Selain keterampilan dasar yang belum kuat, FKIP dan program serupa juga menghadapi tantangan dalam membangun komitmen dan semangat pengabdian di kalangan calon guru. Banyak dari mereka, tanpa panggilan profesi yang kuat, kurang memiliki dedikasi yang diperlukan untuk profesi ini. Menurut Tilaar (2002), "dedikasi dalam dunia pendidikan tidak hanya tentang keterampilan, tetapi juga tentang keterlibatan emosional dan komitmen jangka panjang terhadap tugas mendidik." Lebih lanjut, Sutjipto (2009) menyebutkan bahwa calon guru dengan motivasi rendah sering kurang memiliki kemauan untuk mengembangkan keterampilan mengajar yang lebih efektif dan inovatif. Hal ini terjadi karena mereka memandang profesi guru lebih sebagai pilihan terakhir daripada sebagai profesi yang mulia dan membutuhkan dedikasi penuh. "Calon guru yang masuk tanpa persiapan mental dan motivasi yang kuat sering kali kesulitan beradaptasi dengan tantangan pengajaran dan cenderung menganggap profesi guru sebagai jalan singkat untuk mendapatkan pekerjaan."
Urgensi Perubahan dalam Sistem Rekrutmen Guru
Sistem rekrutmen calon guru di Indonesia memerlukan perombakan agar hanya calon guru yang berkualitas dan memiliki komitmen tinggi yang diterima di program pendidikan keguruan. Banyak fakultas keguruan masih menampung mahasiswa yang kurang memiliki panggilan profesi, akibat gagal masuk jurusan lain yang lebih bergengsi. Menurut Mulyasa (2013), tanpa seleksi ketat, program pendidikan guru berisiko menghasilkan pengajar yang kurang kompeten karena calon yang diterima mungkin tidak memiliki minat mendalam terhadap profesi ini. Tilaar (2002) menekankan bahwa pendidikan memerlukan tenaga pendidik yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki panggilan sebagai pendidik, yang hanya bisa dicapai melalui seleksi yang terstruktur. Oleh karena itu, perombakan dalam proses seleksi diperlukan agar program keguruan menjadi pilihan bagi mereka yang benar-benar berdedikasi, bukan sekadar alternatif bagi yang gagal di jurusan lain.
Selain seleksi ketat, penerimaan calon guru perlu melibatkan pengujian keterampilan dasar Calistung serta wawancara motivasi. Sutjipto (2009) menyebut keterampilan dasar ini sebagai fondasi penting dalam membentuk guru yang efektif, karena kompetensi dasar tersebut mendukung proses belajar mengajar di kelas dan memastikan bahwa calon guru memiliki kemampuan fundamental. Wawancara motivasi juga memainkan peran penting dalam memahami kesiapan emosional dan komitmen calon guru. Sudrajat (2011) menekankan bahwa wawancara ini membantu memilih calon yang benar-benar siap mengabdi pada profesi guru dengan dedikasi tinggi.
Perubahan dalam sistem rekrutmen guru di Indonesia mendesak dilakukan demi menghasilkan pendidik berkualitas melalui seleksi yang ketat, terutama dengan menilai keterampilan dasar dan motivasi calon. Model KPG Papua menunjukkan bahwa proses rekrutmen yang membina calon guru sejak dini dan berfokus pada panggilan profesi membentuk pendidik yang lebih profesional. Kajian lebih lanjut tentang model rekrutmen yang efektif diperlukan agar lembaga pendidikan dan pemerintah dapat menerapkan sistem seleksi yang lebih baik, termasuk penilaian keterampilan dasar dan wawancara motivasi. Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan program studi keguruan lainnya di luar KPG Papua, tetapi menawarkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas pendidikan melalui rekrutmen yang holistik dan berkelanjutan. (*)
Merauke, 5 November 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H