Pilkada 2024 telah usai, membuka lembaran baru kepemimpinan di berbagai daerah, dan masyarakat yang telah menunaikan hak demokratisnya kini memiliki peran penting untuk memastikan janji-janji kampanye tidak hanya menjadi angan-angan, tetapi direalisasikan sebagai tindakan nyata. Janji politik, yang selalu menjadi bagian dari masa kampanye, sering terbagi antara yang realistis, seperti perbaikan infrastruktur atau peningkatan layanan publik, dan yang terlalu muluk serta sulit diwujudkan, sehingga kerap menimbulkan kekecewaan saat tidak terpenuhi. Melalui artikel ini, masyarakat diajak untuk aktif menagih janji sebagai bagian dari menjaga demokrasi yang sehat dan akuntabel, sementara pemimpin diingatkan akan tanggung jawab moral mereka untuk memenuhi janji guna membangun kepercayaan publik, mewujudkan pembangunan yang adil, dan berkelanjutan.
Janji Kampanye sebagai Kontrak Moral
Janji kampanye bukan sekadar alat untuk menarik suara, tetapi sebuah kontrak moral yang mengikat pemimpin terpilih kepada masyarakat. Menurut pakar etika politik, Susan Rose-Ackerman (Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform, 1999), janji kampanye adalah bentuk komunikasi yang menetapkan ekspektasi publik terhadap pemimpin. Ia menulis, "Janji politik mencerminkan kesepakatan tak tertulis antara kandidat dan pemilih, yang jika dilanggar, dapat merusak legitimasi dan reputasi pemimpin. Komitmen ini mengandung tanggung jawab yang besar, karena setiap janji yang diucapkan pada masa kampanye akan menjadi tolok ukur keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan di mata masyarakat. Oleh sebab itu, pemimpin terpilih wajib menjaga integritas dengan berupaya memenuhi janji-janji tersebut.
Pemenuhan janji kampanye tidak hanya menunjukkan tanggung jawab, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik yang telah diberikan melalui suara. Dalam The Politics of Trust (2004), Eric M. Uslaner menekankan bahwa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bergantung pada keselarasan antara ucapan dan tindakan. Ia menegaskan, "Ketika janji kampanye tidak terpenuhi, masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan, yang berpotensi menimbulkan apatisme politik dan penurunan partisipasi warga dalam demokrasi." Pemimpin yang konsisten memenuhi janjinya akan mendapatkan dukungan yang lebih besar, bahkan pada periode-periode pemerintahan berikutnya. Sebaliknya, kegagalan memenuhi janji dapat menimbulkan rasa kecewa yang memicu ketidakstabilan sosial dan politik.
Janji kampanye sering mencakup berbagai aspek kehidupan yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Berikut, beberapa jenis janji yang sering disampaikan. Pertama, infrastruktur: Pembangunan jalan, jembatan, fasilitas umum, hingga akses listrik dan air bersih, seperti seorang kandidat menjanjikan perbaikan jalan desa untuk mempermudah mobilitas ekonomi masyarakat. Kedua, pelayanan publik: Peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan administrasi publik seperti janji pembangunan rumah sakit baru atau pemberian beasiswa bagi pelajar kurang mampu. Ketiga, kesejahteraan rakyat: Program bantuan langsung tunai, subsidi harga kebutuhan pokok, hingga penciptaan lapangan kerja. Janji-janji ini sering menjadi daya tarik bagi masyarakat yang mengharapkan perubahan kondisi ekonomi. Sebagaimana dijelaskan oleh Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), fokus pada isu-isu tersebut adalah refleksi dari kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Namun, Diamond juga mengingatkan bahwa keberhasilan janji kampanye harus dilihat dari kemampuan pemimpin untuk mengimplementasikannya secara efektif sesuai dengan kapasitas anggaran dan pemerintahan.
Fokus pada Janji yang Realistis
Janji kampanye sering mencakup berbagai rencana ambisius yang terlihat menarik di mata masyarakat. Namun, penting untuk memprioritaskan janji yang realistis---yang dapat diwujudkan dalam batas anggaran, kapasitas administrasi, dan waktu yang tersedia. Menurut Paul Collier (The Bottom Billion: Why the Poorest Countries Are Failing and What Can Be Done About It, 2007), keberhasilan kebijakan publik bergantung pada kesesuaian antara tujuan program dan sumber daya yang tersedia. Ia menyatakan, "Visi besar tanpa perhitungan sumber daya hanya akan berujung pada kekecewaan publik." Selain itu, memprioritaskan janji yang realistis membantu pemerintah menjaga fokus pada kebutuhan mendesak masyarakat. Dengan demikian, anggaran yang terbatas dapat dialokasikan secara efektif untuk program yang benar-benar memberikan dampak langsung.
Masyarakat memegang peranan penting dalam memilah janji kampanye yang relevan dengan kebutuhan lokal. Dalam Public Deliberation: Pluralism, Complexity, and Democracy (2006), James Bohman menjelaskan bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam diskusi publik untuk menentukan prioritas kebijakan. Ia menyatakan, "Partisipasi warga dalam menilai relevansi dan urgensi program kampanye memungkinkan mereka menjadi pengawas aktif terhadap pelaksanaan janji politik." Misalnya, di daerah pedesaan yang kesulitan mengakses air bersih, masyarakat dapat menuntut realisasi janji pembangunan infrastruktur air daripada proyek besar yang tidak memiliki dampak langsung terhadap kehidupan mereka.
Dengan keterlibatan aktif, masyarakat dapat membantu pemerintah menyusun kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Janji kecil yang realistis sering memiliki potensi membawa perubahan besar ketika dilaksanakan dengan baik. Misalnya, janji membangun sebuah jembatan kecil di desa terpencil. Secara fisik, jembatan tersebut mungkin tampak sederhana, tetapi manfaatnya dapat meluas---mulai dari mempermudah akses pendidikan, kesehatan, hingga perdagangan. Dalam Small Change: Why Business Won't Save the World (2010), Michael Edwards menyatakan bahwa intervensi kecil yang tepat sasaran dapat menciptakan efek domino. Ia menegaskan, "Perubahan besar sering dimulai dari tindakan kecil yang berhasil mengubah dinamika sosial dan ekonomi masyarakat setempat." Contoh lain adalah program bantuan alat pertanian sederhana bagi petani. Janji ini mungkin tidak spektakuler, tetapi dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani secara signifikan. Keberhasilan program-program kecil seperti ini menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin mereka.
Pemimpin sebagai Pelayan, Bukan Penguasa
Pemimpin yang melayani adalah sosok yang memprioritaskan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Berbeda dengan pemimpin yang berkuasa, yang cenderung menggunakan jabatan untuk memperkuat kendali atau meraih keuntungan pribadi. Robert K. Greenleaf (Servant Leadership: A Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness, 1977), menggambarkan pemimpin yang melayani sebagai individu yang "memimpin dengan cara mendengarkan, berempati, dan mengutamakan kebutuhan orang lain." Sebaliknya, pemimpin yang berkuasa cenderung menuntut ketaatan tanpa dialog dan sering memanfaatkan otoritas untuk memperkuat posisinya. Tipe kepemimpinan ini berisiko menciptakan ketimpangan kekuasaan yang merugikan masyarakat dan merusak kepercayaan publik.