Budaya bersih masih menjadi tantangan besar di banyak tempat di Indonesia, seperti terlihat pada pasar tradisional yang penuh sampah berserakan dan toilet umum yang sering tidak terawat, mencerminkan kurangnya kesadaran kolektif akan kebersihan lingkungan. Padahal, kebersihan sangat penting untuk kesehatan fisik, kenyamanan, kesejahteraan mental, produktivitas, serta pelestarian ekosistem, sehingga dampak dari pengabaian budaya bersih dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Membangun budaya bersih memerlukan kerja sama antara individu, komunitas, dan pemerintah, dengan pemahaman bahwa menjaga kebersihan adalah tanggung jawab bersama. Artikel ini berusaha membahas tantangan dan solusi untuk menciptakan kesadaran kolektif menuju masa depan yang lebih sehat dan nyaman.
Tantangan dalam Membangun Budaya Bersih
Membangun budaya bersih adalah proses kompleks yang membutuhkan komitmen kolektif. Namun, di Indonesia, proses ini sering terkendala oleh beberapa tantangan utama: kurangnya pendidikan kebersihan sejak dini, keterbatasan fasilitas kebersihan, dan mentalitas "bukan urusan saya."
Pertama: Kebiasaan menjaga kebersihan harus ditanamkan sejak usia dini, baik di rumah maupun sekolah. Sayangnya, banyak keluarga dan institusi pendidikan yang tidak secara konsisten menanamkan pentingnya kebersihan. Anak-anak sering enggan membersihkan kelas atau lingkungannya karena tidak terbiasa dan tidak memahami esensi menjaga kebersihan. Hal ini mengindikasikan kurangnya pembiasaan dan pembinaan terkait kebersihan. Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam Taman Siswa (1950), jika anak-anak tidak melihat atau mengalami langsung pentingnya kebersihan, mereka cenderung mengabaikannya. Pendidikan kebersihan harus menjadi bagian integral dari pembentukan karakter, bukan hanya melalui teori, tetapi melalui praktik nyata di sekolah dan rumah. Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) juga menekankan pentingnya pendidikan lingkungan sejak dini. Ia menulis, "Kita membutuhkan pendidikan yang mengajarkan rasa hormat kepada ciptaan, dimulai dari hal-hal kecil, seperti menjaga kebersihan lingkungan." Pendidikan yang baik membantu membentuk kesadaran dan tanggung jawab individu terhadap dunia yang mereka tinggali.
Kedua: Kebersihan tidak hanya soal kebiasaan, tetapi juga didukung oleh infrastruktur yang memadai. Di banyak ruang publik di Indonesia, fasilitas seperti tempat sampah masih terbatas. Bahkan jika tersedia, sering tidak dikelola dengan baik sehingga sampah menumpuk dan menciptakan pemandangan tidak sedap serta masalah kesehatan. Menurut McMichael dalam Planetary Overload: Global Environmental Change and the Health of the Human Species (1993), sistem pengelolaan sampah yang buruk berkontribusi pada degradasi lingkungan dan meningkatnya risiko penyakit. Oleh karena itu, pentingnya integrasi antara teknologi, kebijakan, dan partisipasi masyarakat untuk menciptakan sistem kebersihan yang efektif. Di Indonesia, kebijakan pengelolaan sampah masih menghadapi tantangan implementasi. Kurangnya alokasi anggaran untuk pembangunan fasilitas kebersihan di ruang publik menjadi salah satu penghambat utama. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk menggunakan fasilitas yang ada juga masih rendah.
Ketiga: Rendahnya rasa tanggung jawab individu terhadap kebersihan lingkungan menjadi tantangan yang paling sulit diatasi. Banyak orang membuang sampah sembarangan dengan alasan "bukan urusan saya," mengandalkan orang lain atau pemerintah untuk membersihkan. Mentalitas ini mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap ruang bersama dan dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Emile Durkheim, dalam The Division of Labor in Society (1893), ketika individu hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa peduli pada lingkungan bersama, solidaritas melemah, menciptakan ketidakseimbangan dalam tanggung jawab sosial. Paus Fransiskus (2015) menulis, "Sikap egois dan konsumtif telah merusak hubungan manusia dengan lingkungan, yang seharusnya menjadi tempat hidup bersama yang harmonis." Karena itu, pentingnya perubahan paradigma menuju tanggung jawab kolektif, di mana setiap individu merasa terlibat dalam menjaga kebersihan dan kelestarian bumi.
Dampak Ketidakterbiasaan Budaya Bersih
Ketidakterbiasaan dalam menjaga kebersihan memiliki dampak yang meluas, baik terhadap lingkungan, kualitas hidup, maupun dinamika sosial. Tanpa budaya bersih, masyarakat menghadapi tantangan besar yang menghambat kesejahteraan dan kemajuan kolektif.
Lingkungan yang tidak sehat: Sampah yang berserakan di ruang publik menciptakan kondisi lingkungan yang tidak sehat. Sampah organik yang dibiarkan membusuk menjadi tempat berkembang biak bagi lalat, tikus, dan bakteri, sedangkan sampah plastik mencemari tanah dan air, mengancam keberlangsungan ekosistem. Sebagai contoh, aliran sungai yang dipenuhi limbah rumah tangga tidak hanya mencemari air, tetapi juga merusak habitat biota air. Menurut Rachel Carson dalam Silent Spring (1962), pencemaran lingkungan akibat aktivitas manusia, termasuk ketidakteraturan dalam pengelolaan limbah, memiliki efek merusak yang luas terhadap ekosistem. Ia memperingatkan bahwa kerusakan lingkungan akan berbalik merugikan manusia melalui hilangnya keanekaragaman hayati dan kualitas hidup. Paus Fransiskus (2015) menulis, "Kita tidak dapat mengabaikan dampak buruk dari gaya hidup yang tidak bertanggung jawab terhadap bumi yang adalah rumah bersama kita." Ketidakterbiasaan menjaga kebersihan menunjukkan kegagalan dalam tanggung jawab moral terhadap ciptaan Tuhan.
Menurunnya kualitas hidup masyarakat: Lingkungan yang kotor tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan. Polusi udara, bau tak sedap, dan tumpukan sampah menciptakan ketidaknyamanan yang merusak kesejahteraan psikologis masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan yang kotor dapat meningkatkan stres, kecemasan, dan rasa tidak puas terhadap tempat tinggal. Menurut Howard Frumkin, dalam Urban Sprawl and Public Health (2004), kualitas lingkungan fisik memiliki hubungan langsung dengan kesehatan mental. Ia mencatat bahwa lingkungan bersih dan teratur memberikan efek positif pada suasana hati dan produktivitas masyarakat. Sebaliknya, lingkungan kotor menimbulkan rasa terisolasi dan tidak berdaya. Dalam konteks estetika lingkungan, Paus Fransiskus (2015) menekankan pentingnya keindahan sebagai refleksi dari harmoni penciptaan. Ia menulis, "Kebersihan dan keindahan ruang hidup adalah bagian dari kesejahteraan kita sebagai manusia." Ketidakterbiasaan budaya bersih merampas kesempatan masyarakat untuk hidup di lingkungan yang layak dan nyaman.
Penghambat kemajuan kolektif: Ketidakterbiasaan budaya bersih tidak hanya berdampak individu, tetapi juga memengaruhi kohesi sosial. Ketika masyarakat tidak menghargai kebersihan ruang bersama, hal ini menciptakan kesenjangan sosial. Tanggung jawab menjaga kebersihan sering dibebankan pada pihak tertentu, seperti pekerja kebersihan, sementara yang lain merasa tidak berkewajiban. Menurut Pierre Bourdieu, dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), dalam konteks kebersihan, perilaku tidak bertanggung jawab terhadap ruang publik menunjukkan ketidaksetaraan dalam rasa memiliki terhadap lingkungan bersama, yang pada akhirnya menghambat upaya kolektif untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (2020) menyatakan, "Ketidakpedulian terhadap ruang publik adalah cerminan dari ketidakpedulian terhadap sesama." Budaya bersih adalah langkah awal untuk menciptakan solidaritas sosial yang menghargai keberagaman dan kerja sama.
Solusi Membangun Kesadaran Kolektif
Untuk membangun budaya bersih yang berkelanjutan, diperlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Solusi ini mencakup pendidikan, pembiasaan, perbaikan infrastruktur, kampanye berkelanjutan, serta penegakan hukum yang adil dan efektif.
Pendidikan dan pembiasaan sejak dini: Membiasakan kebersihan sejak dini di sekolah dan rumah tangga menciptakan generasi yang peduli pada lingkungan. Program kebersihan, seperti sistem piket kelas yang terarah atau kegiatan gotong-royong, dapat memperkenalkan tanggung jawab kolektif kepada anak-anak. Sebagai contoh, di Jepang, kebiasaan membersihkan ruang kelas dan lingkungan sekolah telah menjadi bagian integral dari pendidikan karakter. Menurut Catherine Lewis, dalam Educating Hearts and Minds: Reflections on Japanese Preschool and Elementary Education (1995), kebiasaan ini tidak hanya menanamkan nilai kebersihan, tetapi juga rasa hormat terhadap ruang bersama. Paus Fransiskus (2015) menulis, "Edukasi ekologis harus dimulai sejak dini, dengan membantu anak-anak memahami pentingnya menghormati ciptaan sebagai bentuk kasih kepada Sang Pencipta."
Peningkatan infrastruktur dan fasilitas: Ketersediaan fasilitas kebersihan yang memadai, seperti tempat sampah yang tersebar di ruang publik dan sistem pengelolaan sampah yang efisien, adalah kunci untuk mendorong perilaku bersih. Selain itu, pemerintah dan swasta perlu mempromosikan produk ramah lingkungan, seperti kantong belanja biodegradable, untuk mengurangi sampah plastik. Dalam Our Common Future (1987), laporan Komisi Brundtland menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika terdapat sistem pengelolaan sumber daya yang mendukung perilaku ramah lingkungan. Infrastruktur yang memadai membantu masyarakat membangun kebiasaan bersih dengan lebih mudah. Paus Fransiskus (2015) menegaskan, "Setiap komunitas memiliki tanggung jawab untuk merancang kota-kota mereka dengan cara yang mendukung kehidupan yang bermartabat, termasuk dengan menyediakan ruang publik yang bersih dan indah."
Kampanye berkelanjutan: Menggerakkan komunitas lokal melalui kampanye edukasi dan aksi kebersihan adalah langkah penting untuk membangun kesadaran kolektif. Aksi seperti membersihkan pantai atau taman secara bersama-sama, disertai dengan penyuluhan, memberikan efek nyata dan simbolis. Media massa dan media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan kebersihan secara luas. Menurut Everett Rogers, dalam Diffusion of Innovations (2003), perubahan perilaku membutuhkan inovasi yang diterima oleh masyarakat melalui komunikasi yang efektif. Kampanye yang konsisten dan relevan dapat memengaruhi norma sosial sehingga kebersihan menjadi prioritas bersama. Paus Fransiskus (2015) menulis, "Kita dipanggil untuk menjadi alat Tuhan dalam merawat ciptaan-Nya melalui dialog dan tindakan nyata yang melibatkan semua orang."
Penegakan hukum dan insentif: Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan kebersihan. Denda bagi pelanggar dan program penghargaan bagi komunitas yang menjaga kebersihan dapat mendorong perubahan perilaku. Misalnya, beberapa negara seperti Singapura menerapkan denda tinggi bagi pembuang sampah sembarangan, yang terbukti efektif dalam menjaga kebersihan ruang publik. Menurut Garret Hardin, dalam esainya The Tragedy of the Commons (1968), tanpa regulasi yang jelas, ruang publik cenderung disalahgunakan oleh individu yang bertindak untuk keuntungan pribadi. Penegakan hukum yang adil menciptakan rasa tanggung jawab kolektif. Paus Fransiskus (2015) mengingatkan bahwa "keadilan ekologis adalah bagian integral dari keadilan sosial. Tidak ada perdamaian tanpa tanggung jawab bersama terhadap rumah kita."
Uraian di atas menunjukkan, budaya bersih adalah dasar penting untuk menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, dan berkelanjutan, yang tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan keharmonisan sosial. Dengan pendidikan sejak dini, peningkatan fasilitas, kampanye berkelanjutan, dan penegakan hukum, tantangan budaya bersih dapat diatasi, dimulai dari tindakan kecil seperti membuang sampah pada tempatnya hingga kerja sama komunitas untuk membangun lingkungan yang lebih baik. Melalui upaya bersama, kesadaran kolektif akan kebersihan dapat terwujud, menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih bersih, sehat, dan bertanggung jawab terhadap keindahan serta keseimbangan alam. (*)
Merauke, 30 November 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H