Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Bersih, Tantangan dan Solusi Membangun Kesadaran Kolektif

30 November 2024   05:30 Diperbarui: 30 November 2024   03:44 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Budaya bersih masih menjadi tantangan besar di banyak tempat di Indonesia, seperti terlihat pada pasar tradisional yang penuh sampah berserakan dan toilet umum yang sering tidak terawat, mencerminkan kurangnya kesadaran kolektif akan kebersihan lingkungan. Padahal, kebersihan sangat penting untuk kesehatan fisik, kenyamanan, kesejahteraan mental, produktivitas, serta pelestarian ekosistem, sehingga dampak dari pengabaian budaya bersih dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Membangun budaya bersih memerlukan kerja sama antara individu, komunitas, dan pemerintah, dengan pemahaman bahwa menjaga kebersihan adalah tanggung jawab bersama. Artikel ini berusaha membahas tantangan dan solusi untuk menciptakan kesadaran kolektif menuju masa depan yang lebih sehat dan nyaman.

Tantangan dalam Membangun Budaya Bersih

Membangun budaya bersih adalah proses kompleks yang membutuhkan komitmen kolektif. Namun, di Indonesia, proses ini sering terkendala oleh beberapa tantangan utama: kurangnya pendidikan kebersihan sejak dini, keterbatasan fasilitas kebersihan, dan mentalitas "bukan urusan saya." 

Pertama: Kebiasaan menjaga kebersihan harus ditanamkan sejak usia dini, baik di rumah maupun sekolah. Sayangnya, banyak keluarga dan institusi pendidikan yang tidak secara konsisten menanamkan pentingnya kebersihan. Anak-anak sering enggan membersihkan kelas atau lingkungannya karena tidak terbiasa dan tidak memahami esensi menjaga kebersihan. Hal ini mengindikasikan kurangnya pembiasaan dan pembinaan terkait kebersihan. Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam Taman Siswa (1950), jika anak-anak tidak melihat atau mengalami langsung pentingnya kebersihan, mereka cenderung mengabaikannya. Pendidikan kebersihan harus menjadi bagian integral dari pembentukan karakter, bukan hanya melalui teori, tetapi melalui praktik nyata di sekolah dan rumah. Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) juga menekankan pentingnya pendidikan lingkungan sejak dini. Ia menulis, "Kita membutuhkan pendidikan yang mengajarkan rasa hormat kepada ciptaan, dimulai dari hal-hal kecil, seperti menjaga kebersihan lingkungan." Pendidikan yang baik membantu membentuk kesadaran dan tanggung jawab individu terhadap dunia yang mereka tinggali.

Kedua: Kebersihan tidak hanya soal kebiasaan, tetapi juga didukung oleh infrastruktur yang memadai. Di banyak ruang publik di Indonesia, fasilitas seperti tempat sampah masih terbatas. Bahkan jika tersedia, sering tidak dikelola dengan baik sehingga sampah menumpuk dan menciptakan pemandangan tidak sedap serta masalah kesehatan. Menurut McMichael dalam Planetary Overload: Global Environmental Change and the Health of the Human Species (1993), sistem pengelolaan sampah yang buruk berkontribusi pada degradasi lingkungan dan meningkatnya risiko penyakit. Oleh karena itu, pentingnya integrasi antara teknologi, kebijakan, dan partisipasi masyarakat untuk menciptakan sistem kebersihan yang efektif. Di Indonesia, kebijakan pengelolaan sampah masih menghadapi tantangan implementasi. Kurangnya alokasi anggaran untuk pembangunan fasilitas kebersihan di ruang publik menjadi salah satu penghambat utama. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk menggunakan fasilitas yang ada juga masih rendah.

Ketiga: Rendahnya rasa tanggung jawab individu terhadap kebersihan lingkungan menjadi tantangan yang paling sulit diatasi. Banyak orang membuang sampah sembarangan dengan alasan "bukan urusan saya," mengandalkan orang lain atau pemerintah untuk membersihkan. Mentalitas ini mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap ruang bersama dan dampaknya terhadap lingkungan. Menurut Emile Durkheim, dalam The Division of Labor in Society (1893), ketika individu hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa peduli pada lingkungan bersama, solidaritas melemah, menciptakan ketidakseimbangan dalam tanggung jawab sosial.  Paus Fransiskus (2015) menulis, "Sikap egois dan konsumtif telah merusak hubungan manusia dengan lingkungan, yang seharusnya menjadi tempat hidup bersama yang harmonis." Karena itu, pentingnya perubahan paradigma menuju tanggung jawab kolektif, di mana setiap individu merasa terlibat dalam menjaga kebersihan dan kelestarian bumi. 

Dampak Ketidakterbiasaan Budaya Bersih

Ketidakterbiasaan dalam menjaga kebersihan memiliki dampak yang meluas, baik terhadap lingkungan, kualitas hidup, maupun dinamika sosial. Tanpa budaya bersih, masyarakat menghadapi tantangan besar yang menghambat kesejahteraan dan kemajuan kolektif.

Lingkungan yang tidak sehat: Sampah yang berserakan di ruang publik menciptakan kondisi lingkungan yang tidak sehat. Sampah organik yang dibiarkan membusuk menjadi tempat berkembang biak bagi lalat, tikus, dan bakteri, sedangkan sampah plastik mencemari tanah dan air, mengancam keberlangsungan ekosistem. Sebagai contoh, aliran sungai yang dipenuhi limbah rumah tangga tidak hanya mencemari air, tetapi juga merusak habitat biota air. Menurut Rachel Carson dalam Silent Spring (1962), pencemaran lingkungan akibat aktivitas manusia, termasuk ketidakteraturan dalam pengelolaan limbah, memiliki efek merusak yang luas terhadap ekosistem. Ia memperingatkan bahwa kerusakan lingkungan akan berbalik merugikan manusia melalui hilangnya keanekaragaman hayati dan kualitas hidup. Paus Fransiskus (2015) menulis, "Kita tidak dapat mengabaikan dampak buruk dari gaya hidup yang tidak bertanggung jawab terhadap bumi yang adalah rumah bersama kita." Ketidakterbiasaan menjaga kebersihan menunjukkan kegagalan dalam tanggung jawab moral terhadap ciptaan Tuhan.

Menurunnya kualitas hidup masyarakat: Lingkungan yang kotor tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan. Polusi udara, bau tak sedap, dan tumpukan sampah menciptakan ketidaknyamanan yang merusak kesejahteraan psikologis masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan yang kotor dapat meningkatkan stres, kecemasan, dan rasa tidak puas terhadap tempat tinggal. Menurut Howard Frumkin, dalam Urban Sprawl and Public Health (2004), kualitas lingkungan fisik memiliki hubungan langsung dengan kesehatan mental. Ia mencatat bahwa lingkungan bersih dan teratur memberikan efek positif pada suasana hati dan produktivitas masyarakat. Sebaliknya, lingkungan kotor menimbulkan rasa terisolasi dan tidak berdaya. Dalam konteks estetika lingkungan, Paus Fransiskus (2015) menekankan pentingnya keindahan sebagai refleksi dari harmoni penciptaan. Ia menulis, "Kebersihan dan keindahan ruang hidup adalah bagian dari kesejahteraan kita sebagai manusia." Ketidakterbiasaan budaya bersih merampas kesempatan masyarakat untuk hidup di lingkungan yang layak dan nyaman.

Penghambat kemajuan kolektif: Ketidakterbiasaan budaya bersih tidak hanya berdampak individu, tetapi juga memengaruhi kohesi sosial. Ketika masyarakat tidak menghargai kebersihan ruang bersama, hal ini menciptakan kesenjangan sosial. Tanggung jawab menjaga kebersihan sering dibebankan pada pihak tertentu, seperti pekerja kebersihan, sementara yang lain merasa tidak berkewajiban. Menurut Pierre Bourdieu, dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), dalam konteks kebersihan, perilaku tidak bertanggung jawab terhadap ruang publik menunjukkan ketidaksetaraan dalam rasa memiliki terhadap lingkungan bersama, yang pada akhirnya menghambat upaya kolektif untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (2020) menyatakan, "Ketidakpedulian terhadap ruang publik adalah cerminan dari ketidakpedulian terhadap sesama." Budaya bersih adalah langkah awal untuk menciptakan solidaritas sosial yang menghargai keberagaman dan kerja sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun