Krisis kemanusiaan anak membutuhkan pendekatan strategis yang terintegrasi dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk melindungi hak-hak anak dan memberikan mereka masa depan yang lebih baik.
Pendidikan sebagai solusi utama: Pendidikan adalah sarana efektif mengatasi krisis kemanusiaan anak, membekali mereka dengan pengetahuan sekaligus melindungi dari eksploitasi dan kemiskinan. Amartya Sen (Development as Freedom, 1999) menyebut pendidikan sebagai "kunci emansipasi individu" untuk keluar dari kemiskinan. Pendidikan juga mengurangi risiko pekerja anak, perdagangan manusia, dan kekerasan domestik. Dalam Gravissimum Educationis (1965), Konsili Vatikan II menegaskan pendidikan sebagai hak mendasar setiap anak. Paus Fransiskus (2015) mendorong pendidikan global yang berkelanjutan demi menciptakan masyarakat adil. Contoh keberhasilan terlihat di Kenya, di mana program Free Primary Education meningkatkan partisipasi sekolah hingga 1,2 juta anak dalam satu dekade (UNESCO, 2020).
Pendekatan berbasis komunitas untuk melindungi hak anak: Komunitas memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak. Pendekatan berbasis komunitas mendorong solidaritas lokal untuk melindungi hak anak. Etzioni (1993) menyatakan bahwa "masyarakat yang sehat melindungi anggota paling rentan, termasuk anak-anak." Contoh nyata adalah program Child-Friendly Cities Initiative (UNICEF, 1996) yang memberdayakan masyarakat untuk melibatkan anak-anak dalam merancang lingkungan yang aman.
Kolaborasi internasional: Kerja sama lintas negara melalui organisasi internasional, seperti UNICEF dan Save the Children, sangat penting dalam mengatasi krisis kemanusiaan anak. UNICEF (The State of the World's Children, 2022) menyoroti peran bantuan internasional dalam memenuhi kebutuhan dasar anak-anak di zona konflik dan daerah bencana, termasuk melalui program School-in-a-Box yang mendukung pendidikan di pengungsian. Save the Children (Ending the War on Children, 2020) melaporkan bahwa advokasi global dan kebijakan lintas negara telah menurunkan angka pekerja anak hingga 30% dalam dua dekade terakhir.
Teknologi untuk pelaporan dan pemantauan pelanggaran hak anak: Aplikasi seperti Childline di India memungkinkan anak-anak dan masyarakat melaporkan kasus kekerasan, eksploitasi, atau kelalaian dalam waktu nyata. Menurut laporan World Economic Forum (2021), teknologi digital telah meningkatkan efektivitas advokasi anak hingga 40% dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan secara langsung. Paus Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate (2009) menekankan bahwa teknologi harus digunakan untuk "memenuhi kebutuhan manusia yang paling mendesak, termasuk perlindungan anak-anak."
Uraian di atas menunjukkan, krisis kemanusiaan anak mencerminkan kegagalan kolektif dalam melindungi generasi penerus, dengan pelanggaran seperti kekerasan, eksploitasi, dan kelalaian yang mengancam kemajuan sosial. Akar masalah seperti kemiskinan, konflik bersenjata, dan ketidakpedulian masyarakat menuntut sinergi antara keluarga yang penuh kasih, masyarakat yang peduli, dan negara dengan kebijakan yang kuat untuk menciptakan lingkungan aman bagi anak. Langkah praktis seperti peningkatan kesadaran publik, kebijakan hukum, akses pendidikan gratis dan berkualitas, kolaborasi global, serta pemanfaatan teknologi menjadi kunci utama. Melindungi hak anak adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan penuh kasih. (*)
Merauke, 10 Desember 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H