Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Penguatan Literasi Bahasa dan Sastra Menghadapi Tantangan Zaman Generasi Muda

28 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 28 Oktober 2024   07:40 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di era modern yang penuh dengan perubahan cepat akibat perkembangan teknologi dan globalisasi, generasi muda dihadapkan pada tantangan baru seperti disinformasi, perpecahan sosial, dan penurunan daya kritis terhadap isu-isu politik dan ekonomi. Literasi bahasa dan sastra menjadi bekal penting untuk menghadapi tantangan tersebut, karena literasi tidak hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga pemahaman kritis dan penyampaian gagasan yang jelas. Selain itu, sastra membantu mengasah empati dan kreativitas dalam merenungkan dinamika sosial. Karena itu, literasi bahasa dan sastra menjadi kunci bagi generasi muda untuk berpikir kritis, kreatif, serta bersaing di kancah global tanpa melupakan identitas budaya mereka.

Peran Literasi Bahasa dalam Menghadapi Tantangan Zaman

Komunikasi yang jelas dan terstruktur tidak hanya memungkinkan ide-ide disampaikan dengan tepat, tetapi juga memastikan pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan benar oleh audiens. Di kalangan generasi muda, kemampuan berbahasa yang baik sangat penting untuk mengemukakan pandangan dan gagasan di berbagai platform, baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan, maupun kehidupan sosial. Menurut Noam Chomsky, dalam Aspects of the Theory of Syntax (1965), "Bahasa adalah sarana paling utama dalam berkomunikasi yang memungkinkan manusia untuk berpikir secara lebih kritis dan menganalisis permasalahan secara mendalam." Bahasa yang baik memungkinkan generasi muda tidak hanya berbicara atau menulis, tetapi juga berpikir lebih dalam dan kritis mengenai berbagai persoalan, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata dalam masyarakat. Dengan kata lain, literasi bahasa berperan penting dalam memperkuat kemampuan komunikasi di era yang didominasi oleh pertukaran informasi yang begitu cepat dan beragam.

Di tengah derasnya arus informasi, generasi muda dihadapkan pada tantangan besar, yaitu kemampuan memilah informasi yang akurat dari yang keliru. Misalnya, fenomena hoaks atau berita palsu yang begitu marak di media sosial, menuntut generasi muda memiliki kemampuan literasi bahasa yang mumpuni. Literasi bahasa yang kuat memungkinkan mereka menganalisis teks, memahami konteks, serta membedakan informasi yang benar dan salah. Gillian Brown & George Yule, dalam Discourse Analysis (1983) mengungkapkan, "Kemampuan analisis wacana menjadi kunci menafsirkan berbagai makna yang terkandung dalam informasi, serta membedakan antara fakta dan opini." Melalui literasi bahasa, generasi muda dapat melatih kemampuan kritis dalam menilai kredibilitas sumber, memeriksa bukti-bukti, dan memahami nuansa yang ada dalam setiap teks. Ini penting dalam mencegah penyebaran disinformasi yang dapat berdampak negatif pada kehidupan sosial dan politik.

Dalam konteks Indonesia, bahasa Indonesia memainkan peran sangat penting sebagai alat pemersatu bangsa di tengah keragaman budaya, suku, dan agama. Ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan simbol persatuan yang menjaga kesatuan negara dalam menghadapi tantangan sosial dan politik yang kompleks. Literasi bahasa yang kuat di kalangan generasi muda dapat memperkuat peran ini. Dengan demikian, mereka tidak hanya menghargai keberagaman, tetapi juga mampu berkomunikasi dengan efektif tanpa mengabaikan nilai-nilai kebangsaan. Kridalaksana dalam Pembinaan Bahasa Indonesia (1985) menyebutkan, "Bahasa Indonesia adalah medium yang efektif untuk membangun identitas nasional sekaligus alat untuk merangkul seluruh elemen masyarakat dalam satu kesatuan yang harmonis." Dalam menghadapi tantangan zaman yang diwarnai oleh konflik sosial dan politik, bahasa Indonesia berfungsi sebagai fondasi yang menyatukan masyarakat dari Merauke hingga Sabang. Generasi muda yang memiliki literasi bahasa yang baik akan lebih siap dalam berperan aktif menjaga kesatuan bangsa di tengah dinamika perubahan sosial yang cepat.

Peran Sastra dalam Mengembangkan Pemikiran Kritis dan Kreatif

Karya-karya sastra sering mengangkat berbagai isu yang relevan dengan kondisi masyarakat dan memungkinkan pembacanya untuk merenungkan berbagai fenomena yang terjadi di sekitar. Sastra berperan sebagai cermin, memantulkan dinamika kehidupan nyata, seperti ketidakadilan, perlawanan, perubahan sosial, dan konflik politik. Melalui sastra, generasi muda diajak untuk berpikir kritis tentang realitas di sekeliling, memahami berbagai perspektif, dan melakukan refleksi terhadap dinamika sosial dan politik. Terry Eagleton, dalam Literary Theory: An Introduction (1983) mengungkapkan, "Sastra merupakan cermin dari ideologi dan kehidupan sosial; karya sastra sering kali memuat pandangan yang mendalam tentang struktur sosial dan ketidaksetaraan di dalamnya." Karya-karya seperti Bumi Manusia (1984) karya Pramoedya Ananta Toer atau karya George Orwell, misalnya, menggambarkan kondisi masyarakat dan politik yang represif, sehingga mendorong pembaca untuk merenungkan kebebasan individu, kekuasaan, dan kontrol sosial. Bagi generasi muda, membaca karya-karya ini membuka ruang untuk berpikir kritis tentang sistem politik dan struktur sosial yang ada.

Sastra bukan hanya soal membaca, melainkan juga membuka pintu bagi imajinasi dan kreativitas. Membaca dan menciptakan karya sastra mengajarkan generasi muda untuk berpikir lebih imajinatif dalam menghadapi masalah. Setiap karya sastra membawa pembacanya pada berbagai kemungkinan dunia, karakter, dan situasi yang membutuhkan cara berpikir out of the box. Imajinasi ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menemukan solusi kreatif untuk berbagai tantangan yang dihadapi. Ken Robinson dalam Out of Our Minds: Learning to be Creative (2011) menjelaskan, "Kreativitas melibatkan kemampuan untuk menemukan ide-ide baru dan segar, dan sastra adalah medium yang mengajarkan kita bagaimana bermain dengan ide-ide tersebut." Karya sastra, baik dalam bentuk puisi, novel, maupun drama, mengasah kemampuan generasi muda untuk tidak hanya menerima realitas secara pasif, tetapi juga menciptakan alternatif-alternatif pemikiran yang lebih kreatif. Dengan demikian, sastra membantu membentuk generasi yang mampu menghadapi tantangan dengan pendekatan yang inovatif dan segar.

Salah satu kekuatan terbesar sastra adalah kemampuannya menempatkan pembaca dalam sudut pandang yang berbeda. Melalui cerita-cerita dan karakter-karakter dalam karya sastra, generasi muda diajak untuk memasuki dunia lain, merasakan pengalaman yang tidak mereka alami secara langsung, dan memahami perasaan serta pemikiran orang lain. Proses ini sangat penting dalam membangun empati dan memperluas wawasan sosial. Sastra memberi mereka alat untuk memahami realitas kehidupan yang beragam dan kompleks, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk bersikap inklusif dan toleran terhadap perbedaan. Menurut Martha C. Nussbaum, dalam Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (1997),  "Sastra melatih imajinasi moral kita, membangkitkan pemahaman dan empati melalui narasi-narasi manusiawi yang menggugah." Karya-karya seperti To Kill A Mockingbird oleh Harper Lee, yang menggambarkan ketidakadilan rasial, atau The Kite Runner oleh Khaled Hosseini, yang mengeksplorasi perasaan bersalah dan penebusan, memberikan pemahaman yang mendalam tentang sifat manusia dan konflik moral. Melalui karya-karya semacam ini, generasi muda dapat memperluas pemahaman mereka tentang dunia dan memperkaya kemampuan mereka untuk berempati dan melihat dari berbagai perspektif.

Tantangan yang Dihadapi dalam Penguatan Literasi Bahasa dan Sastra

Kurangnya minat baca dan apresiasi terhadap karya sastra di kalangan generasi muda: Di era digital yang dipenuhi oleh distraksi media sosial, video, dan konten instan, minat membaca karya sastra semakin menurun. Hal ini menjadi tantangan besar bagi penguatan literasi, karena rendahnya frekuensi membaca akan berdampak pada kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Menurut data UNESCO, rata-rata orang Indonesia hanya membaca 0,001 buku per tahun, yang berarti dari seribu orang, hanya satu orang yang benar-benar membaca buku. Jim Trelease dalam The Read-Aloud Handbook (2013) menyatakan, "Anak-anak tidak dilahirkan dengan cinta membaca; mereka belajar mencintai membaca melalui kebiasaan dan pengalaman yang diciptakan oleh orang dewasa di sekeliling mereka." Karena itu, kurangnya apresiasi terhadap karya sastra di kalangan generasi muda memerlukan intervensi yang lebih serius, terutama dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan kebiasaan membaca yang kuat sejak dini. Jika literasi bahasa dan sastra tidak dipupuk dengan baik, generasi muda akan kesulitan mengembangkan kemampuan analisis dan penalaran yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global.

Dampak globalisasi terhadap budaya literasi lokal: Pengaruh literasi global, terutama dari karya-karya sastra populer asing, sering membuat generasi muda lebih tertarik pada bacaan dari luar negeri dibandingkan dengan sastra Indonesia. Akibatnya, banyak karya sastra lokal yang kurang diapresiasi dan berpotensi tergerus oleh karya-karya yang lebih mengglobal. Proses ini berisiko menurunkan penghayatan terhadap nilai-nilai lokal dan identitas budaya bangsa yang terwujud dalam bahasa dan sastra Indonesia. Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1991) mengungkapkan, "Bahasa nasional dan sastra adalah elemen penting dalam membangun identitas bersama, tetapi arus globalisasi sering kali memperlemah peran ini melalui dominasi budaya asing." Sastra Indonesia, sebagai refleksi budaya dan sejarah bangsa, membutuhkan perhatian lebih dalam menghadapi gempuran budaya global. Generasi muda perlu didorong untuk melihat kekayaan bahasa dan sastra lokal sebagai aset penting dalam mempertahankan identitas dan kearifan lokal di tengah arus globalisasi.

Kurangnya dukungan pendidikan terhadap penguatan literasi: Sistem pendidikan saat ini masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan penguatan literasi bahasa dan sastra secara holistik. Kurikulum yang ada belum sepenuhnya menekankan pentingnya literasi bahasa dan sastra sebagai pondasi bagi perkembangan intelektual generasi muda. Banyak sekolah yang masih mengutamakan pengajaran berbasis hafalan daripada mendorong siswa untuk berpikir kritis melalui analisis sastra dan pengembangan kemampuan literasi bahasa. Ini mengakibatkan rendahnya kemampuan literasi siswa untuk memahami teks-teks kompleks, terutama yang berkaitan dengan isu sosial, politik, dan budaya. Menurut Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), "Pendidikan harus berfungsi untuk membebaskan, dan literasi merupakan alat penting dalam proses tersebut. Namun, banyak sistem pendidikan yang gagal memberikan ruang bagi literasi yang mendorong pemikiran kritis." Sistem pendidikan yang belum memprioritaskan literasi bahasa dan sastra menyebabkan siswa tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk memahami dan menganalisis informasi secara kritis. Kurangnya dukungan pendidikan ini menjadi hambatan besar dalam penguatan literasi yang harus dihadapi di era modern.

Solusi Menguatkan Literasi Bahasa dan Sastra

Peningkatan program literasi sekolah: Salah satu solusi penting adalah memperkuat program literasi di sekolah melalui pendekatan yang berkelanjutan. Program literasi yang dirancang dengan baik tidak hanya berfokus pada kemampuan teknis membaca dan menulis, tetapi juga membangun apresiasi terhadap bahasa dan sastra. Menurut Ki Hadjar Dewantara (1949), "Pendidikan harus memerdekakan, dan literasi adalah jalan menuju kebebasan berpikir dan bertindak." Sekolah dapat memperkuat literasi melalui kegiatan seperti hari baca nasional, lomba literasi, dan pembelajaran berbasis proyek yang mengintegrasikan penulisan kreatif dan analisis teks sastra. Riset juga menunjukkan bahwa literasi di sekolah harus dimulai sedini mungkin. Bonnie B. Armbruster menyebutkan dalam Put Reading First (2001), bahwa "kunci utama kesuksesan literasi adalah membangun kebiasaan membaca yang konsisten dan bermakna di lingkungan pendidikan formal." Karena itu, peningkatan program literasi di sekolah harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan untuk memastikan setiap siswa mendapatkan bekal literasi yang memadai dalam menghadapi era modern.

Pemanfaatan teknologi untuk mendukung literasi: Penggunaan aplikasi berbasis literasi, e-book, dan platform digital lainnya dapat membantu memperluas akses dan meningkatkan minat baca di kalangan anak-anak dan remaja. Menurut Marc Prensky dalam Digital Natives, Digital Immigrants (2001), "Generasi muda hari ini adalah digital native, dan teknologi menjadi bagian integral dari kehidupan mereka, sehingga pendekatan literasi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaan mereka." Selain itu, platform seperti e-book dan aplikasi literasi digital memungkinkan akses mudah ke berbagai karya sastra, memperkenalkan anak-anak kepada literasi melalui media yang dianggap menarik. Hal ini penting untuk menjembatani kesenjangan minat baca di era digital. Lebih jauh, teknologi dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran kolaboratif, sehingga siswa dapat berbagi ide dan berpartisipasi dalam diskusi literasi melalui forum online atau platform interaktif.

Peran komunitas dan keluarga dalam mendukung literasi: Membentuk lingkungan yang mendukung minat membaca dan menulis di rumah dapat menjadi langkah awal yang signifikan dalam membangun budaya literasi yang berkelanjutan. James S. Kim dalam penelitiannya, The Effective of Home Reading (2006), menunjukkan bahwa "Keterlibatan keluarga dalam membangun kebiasaan membaca di rumah adalah faktor utama dalam mengembangkan minat literasi pada anak-anak. Komunitas juga dapat memainkan peran dengan menyelenggarakan kegiatan literasi seperti perpustakaan umum, klub buku, dan lokakarya penulisan kreatif. Melalui kegiatan ini, masyarakat dapat menciptakan suasana yang memungkinkan literasi menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Marilyn Cochran-Smith, dalam Walking the Road: Race, Diversity, and Social Justice in Teacher Education (2004), menyatakan bahwa "Pembelajaran literasi tidak hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab kolektif komunitas dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung."

Refleksi peringatan Sumpah Pemuda 2024 ini menunjukkan, literasi bahasa dan sastra merupakan bekal penting bagi generasi muda untuk menghadapi tantangan era modern, memungkinkan mereka berkomunikasi efektif, menganalisis informasi secara kritis, dan mengembangkan kreativitas serta empati. Untuk mencapai tujuan ini, lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah harus berperan aktif dalam memperkuat program literasi yang holistik dan mendukung minat terhadap bahasa serta sastra. Dengan literasi yang kuat, generasi muda akan mampu berpikir kritis dan kreatif, berkontribusi positif dalam pembangunan bangsa, serta siap menghadapi tantangan global menuju terwujudnya Generasi Emas yang cerdas dan berbudaya.

Merauke, 28 Oktober 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun