Peran ibu dalam menjaga stabilitas rumah tangga, terutama di tengah krisis: Dalam situasi krisis seperti kehilangan pekerjaan, konflik keluarga, atau bencana, ibu sering menjadi penjaga stabilitas emosional dan penggerak daya tahan keluarga. Sebuah laporan oleh Pew Research Center (2015) menunjukkan bahwa ibu sering kali menjadi figur yang diandalkan untuk memberikan dukungan emosional dan pengelolaan keuangan rumah tangga selama masa sulit. Penelitian di Indonesia oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2022) juga mengungkapkan bahwa ibu memegang peran strategis dalam memastikan kebutuhan dasar keluarga tetap terpenuhi di tengah pandemi COVID-19. Dalam konteks Gereja, Bunda Maria adalah contoh ideal ibu yang menjaga stabilitas keluarga dalam situasi krisis. Ensiklik Redemptoris Mater (1987) menyoroti peran Maria sebagai model kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan yang dapat diteladani oleh para ibu.
Langkah Menuju Penghormatan yang Setara
Pendidikan kesetaraan gender sejak dini di keluarga: Ini adalah langkah penting untuk membentuk pandangan yang adil terhadap peran ibu dan ayah dalam keluarga. Menurut Diane F. Halpern dalam Sex Differences in Cognitive Abilities (2011), orang tua yang membiasakan anak untuk berbagi tugas rumah tangga tanpa membedakan gender membantu anak-anak mengembangkan pola pikir yang lebih egaliter. Dalam Amoris Laetitia (2016), Paus Fransiskus menekankan bahwa keluarga adalah tempat utama untuk menanamkan nilai-nilai penghormatan terhadap martabat manusia. Ia mengingatkan bahwa pendidikan dalam keluarga harus melibatkan pembagian peran secara adil antara ibu dan ayah, yang menjadi teladan bagi anak-anak.
Mendorong kebijakan sosial yang mendukung ibu: Kebijakan sosial yang mendukung ibu, seperti cuti melahirkan yang layak dan fleksibilitas kerja, sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara peran sebagai ibu dan pekerja. Menurut laporan International Labour Organization (2020), negara-negara dengan kebijakan cuti melahirkan yang kuat, seperti negara-negara Skandinavia, menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga yang lebih tinggi dan partisipasi ibu yang lebih baik dalam dunia kerja. Gereja Katolik mendorong pemerintah dan perusahaan untuk memastikan lingkungan kerja yang mendukung perempuan, termasuk perlindungan maternitas.
Mengubah narasi budaya untuk mengakui peran ibu secara setara: Narasi budaya sering menggambarkan ibu hanya dalam peran domestik, sementara ayah dilihat sebagai pengambil keputusan utama. Hal ini harus diubah untuk mengakui peran ibu sebagai mitra setara dalam keluarga dan masyarakat. Riane Eisler dalam The Chalice and the Blade (1987) menekankan perlunya masyarakat menggantikan budaya dominasi dengan budaya kemitraan, di mana perempuan dan laki-laki dihormati secara setara. Paus Yohanes Paulus II (1988) mendorong masyarakat untuk tidak melihat peran ibu hanya dalam kerangka tradisional tetapi sebagai penggerak perubahan sosial yang signifikan.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Hari Ibu seharusnya menjadi momen refleksi mendalam, bukan sekadar tradisi memberikan bunga atau ucapan selamat. Ini adalah waktu untuk menghargai perjuangan ibu dalam berbagai peran: sebagai pengasuh, pendidik, pencari nafkah, dan penjaga nilai keluarga. Penghormatan sejati membutuhkan aksi nyata untuk menciptakan lingkungan yang mendukung ibu secara setara, bebas dari stereotip atau tuntutan yang berlebihan. Dengan menjadikan Hari Ibu sebagai tonggak perubahan sosial, kita tidak hanya membangun keluarga yang kuat, tetapi juga masyarakat yang lebih berkeadilan. (*)
Merauke, 22 Desember 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H