebagai kaum bijak dari Timur dan gembala sebagai masyarakat sederhana di Palestina---keduanya memiliki satu kesamaan penting: kerendahan hati.
Kesamaan antara orang Majus dan gembala. Pertama, kerendahan hati sebagai sikap batin mereka: Para gembala, yang menerima kabar kelahiran Yesus dari malaikat (Luk. 2:8--20), dan orang Majus, yang dipandu oleh bintang (Mat. 2:1--12), menunjukkan sikap rendah hati dalam menanggapi panggilan Tuhan. Mereka tidak memikirkan status atau kedudukan mereka, tetapi segera berangkat untuk menemui Sang Juru Selamat. Paus Benediktus XVI dalam Deus Caritas Est (2005), menulis bahwa "kesederhanaan dan kerendahan hati membuka pintu kepada keagungan Allah." Kedua, meninggalkan kenyamanan dan pergi mencari Sang Juru Selamat: Para gembala meninggalkan kawanan domba mereka di malam hari, sebuah tindakan yang penuh risiko dalam budaya pastoral. Sementara itu, orang Majus menempuh perjalanan jauh, melewati berbagai tantangan dan bahaya untuk menemukan Sang Raja yang baru lahir. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menyebut perjalanan ini sebagai "pencarian jiwa yang lapar akan kebenaran." Kesamaan ini mengajarkan kita bahwa baik mereka yang sederhana maupun mereka yang bijak diundang untuk datang kepada Kristus, asalkan memiliki kerendahan hati dan keberanian untuk meninggalkan kenyamanan demi kebenaran.
Kontras dengan sikap orang yang merasa tahu segalanya: Mereka yang merasa diri cukup tahu, seperti Herodes dan ahli-ahli Taurat, tidak terlihat di palungan Natal. Herodes, meski mengetahui nubuat tentang Mesias (Mat. 2:4--6), memilih untuk melihat kelahiran Yesus sebagai ancaman, bukan anugerah. Sikap ini mencerminkan apa yang digambarkan oleh Santo Agustinus dalam Confessiones (397-400): "Kesombongan menghalangi manusia untuk mengenali kebenaran Allah." Ahli-ahli Taurat, meski memahami hukum Taurat dengan mendalam, tidak bergerak untuk mencari Yesus. Hal ini menjadi penggenapan nubuat Yesaya: "Bangsa ini menghormati Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari Aku" (Yes. 29:13). Ketiadaan mereka di palungan Natal mengingatkan kita bahwa pengetahuan tanpa kerendahan hati tidak akan membawa kita mendekat kepada Allah. Dalam refleksinya, Fulton Sheen (The Life of Christ, 1958), menulis: "Kebenaran tidak ditemukan oleh mereka yang merasa telah memilikinya, tetapi oleh mereka yang terus mencarinya dengan hati terbuka."
Kerendahan Hati: Tiket Masuk Kerajaan Allah
Kerendahan hati adalah salah satu kebajikan fundamental dalam kehidupan Kristiani. Dalam konteks kisah orang Majus, kerendahan hati menjadi pintu yang membuka hati mereka terhadap bimbingan ilahi dan memungkinkan mereka untuk mengenali Yesus sebagai Raja dan Juru Selamat.
Makna kerendahan hati dalam konteks orang Majus. Pertama, pengakuan bahwa kebijaksanaan manusia memiliki batas: Orang Majus dikenal sebagai para bijak yang menguasai ilmu perbintangan dan pengetahuan duniawi. Namun, mereka sadar bahwa kebijaksanaan manusia memiliki batas dan tidak cukup untuk memahami misteri Allah sepenuhnya. Santo Agustinus dalam De Trinitate (2004) menulis, "Kerendahan hati adalah fondasi dari semua kebijaksanaan sejati." Orang Majus menunjukkan hal ini dengan mencari bimbingan bintang untuk menemukan Yesus. Kedua, perjalanan mereka mencerminkan pencarian akan kebenaran sejati: Perjalanan yang jauh ini adalah simbol pencarian spiritual untuk mengenali kebenaran sejati, yakni Kristus. Seperti yang ditulis oleh Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate (2018), "Kerendahan hati adalah jalan bagi jiwa yang ingin menemukan Allah." Mereka tidak takut meninggalkan kenyamanan hidup mereka untuk mengikuti tanda dari Tuhan.
Kerendahan hati yang membuka hati terhadap wahyu Allah. Pertama, menerima bimbingan bintang dan sabda Tuhan: Orang Majus dengan rendah hati menerima tanda-tanda ilahi melalui bintang yang memimpin mereka ke tempat Yesus dilahirkan. Ketika diberi peringatan melalui mimpi untuk tidak kembali kepada Herodes, mereka patuh (Mat. 2:12). Ini menunjukkan bahwa hati mereka terbuka terhadap wahyu Allah. Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini (2010), mengajarkan bahwa "Allah berbicara kepada mereka yang dengan rendah hati membuka diri terhadap firman-Nya." Kedua, sujud menyembah Yesus, mengakui-Nya sebagai Raja: Saat bertemu Yesus, orang Majus tidak hanya memberikan persembahan fisik berupa emas, kemenyan, dan mur, tetapi juga menyembah-Nya (Mat. 2:11). Tindakan ini adalah pengakuan atas otoritas Yesus sebagai Raja. Santo Thomas Aquinas dalam Summa Theologica (1947) menulis, "Kerendahan hati menempatkan Allah sebagai pusat kehidupan kita dan menundukkan kebanggaan manusia di hadapan kebesaran-Nya."
Relevansi bagi Kehidupan Kita