Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Sang Juru Selamat: Pelajaran dari Lembu dan Keledai di Kandang Natal

25 Desember 2024   04:25 Diperbarui: 24 Desember 2024   19:46 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kandang Natal, sebuah tradisi yang erat kaitannya dengan perayaan kelahiran Yesus Kristus, bukan sekadar dekorasi, tetapi pengingat akan kesederhanaan Sang Juru Selamat. Elemen-elemen seperti Maria, Yosef, bayi Yesus, para gembala, orang Majus, malaikat, serta lembu dan keledai memiliki makna simbolis yang mendalam. Lembu dan keledai, misalnya, menyampaikan pesan teologis dari Kitab Suci tentang pengakuan dan pemahaman akan kehadiran Kristus, meskipun dunia sering kali tidak memahami-Nya. Artikel ini mengajak kita untuk merenungkan simbolisme kedua hewan tersebut sebagai pelajaran tentang ketaatan dan pengakuan akan Tuhan, sehingga kita semakin terbuka untuk menerima Kristus dalam hidup kita.

Latar Belakang Tradisi

Tradisi pembuatan kandang Natal memiliki sejarah yang kaya dalam Gereja Katolik, dengan akar yang dapat ditelusuri hingga abad ke-13. Santo Fransiskus dari Asisi dikenal sebagai pelopor tradisi kandang Natal. Pada tahun 1223, di Greccio, Italia, ia menciptakan representasi kelahiran Yesus dengan mendirikan sebuah kandang yang dilengkapi dengan hewan-hewan hidup seperti lembu dan keledai. Tujuannya adalah untuk membawa suasana Betlehem ke dalam kehidupan umat, sehingga mereka dapat merasakan secara langsung pengalaman kelahiran Kristus. Thomas dari Celano, penulis biografi Fransiskus, menggambarkan bagaimana Fransiskus mempersiapkan kandang dengan penuh devosi, menciptakan suasana yang menginspirasi umat untuk merenungkan misteri inkarnasi. Paus Fransiskus, dalam surat apostolik Admirabile Signum (2019), menekankan bahwa tradisi ini membantu umat beriman untuk memahami makna mendalam dari peristiwa Natal dan mendorong mereka untuk hidup dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, sebagaimana dicontohkan oleh Kristus dalam kelahiran-Nya.

Kehadiran lembu dan keledai dalam kandang Natal bukan hanya sekadar dekorasi, tetapi memiliki makna simbolis yang mendalam. Meskipun Injil tidak secara eksplisit menyebutkan kehadiran hewan-hewan ini di sekitar palungan Yesus, tradisi Kristen mengaitkannya dengan nubuat dalam Kitab Yesaya: "Lembu mengenal pemiliknya, dan keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi Israel tidak; umat-Ku tidak memahaminya" (Yes 1:3). Ayat ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana bahkan hewan-hewan sederhana mengenali Sang Pencipta, sementara umat manusia sering gagal untuk melakukannya. Selain itu, lembu dan keledai sering muncul dalam berbagai lagu Natal tradisional. Misalnya, dalam lagu Good Christian Men Rejoice dan What Child is This, kedua hewan ini disebutkan sebagai saksi kelahiran Kristus, menekankan kesederhanaan dan kerendahan hati dari peristiwa tersebut. Kehadiran mereka dalam lagu-lagu ini mengingatkan umat akan panggilan untuk mengenali dan menerima Kristus dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana lembu dan keledai mengenali palungan-Nya.

Makna Alkitabiah Lembu dan Keledai

Nabi Yesaya (Yes 1:3) menggunakan analogi lembu dan keledai untuk menggambarkan perbedaan antara binatang dan umat Tuhan. Lembu mengenal pemiliknya, dan keledai memahami palungan yang disediakan tuannya, menunjukkan kesadaran instingtif hewan-hewan ini terhadap pihak yang merawat dan memberi makan mereka. Sebaliknya, Israel, umat pilihan Tuhan, gagal mengenali dan menaati Tuhan yang telah membimbing mereka. Menurut pakar biblika Raymond E. Brown dalam The Birth of the Messiah (1993), ayat ini merupakan teguran keras yang mencerminkan hubungan yang rusak antara Tuhan dan umat-Nya. Lembu dan keledai, meskipun dianggap sebagai binatang sederhana, menjadi simbol penghormatan dan ketaatan, kualitas yang seharusnya ada pada manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Kehadiran kedua hewan ini di kandang Natal mengingatkan kita pada kebutaan spiritual yang ditegur oleh Yesaya, yang relevan dengan kedatangan Kristus ke dunia.

Injil Yohanes (Yoh 1:11-12) mencatat: "Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah." Ayat ini melanjutkan tema yang ditemukan dalam Yesaya, yaitu ketidakmampuan manusia untuk mengenali kehadiran ilahi di tengah mereka. Ditegaskan bahwa penolakan umat manusia terhadap Kristus adalah manifestasi dari ketidaktaatan dan kerasnya hati manusia. Namun, Yohanes juga menawarkan janji yang indah bagi mereka yang percaya: menjadi anak-anak Allah. Lembu dan keledai, yang sederhana dan tanpa prasangka, menjadi simbol penerimaan yang tidak bersyarat terhadap Kristus, berbanding terbalik dengan manusia yang sering kali menolak-Nya. Dalam konteks ini, lembu dan keledai di kandang Natal tidak hanya melambangkan ketaatan tetapi juga mengingatkan kita akan anugerah Tuhan yang terbuka bagi mereka yang menerima-Nya.

Kesederhanaan lembu dan keledai mencerminkan sikap rendah hati yang diharapkan dari setiap manusia dalam menerima kehadiran Kristus. Katekismus (KGK, 1997:525) menyebutkan bahwa "Yesus lahir di dalam kerendahan sebuah palungan di tengah binatang-binatang yang biasanya digunakan sebagai persembahan." Hal ini menegaskan simbolisme lembu dan keledai sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk menyampaikan pesan tentang kerendahan hati dan ketaatan. Sementara Paus Fransiskus (2019) juga menekankan bahwa lembu dan keledai di kandang Natal mengingatkan kita pada keintiman antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Mereka yang dianggap kecil dan sederhana, seperti hewan-hewan ini, sering kali lebih terbuka untuk menerima Tuhan dibandingkan mereka yang sombong atau keras hati. 

Ketaatan lembu dan keledai menjadi pengingat bahwa iman bukan tentang status atau kepandaian, tetapi tentang sikap hati yang tulus. Sebaliknya, ketidaktaatan manusia menggambarkan perjuangan spiritual yang terus terjadi sepanjang sejarah keselamatan. Sebagai umat beriman, kita diajak untuk merenungkan sikap lembu dan keledai dan meneladaninya dalam hubungan kita dengan Tuhan. 

Relevansi dengan Kehidupan Manusia Saat Ini

Apakah kita sudah mengenal Yesus seperti lembu mengenal pemiliknya? Yesaya 1:3 menggugah kita dengan pertanyaan: Apakah kita mengenal Tuhan seperti lembu mengenal pemiliknya dan keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya? Refleksi ini mengajak kita untuk memeriksa hubungan kita dengan Kristus. Ketekismus (KGK, 1997:2563) menyebutkan bahwa "hati manusia adalah tempat perjumpaan dengan Tuhan," namun sering hati ini diisi oleh kesibukan duniawi sehingga gagal mengenal dan memahami-Nya. Dalam kehidupan modern, kita kerap kali teralihkan oleh pencapaian material dan kebisingan dunia sehingga melupakan pemilik sejati hidup kita, yaitu Tuhan. Lembu dan keledai, yang sederhana dan tanpa ambisi, menunjukkan pengenalan mereka terhadap tuannya melalui kesetiaan dan ketaatan. Pertanyaan ini menjadi undangan untuk merenungkan sejauh mana kita telah mengarahkan hidup kita kepada Tuhan dan mengenali kehadiran-Nya dalam keseharian.

Makna palungan sebagai simbol kesederhanaan dan kehadiran Kristus dalam kehidupan manusia. Palungan, tempat di mana Yesus pertama kali dibaringkan, memiliki makna simbolis yang mendalam. Dalam Admirabile Signum (2019), Paus Fransiskus menulis, "Palungan adalah simbol kemiskinan dan kerendahan hati Tuhan yang memilih untuk hadir dalam kesederhanaan." Palungan menggambarkan bagaimana Tuhan tidak memilih kemegahan dunia, tetapi justru datang kepada manusia melalui cara yang paling sederhana, menunjukkan solidaritas-Nya dengan mereka yang kecil, lemah, dan terpinggirkan. Kesederhanaan palungan menantang kita untuk melihat kehadiran Tuhan di tengah kehidupan yang biasa, dalam momen-momen kecil yang sering kali kita abaikan. Raymond E. Brown (1993) mengungkapkan bahwa Yesus yang lahir di palungan adalah tanda bahwa Allah hadir bahkan dalam situasi yang paling sederhana sekalipun, dan bahwa setiap manusia dipanggil untuk menerima kehadiran ini dengan hati yang terbuka.

Undangan untuk menerima Kristus dan menjadi anak-anak Allah. Yohanes 1:11-12 menawarkan kontras yang tajam: meskipun dunia menolak Kristus, setiap orang yang menerima-Nya diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Ini adalah undangan universal yang melampaui batas budaya, status sosial, dan latar belakang. Gerald O'Collins, dalam Christology: A Biblical, Historical, and Systematic Study of Jesus (2009), menekankan bahwa penerimaan Kristus bukan hanya pengakuan intelektual, tetapi juga sebuah transformasi hidup yang mencerminkan iman yang aktif dan penuh kasih. Sementara Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives (2012) menekankan bahwa menerima Kristus berarti membuka hati kepada terang ilahi, yang mampu mengubah kegelapan dunia menjadi harapan yang baru. Dalam konteks ini, lembu dan keledai menjadi simbol mereka yang dengan rendah hati menerima Kristus, sementara dunia yang sibuk dan teralienasi sering menjadi seperti "Israel yang tidak mengenal." Dengan menerima Kristus, kita bukan hanya mengenal Tuhan sebagai pemilik hidup kita, tetapi juga diangkat menjadi anak-anak Allah. Hal ini menuntut kita untuk hidup dengan penuh kasih, kerendahan hati, dan ketaatan, sebagaimana dicontohkan oleh lembu dan keledai. 

Akhirnya, kehadiran lembu dan keledai di kandang Natal melambangkan pengenalan, ketaatan, dan kesederhanaan yang diajarkan dalam Kitab Suci. Seperti yang dinubuatkan dalam Yesaya 1:3, kedua hewan ini mengenal pemilik dan palungan mereka, mengingatkan manusia untuk mengenali Tuhan meskipun sering terhalang oleh dosa dan kesibukan dunia. Kelahiran Yesus di palungan sederhana adalah undangan bagi semua orang untuk menerima-Nya sebagai Juru Selamat, sebagaimana ditegaskan dalam Yohanes 1:11-12 bahwa siapa pun yang menerima-Nya diberi kuasa menjadi anak-anak Allah. Palungan menjadi simbol kasih Allah yang memberikan tempat bagi setiap orang tanpa memandang latar belakang, memanggil kita untuk mendekat dengan iman dan hati yang terbuka, menemukan keselamatan dan hidup baru di dalam Kristus. (*)

Merauke, 25 Desember 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun