Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) di Persimpangan Etika

2 Januari 2025   04:30 Diperbarui: 3 Januari 2025   04:48 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SHUTTERSTOCK/LOOKER STUDIO via KOMPAS.com

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) adalah teknologi yang memungkinkan mesin melakukan tugas-tugas yang memerlukan kecerdasan manusia, seperti mengenali pola, memahami bahasa alami, dan membuat keputusan, yang kini telah menjadi bagian penting dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk asisten virtual, kendaraan otonom, dan sektor kesehatan. Namun, perkembangan AI juga menimbulkan tantangan, seperti bias algoritma, pelanggaran privasi, pengangguran massal akibat otomatisasi, serta risiko kehilangan kendali atas teknologi canggih, yang diperparah oleh kurangnya regulasi yang jelas. Oleh karena itu, menempatkan etika sebagai fondasi utama dalam pengembangan AI menjadi krusial untuk memastikan teknologi ini mendukung kemanusiaan dan menghindari dampak negatifnya, dengan upaya membangun teknologi yang lebih bertanggung jawab.

Tantangan Etis dalam Pengembangan Kecerdasan Buatan (AI)

Tantangan etis tersebut, antara lain bias algoritma, privasi dan keamanan data, penggantian pekerjaan, dan otonomi vs. kendali.

Algoritma AI belajar dari data yang diberikan. Jika data tersebut mengandung bias, AI akan mereplikasi dan bahkan memperkuat diskriminasi yang ada. Sebagai contoh, jika data rekrutmen pekerjaan lebih banyak merepresentasikan satu kelompok tertentu, AI mungkin akan cenderung memilih kandidat dari kelompok tersebut, mengabaikan keberagaman. Dari perspektif etika filsafat, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan tanggung jawab moral dalam desain teknologi.

Pengumpulan data besar-besaran untuk beroperasi secara efektif menimbulkan risiko terhadap privasi individu, terutama jika data disalahgunakan atau disebarluaskan tanpa izin. Sebagai contoh, penggunaan AI dalam pengawasan massal dapat mengancam kebebasan individu dan hak atas privasi. Etika filsafat menekankan pentingnya menghormati otonomi individu, yang terkait erat dengan hak atas privasi. Pengumpulan data tanpa persetujuan dianggap melanggar prinsip ini. Jika tidak digunakan dengan bijak, AI bisa mengancam privasi, etika, pekerjaan, dan keseimbangan sosial.

Otomatisasi yang didorong oleh AI dapat menggantikan pekerjaan manusia, terutama dalam tugas-tugas rutin dan repetitif. Hal ini dapat menyebabkan pengangguran dan memperlebar kesenjangan ekonomi, jika tidak diimbangi dengan upaya peningkatan keterampilan tenaga kerja. Dari sudut pandang etika, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab sosial dalam penerapan teknologi. Tantangan dan risiko AI meliputi masalah etika terkait penggunaan data dan persetujuan, dampak potensial terhadap pekerjaan seiring dengan meningkatnya otomatisasi, serta masalah keamanan terkait privasi data dan kerentanan sistem.

AI yang semakin canggih dapat mencapai tingkat otonomi yang membuatnya sulit dikendalikan oleh manusia. Hal ini menimbulkan risiko jika AI mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan atau bahkan merugikan manusia. Etika filsafat mempertanyakan batas antara otonomi mesin dan kendali manusia. Dalam hal ini diperlukan tindakan pencegahan, yakni dengan membuat pedoman sebagai kode etik untuk mencegah dampak negatif dari penggunaan AI yang tidak terkendali.

Peran Regulasi dan Kebijakan Etis

Pentingnya regulasi dalam mencegah penyalahgunaan AI: Regulasi yang tepat sangat penting untuk memastikan bahwa pengembangan dan penerapan AI dilakukan secara etis dan tidak merugikan masyarakat. Tanpa regulasi yang memadai, AI berpotensi disalahgunakan, yang dapat mengakibatkan pelanggaran privasi, diskriminasi, dan dampak negatif lainnya.

Contoh inisiatif global, rekomendasi UNESCO tentang etika AI: UNESCO telah mengadopsi Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence pada tahun 2021, yang merupakan standar global pertama mengenai etika AI. Rekomendasi ini menekankan pentingnya hak asasi manusia, martabat, dan prinsip-prinsip etis lainnya dalam pengembangan dan penggunaan AI. Pemerintah Indonesia, melalui Kominfo, telah mengadopsi standar etika AI yang direkomendasikan oleh UNESCO. Hal ini bertujuan untuk mempercepat adopsi standar etika dalam pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan di Indonesia.

Peran pemerintah, lembaga internasional, dan perusahaan teknologi: Pemerintah memiliki peran krusial dalam merumuskan kebijakan dan regulasi yang memastikan pengembangan AI dilakukan secara etis. Di Indonesia, Kominfo telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial, yang berfungsi sebagai pedoman bagi para pelaku usaha dalam menggunakan AI secara etis. Lembaga internasional seperti UNESCO berperan dalam menetapkan standar global dan mendorong kolaborasi antar negara untuk memastikan pengembangan AI yang bertanggung jawab. Selain itu, perusahaan teknologi juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan produk dan layanan AI mereka mematuhi prinsip-prinsip etika.

Upaya Membangun AI yang Bertanggung Jawab

Dalam membangun kecerdasan buatan (AI) yang bertanggung jawab, ada beberapa upaya penting yang dapat dilakukan untuk memastikan teknologi ini digunakan secara etis dan bermanfaat bagi kemanusiaan.

Prinsip transparansi dalam mengembangkan AI yang dapat dipahami dan diaudit: Transparansi adalah salah satu prinsip mendasar dalam pengembangan AI yang bertanggung jawab. Sistem AI harus dirancang agar dapat dipahami oleh pengguna dan diaudit oleh pihak ketiga untuk mencegah potensi penyalahgunaan atau kegagalan etis. Menurut Luciano Floridi, dalam Ethics of Information (2013), "Transparansi adalah fondasi untuk membangun kepercayaan, memungkinkan pengawasan, dan memastikan akuntabilitas dalam teknologi modern, termasuk AI." Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) menyoroti bahwa "penggunaan teknologi harus diarahkan untuk mendukung kesejahteraan bersama, bukan untuk keuntungan segelintir orang." Prinsip ini menggarisbawahi perlunya keterbukaan dalam bagaimana AI digunakan dan dikembangkan.

Keterlibatan multidisiplin, kolaborasi antara ahli teknologi, hukum, dan etika: Membangun Ai yang bertanggung jawab membutuhkan kolaborasi lintas disiplin antara pakar teknologi, hukum, dan etika. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap aspek dari pengembangan AI mempertimbangkan nilai-nilai moral, hukum, dan sosial. Stuart Russell, dalam Human Compatible: Artificial Intelligence and the Problem of Control (2019), menyatakan, "Untuk membuat AI aman dan bertanggung jawab, kita perlu mendekati permasalahan dari berbagai perspektif---tidak hanya teknis, tetapi juga etis dan sosial." Paus Fransiskus dalam pidatonya kepada Akademi Kepausan untuk Kehidupan (2020) menekankan pentingnya dialog antara ilmuwan dan etika untuk memastikan teknologi menghormati martabat manusia.

Pendidikan dan kesadaran publik membantu masyarakat memahami risiko dan manfaat AI: Penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana AI bekerja, risiko yang terkait dengannya, dan manfaat yang dapat diperoleh. Pendidikan dan kampanye kesadaran publik diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih siap menghadapi era AI. Michael Negnevitsky, dalam Artificial Intelligence: A Guide to Intelligent Systems (2015) menyatakan bahwa "Edukasi publik tentang AI adalah langkah kritis untuk mengurangi ketakutan dan kesalahpahaman yang sering menghambat adopsi teknologi baru." Pontifical Council for Justice and Peace (2004) mendorong pendidikan teknologi berbasis nilai-nilai moral, yang menyatakan, "Pendidikan adalah alat penting untuk membangun masyarakat yang menghormati hak asasi manusia dan perkembangan teknologi yang etis." 

Potensi Masa Depan: AI yang Etis dan Inklusif

Masa depan kecerdasan buatan (AI) menawarkan peluang besar jika dikembangkan dengan pendekatan yang etis dan inklusif. Upaya untuk mengarahkan teknologi ini ke arah yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial menjadi fokus utama banyak pihak. 

Visi AI yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial: Kecerdasan buatan dapat menjadi alat yang kuat untuk mencapai 'Tujuan Pembangunan Berkelanjutan' (Sustainable Development Goals/SDGs), seperti pengurangan kemiskinan, pemerataan pendidikan, dan akses layanan kesehatan. Namun, AI harus dikembangkan dengan memperhatikan prinsip keadilan sosial agar tidak memperdalam kesenjangan yang ada. Nicholas Bostrom dalam Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (2014) menyatakan, "AI memiliki potensi besar untuk mempercepat inovasi dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, tetapi keberhasilan ini hanya dapat dicapai jika teknologi dirancang untuk melayani kepentingan semua, bukan hanya sebagian kecil masyarakat."  Paus Fransiskus menekankan bahwa teknologi, termasuk AI, harus diarahkan untuk mendukung martabat manusia. Dalam pidatonya pada Konferensi Internasional tentang Etika AI (2020), beliau menyatakan, "Teknologi harus menjadi sarana untuk melayani kehidupan dan memperjuangkan keadilan serta solidaritas, bukan alat untuk eksploitasi atau ketidakadilan."

Pentingnya terus beradaptasi dengan kemajuan teknologi: Seiring kemajuan AI yang begitu pesat, masyarakat dan pembuat kebijakan harus mampu beradaptasi untuk memastikan teknologi ini tetap relevan dan etis. Adaptasi melibatkan pembaruan regulasi, pengembangan kebijakan, dan peningkatan literasi teknologi di kalangan masyarakat. Kai-Fu Lee, dalam  AI Superpowers: China, Silicon Valley, and the New World Order (2018) menyatakan, "Dalam era yang didorong oleh AI, negara dan masyarakat yang dapat beradaptasi dengan cepat akan memimpin masa depan. Adaptasi tidak hanya teknis tetapi juga menyangkut nilai-nilai yang melandasi penggunaan teknologi tersebut." 

Akhirnya, kecerdasan buatan (AI) menawarkan potensi besar untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, tetapi juga menghadirkan tantangan etis, seperti bias algoritma, ancaman privasi, dan risiko sulitnya pengendalian teknologi ini. Oleh karena itu, pengembangan AI yang bertanggung jawab harus berpijak pada prinsip etika untuk menghormati martabat manusia, mendorong keadilan sosial, dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Upaya ini membutuhkan kolaborasi global yang melibatkan pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat, serta regulasi yang efektif dan transparansi dalam pengembangan AI. Dengan panduan seperti dari UNESCO, AI dapat diarahkan untuk menjadi kekuatan positif yang memajukan teknologi sekaligus mengokohkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah tantangan global. (*)

Merauke, 02 Januari 2025

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun