Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Palungan ke Pesta: Refleksi Sosial Perayaan Natal dan Tahun Baru

31 Desember 2024   04:30 Diperbarui: 31 Desember 2024   20:17 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freepik via KOMPAS.com

Natal dan Tahun Baru (Nataru) di Indonesia identik dengan kemeriahan suasana, mulai dari dekorasi pohon Natal, gemerlap lampu, hingga pesta besar yang dipenuhi makanan dan hiburan. Namun, di balik kesemarakan ini, sering kali makna religius perayaan tersebut memudar; Natal, yang semestinya menjadi momen refleksi atas kelahiran Sang Juru Selamat dalam kesederhanaan, dan Tahun Baru, yang secara liturgis merayakan Maria sebagai Bunda Allah, berubah menjadi perayaan sosial yang sarat gengsi dan formalitas. Artikel ini mengajak kita kembali ke esensi sejati Nataru---menghayati kasih, kerendahan hati, dan ketaatan kepada Tuhan---agar perayaan tidak hanya meriah secara sosial tetapi juga bermakna secara spiritual.

Makna Natal dan Tahun Baru dalam Perspektif Iman

Perayaan Natal dan Tahun Baru memiliki makna mendalam dalam tradisi iman Kristiani, khususnya dalam Gereja Katolik. Berikut, pembahasan mengenai makna kedua perayaan tersebut.

Natal sebagai perayaan kesederhanaan: Kelahiran Yesus di palungan. Natal dirayakan untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus, yang lahir dalam kesederhanaan di sebuah palungan. Kisah ini menggambarkan kerendahan hati Allah yang memilih untuk hadir di dunia dalam kondisi yang jauh dari kemewahan. Menurut Alkitab, kelahiran Yesus merupakan bentuk solidaritas Tuhan kepada manusia, di mana Allah rela menjadi sama seperti manusia untuk menyelamatkan dunia dari dosa . Hal ini mengajarkan umat Kristiani untuk meneladani kesederhanaan dan kerendahan hati dalam kehidupan sehari-hari.

Tahun Baru sebagai perayaan Maria sebagai Bunda Allah dan simbol ketaatan kepada kehendak Tuhan. Gereja Katolik merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah setiap tanggal 1 Januari. Perayaan ini menegaskan peran Maria sebagai 'Bunda Allah' (Teotokos). Gelar ini menekankan bahwa Maria adalah ibu dari Yesus Kristus, yang adalah Allah dan manusia. Ketaatan Maria terhadap kehendak Tuhan tercermin dalam penerimaannya untuk menjadi ibu Sang Penyelamat, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan penderitaan. Sikap 'fiat' atau 'terjadilah' yang diucapkan Maria menjadi teladan bagi umat dalam menjalani hidup dengan ketaatan penuh kepada kehendak Allah.

Konteks spiritual: Penghayatan iman melalui tindakan kasih dan refleksi diri. Perayaan Naturu bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momen untuk merenungkan dan menghayati iman melalui tindakan kasih dan refleksi diri. Natal mengingatkan umat akan kasih Allah yang begitu besar, yang mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan manusia. Sementara itu, Tahun Baru menjadi kesempatan untuk meneladani ketaatan dan kesetiaan Maria, serta merenungkan perjalanan hidup selama setahun yang lalu. Umat diajak untuk memperbarui komitmen iman, meningkatkan kasih kepada sesama, dan menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Fenomena Perayaan Sosial di Indonesia

Perayaan Naturu di Indonesia telah berkembang menjadi fenomena sosial yang melibatkan berbagai kebiasaan dan tradisi. Berikut, pembahasan mengenai aspek-aspek tersebut.

Kebiasaan umum: Persiapan pesta besar, dekorasi mewah, dan pemberian hadiah. Menjelang Natal dan Tahun Baru, banyak keluarga di Indonesia sibuk mempersiapkan berbagai hal untuk merayakan momen ini. Persiapan tersebut meliputi pembersihan rumah, pembuatan kandang Natal, menghiasi lingkungan, pembuatan kue Natal, hingga pembelian berbagai kebutuhan Natal. Hiruk pikuk di beberapa tempat perbelanjaan merupakan konsekuensi logis dari realitas Natal dalam kultur masyarakat.

Alasan sosial: Gengsi, tradisi budaya, dan tekanan masyarakat. Fenomena konsumerisme Natal dan Tahun Baru mengancam setiap warga negara yang merayakannya. Dalam masyarakat yang bercorak konsumtif, orang mendekatkan diri dengan produk-produk industri, glamour, kehampaan, dan kekosongan nilai. Moral yang muncul di sini adalah moral hedonis yang mengedepankan kesenangan individual tanpa memerhatikan relasi sosial dengan manusia lain di sekitarnya, yang mengedepankan tanda/simbol ketimbang isi.

Dampak dari fokus materialistis: Kelelahan finansial dan hilangnya makna spiritual. Fokus yang berlebihan pada aspek materialistis dalam perayaan Natal dan Tahun Baru dapat menyebabkan kelelahan finansial bagi individu dan keluarga. Tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial dalam hal pemberian hadiah, dekorasi, dan pesta dapat mengakibatkan pengeluaran yang melebihi kemampuan finansial. Selain itu, makna spiritual dari perayaan tersebut dapat terabaikan, dengan lebih menekankan pada aspek eksternal daripada refleksi iman dan nilai-nilai keagamaan.

Refleksi Kritis: Kembali ke Esensi Natal dan Tahun Baru

Perayaan Natal dan Tahun Baru sering kali diwarnai dengan kemeriahan dan berbagai aktivitas sosial. Namun, penting bagi kita untuk merenungkan kembali esensi sejati dari perayaan ini, yang sarat dengan makna spiritual dan nilai-nilai kesederhanaan.

Kesederhanaan sebagai inti dari Natal: Natal mengingatkan kita pada kelahiran Yesus Kristus dalam kesederhanaan. Yesus lahir di sebuah palungan, tempat makan ternak, di kota kecil Betlehem. Kehadiran-Nya pertama kali disaksikan oleh para gembala, bukan oleh para raja atau bangsawan. Hal ini menegaskan bahwa Allah memilih untuk hadir di tengah-tengah kesederhanaan dan kerendahan hati. Kelahiran Yesus di palungan menunjukkan bahwa Natal adalah perayaan sederhana yang mengajarkan kita untuk hidup dengan rendah hati dan bersahaja.

Tahun Baru sebagai momen untuk merefleksikan hubungan dengan Tuhan dan sesama: Tahun Baru merupakan kesempatan bagi umat Kristiani untuk merenungkan kembali hubungan mereka dengan Tuhan dan sesama. Dalam perspektif teologi Kristen, pemantapan iman di masa-masa sulit bukan hanya memperkuat hubungan dengan Tuhan, tetapi juga menjadi saksi yang berpengaruh dalam masyarakat. Dengan memelihara iman yang kuat, umat Kristiani dapat memperkuat hubungan mereka dengan Tuhan, menemukan kedamaian dan kekuatan dalam iman mereka, dan menjadi saksi yang berpengaruh dalam masyarakat.

Pentingnya perayaan yang seimbang, menggabungkan dimensi sosial dan spiritual: Perayaan Naturu sebaiknya tidak hanya difokuskan pada aspek sosial seperti pesta dan hadiah, tetapi juga pada penghayatan spiritual. Kelahiran Sang Juru Selamat mengundang umat untuk merangkul nilai-nilai kasih, damai, dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari.  Dengan demikian, perayaan yang seimbang antara dimensi sosial dan spiritual akan membawa sukacita yang lebih mendalam dan bermakna.

Ajakan untuk Perubahan

Perayaan Naturu sering diwarnai dengan kemeriahan dan aktivitas yang berfokus pada aspek material. Namun, esensi sejati dari perayaan ini terletak pada nilai-nilai spiritual dan kebersamaan. Berikut, beberapa langkah konkret dan harapan untuk menciptakan perayaan yang lebih bermakna. Pertama, memprioritaskan kegiatan berbagi dengan yang membutuhkan: Natal adalah momen yang tepat untuk menunjukkan kasih dan kepedulian kepada sesama, terutama mereka yang kurang beruntung. Kegiatan seperti lomba parcel Natal, di mana hasilnya disalurkan kepada yang membutuhkan, dapat menjadi contoh nyata dalam berbagi kebahagiaan Natal. Kedua, menyederhanakan pesta dan fokus pada kebersamaan: Merayakan Natal dengan semangat kesederhanaan dan kebersamaan dapat memperkuat ikatan keluarga dan komunitas. Ketiga, merenungkan makna iman dalam keluarga dan komunitas: Natal adalah waktu yang tepat untuk memperdalam pemahaman akan kasih Kristus. Pesan tentang pengorbanan-Nya, kasih-Nya yang tanpa syarat, dan ajaran-ajaran kasih dalam Injil dapat diperdalam selama perayaan ini.

Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, diharapkan perayaan Naturu dapat membawa kedamaian dan kegembiraan sejati. Perayaan ini tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, tetapi juga momen untuk memperkuat nilai-nilai spiritual dan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Melalui refleksi dan perubahan dalam cara merayakan, kita dapat mengembalikan makna sejati dari Natal dan Tahun Baru, menjadikannya sebagai sumber inspirasi untuk hidup yang lebih bermakna dan penuh kasih.

Pada akhirnya, Naturu adalah momen penuh makna yang mengandung pesan spiritual dan kasih, namun pergeseran fokus menjadi perayaan sosial sering mengaburkan nilai-nilai luhur di dalamnya. Natal yang lahir dari kesederhanaan dan Tahun Baru yang membawa pesan ketaatan Maria mengajak kita merenungkan hidup dengan lebih mendalam. Melalui perayaan yang sederhana, berbagi dengan yang membutuhkan, dan memperdalam relasi dengan Tuhan serta sesama, kita dapat menjadikannya momen refleksi yang membawa kedamaian sejati. Mari merayakan Naturu dengan cara yang bermakna, menghidupkan kembali nilai kasih, kesederhanaan, dan kebersamaan sebagai inti kedua perayaan ini. (*)

Merauke, 31 Desember 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun