Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur, adalah lembaga pendidikan rohani untuk calon imam. Di sini, para frater memperdalam panggilan hidup mereka demi pelayanan Gereja. Pada tahun 1981, terjadi perubahan besar ketika Suster Clarita, seorang biarawati dari Kongregasi Fransiskanes Semarang dan ahli gizi, mulai mengelola dapur seminari dan memperkenalkan tahu serta tempe ke dalam menu harian. Meskipun kedua makanan ini sudah lama dikenal di Jawa, bagi para frater di Flores---yang terbiasa dengan jagung, ubi, dan ikan---tahu dan tempe terasa asing dan tidak menarik. Awalnya, banyak frater menolak mencicipinya, tetapi melalui pendekatan edukatif dan sabar dari Suster Clarita, perlahan mereka belajar menerima makanan bergizi tersebut.
Perkenalan Makanan Tahu dan Tempe
Kehadiran Suster Clarita di Seminari Ritapiret membawa perubahan signifikan dalam pola makan para frater. Dengan latar belakangnya di Rumah Sakit Santa Elisabet, Semarang, ia memperkenalkan tahu dan tempe, makanan berbasis kedelai yang kaya protein dan bermanfaat bagi kesehatan. Tahu dan tempe terkenal sebagai sumber protein nabati yang lengkap, rendah lemak, kaya serat, dan lebih sehat dibandingkan daging. Namun, pengenalan tahu dan tempe ini awalnya ditolak oleh para frater. Mereka merasa asing dengan rasa dan tekstur makanan tersebut, sesuai dengan teori Claude Lvi-Strauss yang menyatakan bahwa makanan mencerminkan makna budaya (The Raw and the Cooked (1964).
Tahu dan tempe tidak memiliki makna budaya bagi masyarakat Flores, sehingga reaksi penolakan muncul sebagai bentuk keterikatan pada tradisi lokal. Makanan pokok di Flores lebih mengandalkan jagung, ubi, dan ikan, yang mencerminkan budaya agraris masyarakat setempat. Jagung dan ubi kayu merupakan makanan sehari-hari yang sudah menjadi bagian dari kehidupan lokal. Di sisi lain, tahu dan tempe, yang berasal dari fermentasi kedelai di Jawa, dianggap asing bagi frater yang terbiasa dengan makanan hasil bumi sendiri. Perbedaan ini menunjukkan dua budaya makanan yang berbeda, sesuai dengan pandangan Francis Zimmermann bahwa sistem makanan masyarakat sangat bergantung pada lingkungan dan sumber daya lokal (The Jungle and the Aroma of Meats, 1987). Masyarakat Flores terbiasa dengan hasil bumi dan laut, sementara tahu dan tempe adalah produk fermentasi yang tidak lazim.
Namun, melalui edukasi gizi yang diberikan oleh Suster Clarita, para frater mulai membuka diri terhadap makanan baru ini. Mereka belajar memahami bahwa meskipun berbeda dari makanan lokal, tahu dan tempe memiliki manfaat gizi yang sangat baik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang manfaat kesehatan, para frater perlahan-lahan menerima tahu dan tempe sebagai salah satu bagian dari menu harian di seminari, mengubah pola makan mereka secara signifikan.
Masalah Penolakan dan Ketidakbiasaan
Hampir semua frater menolak tahu dan tempe karena ketidakbiasaan terhadap makanan tersebut. Menurut Leona M. James, dalam Cultural Nutrition and Acceptance of Food (2002), penolakan terhadap makanan baru sering terjadi karena ketidaksesuaian dengan selera dan budaya lokal. Hal ini wajar dalam konteks budaya, namun Suster Clarita memahami bahwa penolakan ini lebih karena ketidaktahuan akan manfaat gizi tahu dan tempe, bukan soal rasa. Sebagai ahli gizi, Suster Clarita tetap berusaha memperkenalkan kebiasaan makan sehat meskipun menghadapi resistensi. Sidney Mintz dalam Sweetness and Power (1985) menjelaskan fenomena food rejection sebagai penolakan masyarakat terhadap makanan baru yang dianggap asing. Penolakan berulang dari para frater, bahkan sampai mengembalikan tahu dan tempe tanpa disentuh, membuat Suster Clarita merasa kecewa.
Meskipun merasa kecewa, Suster Clarita melaporkan situasi ini kepada Pastor Pimpinan, RD Philipus Riwu, yang merespons dengan bijaksana. Pastor memahami bahwa masalah ini lebih terkait dengan ketidakbiasaan daripada pembangkangan. Ia memilih pendekatan edukasi gizi yang logis, dengan memberikan penjelasan ilmiah kepada para frater untuk membuka wawasan mereka. Pastor Riwu menyadari bahwa para frater, sebagai mahasiswa filsafat dan teologi, dapat memahami manfaat gizi makanan melalui pendekatan rasional. Rupanya perlu diberikan "kuliah gratis" tentang gizi, yang bertujuan untuk membantu para frater menerima tahu dan tempe dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang manfaatnya bagi kesehatan.
Ahli gizi Marion Nestle dalam What to Eat (2006) menekankan pentingnya edukasi untuk mengubah kebiasaan makan. Pastor Riwu menerapkan prinsip ini dengan mengajarkan para frater bahwa makanan sehat tidak selalu enak, tetapi penting untuk dikonsumsi demi kesehatan jangka panjang. Pendekatan ini menunjukkan bahwa edukasi yang baik dan penuh pengertian dapat mengatasi resistensi terhadap perubahan.
Pentingnya Edukasi Gizi
Suster Clarita menyadari bahwa penolakan para frater terhadap tahu dan tempe bukan semata-mata karena rasa, melainkan kurangnya pemahaman akan nilai gizinya. Bersama Pastor Pimpinan, ia mengorganisir kuliah gizi berkala untuk menjelaskan manfaat kesehatan dari tahu dan tempe. Edukasi ini bertujuan tidak hanya memperkenalkan makanan baru, tetapi juga meningkatkan kesadaran para frater tentang pentingnya gizi bagi kesehatan tubuh dan pikiran. Edukasi gizi berperan penting dalam mengubah perilaku makan. Marion Nestle dalam Food Politics: How the Food Industry Influences Nutrition and Health (2002), menekankan bahwa pengetahuan tentang gizi merupakan kunci perubahan pola makan. Dengan pemahaman ini, para frater diharapkan lebih terbuka terhadap makanan yang awalnya mereka anggap asing. Kuliah ini menjadi langkah strategis untuk memperbaiki pola makan mereka.
Suster Clarita menjelaskan bahwa tahu dan tempe kaya akan protein nabati berkualitas tinggi, asam amino esensial, serta vitamin B12 yang baik bagi kesehatan pencernaan. Paul Pitchford dalam Healing with Whole Foods: Asian Traditions and Modern Nutrition (2002), juga menegaskan bahwa kedua makanan ini seimbang dalam protein, lemak sehat, dan zat besi yang penting bagi kekuatan tulang. Penjelasan ilmiah ini membantu para frater memahami nilai kesehatan tahu dan tempe meski rasanya belum akrab di lidah mereka.
Pernyataan Suster Clarita, "Tidak semua makanan yang bergizi itu enak," sangat efektif dalam mengubah cara pandang para frater. Ia menekankan bahwa tujuan makan adalah memenuhi kebutuhan nutrisi, bukan semata-mata menikmati rasa. Meski tahu dan tempe mungkin tidak sesuai selera mereka, manfaat gizinya tidak dapat diabaikan. Kalimat ini selaras dengan ajaran Gereja Katolik tentang moderasi dan keseimbangan hidup. Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) mengingatkan pentingnya menghargai pangan sebagai anugerah Tuhan dan tanggung jawab menjaga kesehatan. Edukasi gizi ini akhirnya membuka wawasan para frater, membuat mereka menyadari bahwa meski tahu dan tempe terasa asing, manfaat kesehatannya lebih besar daripada ketidaknyamanan sementara terkait rasa.
Proses Penerimaan Tahu dan Tempe
Proses penerimaan tahu dan tempe di Seminari Tinggi Ritapiret tidak terjadi dengan cepat. Awalnya, para frater menolak makanan ini karena rasa yang asing. Namun, melalui kuliah gizi yang diselenggarakan oleh Suster Clarita dan penjelasan logis tentang manfaat kesehatan tahu dan tempe, perlahan-lahan cara pandang mereka mulai berubah. Perubahan pola pikir para frater sejalan dengan prinsip pendidikan holistik yang menekankan pembentukan manusia seutuhnya, seperti yang dijelaskan dalam Gravissimum Educationis (Konsili Vatikan II, 1965). Mereka akhirnya memahami bahwa menjaga kesehatan tubuh melalui konsumsi makanan bergizi adalah bagian dari tanggung jawab mereka terhadap tubuh sendiri sebagai "bait Allah" (1 Kor 6:19-20).
Setelah memperoleh pemahaman tentang nilai gizi tahu dan tempe, para frater mulai mencicipi makanan tersebut sedikit demi sedikit, meskipun rasanya masih terasa asing. Suster Clarita dengan sabar membimbing mereka untuk membuka diri terhadap makanan baru, tanpa memaksa mereka mengubah kebiasaan secara drastis. Lambat laun, tahu dan tempe diterima sebagai bagian dari menu harian di seminari. Makanan yang dulunya dianggap asing kini menjadi sesuatu yang umum dan bahkan mulai disukai oleh banyak frater. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa dengan edukasi, kesabaran, dan pemahaman, kebiasaan baru dapat diterima.
Dalam dunia nutrisi, perubahan pola makan yang sukses memerlukan adaptasi secara bertahap. Seperti yang diungkapkan Paul Pitchford (2002), makanan baru membutuhkan waktu untuk diterima, tetapi manfaatnya akan menjadi bagian integral dari diet seseorang setelah dipahami. Perjalanan para frater dalam menerima tahu dan tempe menjadi bukti nyata bahwa edukasi gizi yang tepat mampu mengubah pola pikir dan kebiasaan. Makanan yang semula ditolak kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di seminari, mencerminkan dampak positif jangka panjang dari perubahan yang dimulai dengan pengetahuan dan kesabaran.
Pembelajaran yang Lebih Luas tentang Gizi
Setelah mengikuti edukasi oleh Suster Clarita, para frater di Seminari Tinggi Ritapiret mulai memahami pentingnya asupan gizi dalam makanan sehari-hari. Awalnya, mereka menolak tahu dan tempe karena rasa yang tidak biasa, tetapi kesadaran akan nilai gizi yang terkandung dalam makanan tersebut perlahan tumbuh. Mereka menyadari bahwa pemenuhan gizi bukan hanya soal tradisi atau selera, melainkan kebutuhan fisik yang mendukung aktivitas harian sebagai mahasiswa filsafat dan calon pemimpin spiritual.
Marion Nestle (2002) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang gizi tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga untuk komunitas. Kesadaran ini memberi dasar bagi para frater untuk mengadopsi pola makan yang lebih sehat, yang mendukung kesejahteraan fisik dan mental mereka selama masa studi di seminari. Pembelajaran gizi yang diterima para frater sangat relevan dengan kesehatan mereka, terutama karena tuntutan intelektual dan spiritual yang mereka hadapi. Tahu dan tempe, yang kaya akan protein, menjadi makanan yang ideal untuk memenuhi kebutuhan nutrisi harian, mendukung stamina fisik, dan menjaga keseimbangan emosional di tengah studi yang berat.
Pentingnya menjaga kesehatan fisik melalui gizi yang baik juga sejalan dengan pandangan Gereja Katolik tentang keseimbangan tubuh dan jiwa. Para frater belajar bahwa asupan gizi tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga untuk kesehatan holistik yang mencakup aspek fisik, mental, dan spiritual. Pemahaman tentang gizi ini tidak hanya berdampak selama mereka berada di seminari, tetapi juga setelah lulus. Banyak frater yang kemudian menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan sebagai imam atau pemimpin komunitas, mempromosikan pentingnya makanan bergizi bagi diri sendiri dan umat yang mereka layani. Para frater yang telah belajar tentang pentingnya gizi menjadi agen perubahan dalam masyarakat, mempromosikan gaya hidup sehat yang bermanfaat bagi kesehatan individu dan komunitas di sekitar mereka.
Perubahan sikap para frater di Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret terhadap tahu dan tempe menunjukkan perjalanan pembelajaran yang bermakna. Awalnya menolak karena ketidakbiasaan, mereka perlahan memahami manfaat gizi makanan tersebut, berkat edukasi gizi dari Suster Clarita yang memberikan penjelasan logis tentang pentingnya makanan sehat. Pengetahuan ini mengatasi resistensi awal dan membentuk pola pikir baru yang lebih terbuka terhadap makanan bergizi. Pengalaman ini menegaskan bahwa edukasi gizi berperan penting dalam menciptakan perubahan positif, membimbing para frater menuju pola makan yang lebih sehat, serta menyiapkan mereka sebagai pemimpin yang peduli kesehatan di masyarakat.
Merauke, 29 Oktober 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H