Prinsip "maju tanpa menyingkirkan orang lain" adalah sikap bijak yang sangat relevan di tengah persaingan, termasuk dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun ini. Para calon sering tergoda menggunakan taktik negatif, seperti menyebarkan informasi merugikan atau memanipulasi opini publik untuk menjatuhkan lawan. Prinsip ini menegaskan bahwa kemajuan yang sejati diperoleh dengan cara bermartabat, sehingga setiap kandidat menunjukkan kompetensi tanpa harus mencoreng nama baik pesaingnya. Dengan menerapkan sikap sportif, persaingan dapat lebih sehat dan memberi teladan, menjadikan Pilkada bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, tetapi arena yang menghadirkan pemimpin yang benar-benar dihargai dan dipercaya masyarakat.
Memaknai Kompetisi dengan Martabat
Dalam konteks Pilkada, martabat dalam kompetisi berarti mengedepankan kejujuran, menghargai lawan, dan menjunjung tinggi sportivitas. Martabat ini mengacu pada nilai universal yang menganggap setiap orang layak dihormati, termasuk dalam persaingan untuk menang. Menurut John A. Corlett dalam Sport, Ethics and Philosophy (2007), "berkompetisi dengan integritas berarti menghormati pesaing dan menghargai proses lebih dari sekadar kemenangan." Pandangan ini selaras dengan ajaran Gereja Katolik yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak atas martabat, yang berarti kejujuran dan integritas harus diutamakan dalam setiap kompetisi (KGK 1929). Rasul Paulus juga mengajarkan sikap rendah hati dan penghargaan terhadap orang lain, sebagaimana diungkapkan dalam Filipi 2:3-4.
Kompetisi yang sehat pada dasarnya adalah sarana untuk mengembangkan diri, di mana para calon Pilkada tidak hanya berjuang untuk suara, tetapi menunjukkan kompetensi dan program unggul. Menurut Robert Ardrey dalam The Social Contract (2000), persaingan bukan tentang permusuhan tetapi usaha bersama untuk mencapai keunggulan. Artinya, esensi sejati kompetisi bukanlah menjatuhkan, tetapi mendorong setiap pihak untuk terus berkembang. Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate (2018) mengingatkan bahwa hidup adalah perjalanan untuk terus tumbuh, sehingga orang lain bukanlah ancaman, melainkan inspirasi. Kompetisi seharusnya menjadi arena pembelajaran dan pengembangan diri, di mana individu dapat tumbuh secara harmonis dengan lawannya sebagai inspirasi. Kitab Suci juga menegaskan, "Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya" (Ams 27:17), yang menggambarkan bahwa kompetisi adalah cara untuk mengasah kualitas diri.
Mengapa Prinsip "Maju Tanpa Menyingkirkan" Penting
Pemimpin yang mempraktikkan prinsip "maju tanpa menyingkirkan" menunjukkan sikap adil dan sportif dalam persaingan, termasuk Pilkada. Sikap ini tidak hanya mencerminkan integritas tetapi juga menginspirasi orang lain untuk mengikuti jejaknya, sehingga membangun kepercayaan publik karena pemimpin lebih mengutamakan kepentingan bersama.
James MacGregor Burns dalam Leadership (1978), menyatakan bahwa kepemimpinan adalah membimbing orang lain menuju kebaikan bersama, bukan sekadar memegang otoritas. Dalam Pilkada, seorang pemimpin yang menghormati pesaing menunjukkan bahwa ia mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Paus Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate (2009), menyatakan, "Peran seorang pemimpin bukan hanya untuk mencari kekuasaan, tetapi untuk bertindak dengan cinta kasih dan kebenaran demi kepentingan semua orang." Sikap adil ini mendorong pemimpin untuk memperlakukan pesaing sebagaimana ia ingin diperlakukan, membangun kepemimpinan yang bijaksana dan penuh kasih.
Prinsip "maju tanpa menyingkirkan" berdampak positif pada masyarakat dengan menciptakan lingkungan yang sportif dan harmonis, sehingga setiap orang dapat mengembangkan potensinya. Hal ini menginspirasi masyarakat untuk menghargai nilai persaingan sehat, membentuk komunitas yang harmonis. Menurut pakar hubungan sosial, Robert D. Putnam dalam Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (2000), "Modal sosial dibangun ketika orang-orang saling percaya dan terlibat dalam persaingan yang sehat." Dengan menerapkan prinsip "maju tanpa menyingkirkan," masyarakat dapat lebih solid, karena setiap orang terinspirasi untuk bersaing dengan adil, dan ini membangun kepercayaan serta solidaritas di tengah masyarakat. Pemimpin yang memegang prinsip ini memperkuat karakter dirinya---tegas namun santun, rendah hati, dan percaya diri tanpa perlu menjatuhkan orang lain. Gereja Katolik menegaskan bahwa pencapaian sejati mencerminkan karakter yang rendah hati dan kuat, sebagaimana disampaikan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (2020). Melalui prinsip ini, seseorang akan menjadi pribadi yang kuat dan rendah hati, lebih mampu menghargai pencapaian tanpa arogansi.
Cara Berkompetisi dengan Martabat Tanpa Menyingkirkan Orang Lain
Dalam kompetisi, fokus pada pengembangan diri membantu seseorang menjaga martabat dengan mengasah keterampilan dan meningkatkan kualitas pribadi. Pemimpin yang berfokus pada kontribusi nyata akan lebih dihormati, karena masyarakat melihatnya sebagai teladan yang menginspirasi.
Carol S. Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success (2006), mengungkapkan bahwa kegagalan adalah kesempatan untuk tumbuh, bukan kekalahan. Prinsip ini mendukung pandangan bahwa persaingan sehat mendorong perbaikan diri daripada mencari kelemahan orang lain. Senada dengan itu, Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium (1965) menekankan panggilan untuk mengejar kesempurnaan kasih, bukan untuk mengalahkan orang lain. Dalam Pilkada, calon yang berfokus pada diri sendiri dan bukan menyerang lawan akan terlihat lebih terhormat.