Mengingat Kembali Pesta Dambu
Di malam yang sepi di asrama IPB, Josefa duduk di meja belajarnya dengan buku catatan yang terbuka di hadapannya. Lampu kecil berkedip-kedip di sudut ruangan, menciptakan suasana yang hening dan khidmat. Pikirannya melayang ke belakang, mengingat kembali saat-saat indah di Kampung Tabonji saat Pesta Adat Dambu beberapa tahun lalu.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diberi ketukan pelan. Teguh masuk dengan wajah serius.
"Se, masih di sini?" Teguh bertanya sambil duduk di samping Josefa.
Josefa tersenyum lembut. "Ya, lagi memikirkan Pesta Adat Dambu dulu. Kamu pernah ke sana, kan?"
Teguh mengangguk. "Iya, pernah sekali. Suasana tradisional mereka luar biasa. Tapi, apa yang kamu pikirkan tentang tanaman ubi-ubi itu?"
Josefa mengernyitkan dahi. "Aku terkesima dengan hasilnya. Tanpa teknologi modern, mereka bisa mencapai produktivitas yang tinggi. Aku jadi bertanya-tanya, apakah ada cara untuk menggabungkan cara mereka dengan ilmu yang kita pelajari di sini?"
Teguh mengangguk mengerti. "Sulit dipungkiri, teknologi modern memberikan efisiensi yang tak tertandingi. Tapi kearifan lokal mereka juga punya nilai yang besar."
Josefa memandang Teguh, ekspresinya penuh pemikiran. "Aku rasa solusinya ada di tengah-tengah. Kita bisa mengambil yang terbaik dari kedua dunia ini."
"Seperti bagaimana?" Teguh menatap Josefa dengan antusiasme.