Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Meruntuhkan Sekat Gender, Membangun Komunikasi dan Bahasa yang Setara dan Empatik

19 November 2024   06:05 Diperbarui: 19 November 2024   06:08 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empati berperan penting dalam memahami perspektif orang lain. Tannen (1990) menyebutkan bahwa komunikasi yang empatik mengurangi konflik dan memperkuat hubungan. Dalam konteks profesional, empati meningkatkan kolaborasi dan menciptakan dinamika tim yang lebih solid, mendukung suasana kerja yang harmonis dan produktif.

Membangun dialog yang setara dan empatik juga mendukung terciptanya lingkungan inklusif. Cameron (2007) menunjukkan bahwa organisasi yang mengutamakan kesetaraan komunikasi cenderung lebih sukses karena mampu menarik talenta dari berbagai latar belakang, memberikan perspektif beragam yang mendorong inovasi dan pemecahan masalah.

Studi Kasus atau Ilustrasi Praktis

Stereotip gender dalam komunikasi dan bahasa dapat terlihat jelas dalam berbagai situasi sehari-hari, termasuk di lingkungan kerja dan keluarga. Di Indonesia, di mana budaya patriarki masih kuat, perbedaan gaya komunikasi antara laki-laki dan perempuan sering kali diperbesar oleh norma sosial. Sebagai contoh, dalam lingkungan kerja, perempuan yang memberikan kritik secara tegas sering kali dianggap "kasar" atau "tidak sopan," sementara laki-laki yang berbicara dengan gaya serupa dianggap "tegas" atau "pemimpin." Hal ini sejalan dengan penelitian Deborah Tannen Talking from 9 to 5: Women and Men in the Workplace (1994), yang menunjukkan bahwa stereotip gender di tempat kerja cenderung mendukung gaya komunikasi laki-laki, sehingga menghambat perempuan dalam menunjukkan kemampuan mereka secara penuh. 

Di lingkungan keluarga, peran gender juga memengaruhi pola komunikasi. Contohnya, seorang ibu yang berbicara dengan nada emosional saat menyampaikan kekhawatiran sering kali dianggap "berlebihan," sementara ayah yang berbicara lebih sedikit tentang hal yang sama dianggap "bijaksana." Janet Holmes (2006) menegaskan bahwa stereotip ini dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan, yang sering kali membuat perempuan merasa kurang dihargai dalam pengambilan keputusan.

Salah satu cara untuk mengatasi stereotip gender dalam situasi seperti ini adalah melalui peningkatan kesadaran dan edukasi. Dalam kasus tempat kerja, pelatihan kesadaran gender dapat membantu individu mengenali bias yang mereka bawa. Sebuah perusahaan di Kota X, misalnya, menerapkan program pelatihan komunikasi inklusif yang melibatkan role-playing untuk membantu karyawan memahami gaya komunikasi yang berbeda. Pelatihan ini menekankan pentingnya mendengar aktif, seperti yang dijelaskan oleh Adler & Rodman dalam Understanding Human Communication (2012), yaitu mendengarkan tanpa prasangka dan menghargai perspektif lawan bicara. 

Dalam konteks keluarga, dialog terbuka yang didasarkan pada empati sangat penting. Sebuah keluarga di Kota Y mencoba pendekatan ini dengan menyelenggarakan "diskusi keluarga" mingguan, di mana setiap anggota bebas mengungkapkan perasaan mereka tanpa takut dihakimi berdasarkan stereotip gender. Pendekatan ini sejalan dengan teori pragmatik yang diuraikan oleh Dan Sperber & Deirdre Wilson dalam Relevance: Communication and Cognition (1995), yang menekankan pentingnya relevansi dan pemahaman konteks dalam memperbaiki komunikasi. 

Strategi Mengatasi Stereotip Gender dalam Komunikasi dan Bahasa

Kesadaran diri, mengenali bias pribadi: Kesadaran diri adalah langkah pertama dalam mengatasi stereotip gender dalam komunikasi dan bahasa. Individu perlu mengidentifikasi prasangka atau asumsi yang mereka miliki terhadap gaya komunikasi tertentu. Tannen (1990) menekankan bahwa mengenali bias pribadi dapat membantu individu memahami bahwa gaya komunikasi yang berbeda bukanlah superior atau inferior, melainkan hanya variasi ekspresi. Dengan menyadari bias, seseorang dapat lebih terbuka terhadap perbedaan dalam interaksi sosial.

Meningkatkan keterampilan mendengar aktif: Mendengar aktif adalah kunci untuk memahami pesan tanpa prasangka gender. Adler & Rodman (2012) menjelaskan bahwa mendengar aktif melibatkan perhatian penuh pada apa yang disampaikan oleh lawan bicara tanpa menyaring pesan melalui lensa stereotip. Dalam konteks gender, ini berarti menghindari asumsi bahwa laki-laki selalu berbicara secara logis atau perempuan selalu berbicara secara emosional, sehingga pesan yang disampaikan dapat diterima secara objektif.

Mendorong empati, menempatkan diri pada perspektif lawan bicara: Empati memungkinkan individu untuk memahami pengalaman dan perspektif orang lain, sehingga meminimalkan efek stereotip. Rogers dalam A Way of Being (1980) menekankan bahwa empati adalah elemen penting dalam membangun hubungan yang harmonis. Dengan memahami latar belakang dan sudut pandang lawan bicara, individu dapat berkomunikasi secara lebih inklusif dan menghargai perbedaan tanpa menghakimi berdasarkan gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun