Ungkapan "Surga di telapak kaki ibu" adalah simbol penghormatan universal terhadap ibu sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan pengorbanan. Ibu tak hanya melahirkan, tetapi juga menjadi pelita keluarga yang membimbing dan melindungi anak-anaknya. Namun, penghormatan ini sering terselubung ironi dalam masyarakat, di mana peran ibu kerap ditempatkan di posisi kedua setelah ayah, terjebak dalam bayang-bayang patriarki yang merendahkan kontribusi domestik mereka. Hari Ibu setiap 22 Desember seharusnya bukan sekadar perayaan simbolis, melainkan momen refleksi untuk mengakui peran ibu yang tak tergantikan dalam keluarga dan masyarakat, serta memulai langkah nyata melawan ketidakadilan gender.
Hari Ibu di Indonesia
Hari Ibu di Indonesia berakar dari Kongres Perempuan Indonesia I yang diselenggarakan pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini merupakan inisiatif perempuan muda seperti Sujatin Kartowijono yang menginginkan persatuan nasional perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Isu-isu yang dibahas mencakup pendidikan bagi perempuan, keadilan dalam perkawinan, dan penghapusan kawin paksa. Kongres ini menghasilkan pembentukan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI) sebagai wadah perjuangan bersama. Perayaan Hari Ibu kemudian diresmikan melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959, menjadikannya simbol perjuangan perempuan untuk keadilan sosial.
Awalnya, Hari Ibu di Indonesia dimaksudkan untuk mengenang peran perempuan dalam perjuangan nasional dan meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender. Namun, dalam perkembangannya, makna tersebut terkikis menjadi bentuk romantisasi peran ibu sebagai pelayan domestik. Peran perempuan sering direduksi menjadi hanya sebagai pendukung keluarga, tanpa mengakui kontribusinya dalam ranah sosial, politik, dan ekonomi. Kritik ini sering muncul dari pengamat sosial yang melihat bahwa perayaan modern Hari Ibu lebih menekankan aspek sentimental, seperti pemberian bunga dan ucapan terima kasih, tanpa refleksi mendalam tentang perjuangan perempuan.
Dalam perspektif Gereja Katolik, penghormatan kepada ibu dan perempuan secara umum dihubungkan dengan peran Bunda Maria sebagai model kebajikan dan pengabdian. Paus Yohanes Paulus II, dalam Mulieris Dignitatem (1988), menekankan martabat dan kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Dalam konteks ini, Hari Ibu dapat dipandang sebagai peluang untuk merenungkan bagaimana perempuan dapat dihargai tidak hanya dalam peran keluarga tetapi juga dalam partisipasi penuh di masyarakat.
Peran Ibu dalam Perspektif Sosial dan Budaya
Tuntutan ganda: sebagai pengasuh dan pencari nafkah. Dalam masyarakat modern, ibu sering menghadapi tuntutan ganda sebagai pengasuh keluarga dan pencari nafkah. Penelitian oleh Hochschild & Machung dalam The Second Shift (1989) menunjukkan bahwa meskipun perempuan bekerja penuh waktu, mereka tetap diharapkan memikul sebagian besar tugas rumah tangga dan pengasuhan anak. Hal ini menciptakan beban emosional dan fisik yang sering kali diabaikan dalam diskursus publik. Maria Lourdes Pinto Garcia dalam Feminist Theology in Third World Perspective (1999) menyebut situasi ini sebagai "triple burden," yaitu peran domestik, pekerjaan formal, dan partisipasi dalam kegiatan sosial atau komunitas.
Stereotip budaya: Peran ibu sebagai pendukung ayah. Budaya patriarki yang masih dominan di banyak masyarakat, menempatkan ibu dalam posisi subordinat, hanya sebagai pendukung peran utama ayah sebagai kepala keluarga. Hal ini tercermin dalam ungkapan seperti "di balik pria sukses, ada wanita hebat," yang secara implisit merendahkan kontribusi perempuan menjadi sekadar pelengkap. Gereja Katolik menekankan bahwa perempuan memiliki "kejeniusan unik" yang harus dihormati dan dipromosikan, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat, sebagaimana dikemukakan dalam ensiklik Mulieris Dignitatem (1988).
Ketidaksetaraan gender dalam pembagian peran rumah tangga. Pembagian kerja dalam rumah tangga masih sangat bias gender. Data dari OECD Family Database (2021) menunjukkan bahwa perempuan di seluruh dunia rata-rata menghabiskan 3-4 kali lebih banyak waktu untuk pekerjaan domestik dibandingkan laki-laki. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan gender, tetapi juga memperkuat stereotip bahwa pekerjaan rumah tangga adalah "tugas perempuan."
Ibu Sebagai Pilar Utama Keluarga
Peran emosional ibu dalam membentuk karakter anak: Ibu memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter anak karena keterlibatan emosional yang intens sejak masa awal kehidupan. John Bowlby dalam Attachment and Loss (1980) menegaskan bahwa hubungan emosional yang erat antara ibu dan anak (attachment) membentuk dasar perkembangan sosial, emosional, dan moral anak. Penelitian lebih lanjut oleh Daniel Siegel dalam The Developing Mind (1999) menunjukkan bahwa pola asuh ibu yang responsif terhadap kebutuhan emosional anak dapat meningkatkan kapasitas anak untuk membangun hubungan yang sehat dan mengelola emosi dengan baik. Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (1981) menekankan bahwa ibu memiliki panggilan istimewa untuk menanamkan nilai-nilai spiritual dan moral yang akan menjadi fondasi kehidupan anak.
Peran ibu dalam menjaga stabilitas rumah tangga, terutama di tengah krisis: Dalam situasi krisis seperti kehilangan pekerjaan, konflik keluarga, atau bencana, ibu sering menjadi penjaga stabilitas emosional dan penggerak daya tahan keluarga. Sebuah laporan oleh Pew Research Center (2015) menunjukkan bahwa ibu sering kali menjadi figur yang diandalkan untuk memberikan dukungan emosional dan pengelolaan keuangan rumah tangga selama masa sulit. Penelitian di Indonesia oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2022) juga mengungkapkan bahwa ibu memegang peran strategis dalam memastikan kebutuhan dasar keluarga tetap terpenuhi di tengah pandemi COVID-19. Dalam konteks Gereja, Bunda Maria adalah contoh ideal ibu yang menjaga stabilitas keluarga dalam situasi krisis. Ensiklik Redemptoris Mater (1987) menyoroti peran Maria sebagai model kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan yang dapat diteladani oleh para ibu.
Langkah Menuju Penghormatan yang Setara
Pendidikan kesetaraan gender sejak dini di keluarga: Ini adalah langkah penting untuk membentuk pandangan yang adil terhadap peran ibu dan ayah dalam keluarga. Menurut Diane F. Halpern dalam Sex Differences in Cognitive Abilities (2011), orang tua yang membiasakan anak untuk berbagi tugas rumah tangga tanpa membedakan gender membantu anak-anak mengembangkan pola pikir yang lebih egaliter. Dalam Amoris Laetitia (2016), Paus Fransiskus menekankan bahwa keluarga adalah tempat utama untuk menanamkan nilai-nilai penghormatan terhadap martabat manusia. Ia mengingatkan bahwa pendidikan dalam keluarga harus melibatkan pembagian peran secara adil antara ibu dan ayah, yang menjadi teladan bagi anak-anak.
Mendorong kebijakan sosial yang mendukung ibu: Kebijakan sosial yang mendukung ibu, seperti cuti melahirkan yang layak dan fleksibilitas kerja, sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara peran sebagai ibu dan pekerja. Menurut laporan International Labour Organization (2020), negara-negara dengan kebijakan cuti melahirkan yang kuat, seperti negara-negara Skandinavia, menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga yang lebih tinggi dan partisipasi ibu yang lebih baik dalam dunia kerja. Gereja Katolik mendorong pemerintah dan perusahaan untuk memastikan lingkungan kerja yang mendukung perempuan, termasuk perlindungan maternitas.
Mengubah narasi budaya untuk mengakui peran ibu secara setara: Narasi budaya sering menggambarkan ibu hanya dalam peran domestik, sementara ayah dilihat sebagai pengambil keputusan utama. Hal ini harus diubah untuk mengakui peran ibu sebagai mitra setara dalam keluarga dan masyarakat. Riane Eisler dalam The Chalice and the Blade (1987) menekankan perlunya masyarakat menggantikan budaya dominasi dengan budaya kemitraan, di mana perempuan dan laki-laki dihormati secara setara. Paus Yohanes Paulus II (1988) mendorong masyarakat untuk tidak melihat peran ibu hanya dalam kerangka tradisional tetapi sebagai penggerak perubahan sosial yang signifikan.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Hari Ibu seharusnya menjadi momen refleksi mendalam, bukan sekadar tradisi memberikan bunga atau ucapan selamat. Ini adalah waktu untuk menghargai perjuangan ibu dalam berbagai peran: sebagai pengasuh, pendidik, pencari nafkah, dan penjaga nilai keluarga. Penghormatan sejati membutuhkan aksi nyata untuk menciptakan lingkungan yang mendukung ibu secara setara, bebas dari stereotip atau tuntutan yang berlebihan. Dengan menjadikan Hari Ibu sebagai tonggak perubahan sosial, kita tidak hanya membangun keluarga yang kuat, tetapi juga masyarakat yang lebih berkeadilan. (*)
Merauke, 22 Desember 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H