Reaksi Keluarga
Setelah pengumuman keputusannya untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB), Josefa merasakan atmosfer yang tegang di rumahnya di Kampung Tabonji. Malam itu, di bawah cahaya remang-remang lampu minyak di ruang makan kayu, suasana menjadi hening setelah diskusi panjang dengan orang tuanya. Ayahnya duduk di ujung meja, menatap hampa ke arah jendela yang terbuka lebar. Ibu Josefa sibuk menghangatkan nasi dan sayuran rebus untuk makan malam.
"Bagaimana dengan Musamus, Nak?" tanya ayahnya akhirnya, suaranya merendah.
Josefa menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Ayah, saya tahu kedua orang tua ingin saya kuliah di sini. Tapi saya punya impian untuk mempelajari pertanian lebih dalam lagi di IPB."
Ibunya menoleh dari dapur, menatap Josefa dengan ekspresi campuran antara kekhawatiran dan pengertian. "Josefa, kamu harus paham, kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujarnya lembut.
Josefa mengangguk mengerti, "Saya tahu, Ibu. Tapi saya merasa ini kesempatan yang tidak boleh saya lewatkan."
Pertanyaan dan kekhawatiran dari kedua orang tuanya terus mengalir. Mereka mempertanyakan jarak, biaya, kesulitan belajar di kota besar, dan apakah Josefa mampu menghadapinya sendiri. Namun, Josefa dengan tekadnya menjelaskan setiap pertanyaan dengan penuh keyakinan. Dia menjelaskan tentang kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman yang luas, akses pada teknologi pertanian terkini, dan harapannya untuk memberi kontribusi bagi kampung halamannya kelak.
Kedua orang tua itu masih merasa cemas, namun mereka juga merasakan kekuatan tekad yang membara dalam hati Josefa. Pada akhirnya, meskipun dengan berat hati, mereka merelakan Josefa untuk mengikuti mimpi dan menjalani perjalanannya sendiri.
Malam itu, ketika Josefa berbaring di tempat tidur sederhana di kamarnya yang bersih, dia merenungkan respons keluarganya. Meski sulit, dia merasa lega karena telah berani mengungkapkan keinginannya dengan jujur. Dalam hati kecilnya, Josefa bersyukur karena meskipun tantangan akan ada di depannya, ia tidak akan sendirian. Dukungan dan cinta dari keluarganya adalah bekal yang tak ternilai harganya untuk memulai langkah baru ke dunia yang lebih luas dan penuh harapan.
Alasan untuk IPB
Josefa duduk sendirian di teras rumah kayu mereka di Kampung Tabonji, senja mulai meredup di ufuk barat. Angin lembut dari pantai membawa kelembutan seiring dengan suara gemerisik daun-daun kelapa di sekitar mereka. Di tangannya, Josefa memegang sepucuk surat penerimaan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang baru saja dia terima. Hatinya berdebar-debar campur aduk antara gembira dan cemas akan masa depan yang menantinya.
Saat itu, ibunya, Mama Maria, keluar dari rumah dan melihat putrinya yang sedang merenung. "Josefa, ada apa? Kenapa kamu tampak begitu serius?" tanyanya dengan lembut.
Josefa tersenyum tipis sambil menyerahkan surat penerimaan itu kepada ibunya. "Ini, Mama. Aku diterima di IPB."
Mama Maria membuka surat itu dan membaca dengan seksama. "Ini kabar baik, Josefa! Tapi kenapa kamu kelihatan cemas?"
"Ini memang kabar baik, Ma," jawab Josefa. "Tapi aku juga merasa berat harus meninggalkan kampung ini. Aku takut mengecewakan Mama dan Papa."
Mama Maria duduk di sebelah Josefa dan merangkulnya. "Josefa, Mama dan Papa selalu mendukung apa yang terbaik untukmu. Kalau ini impianmu, kami akan selalu ada di belakangmu."
Sejak kecil, Josefa selalu merasa terhubung dengan tanah dan alam di Pulau Kimaam. Dia tumbuh di tengah tradisi Marind Anim yang kaya akan pengetahuan lokal tentang pertanian dan kehidupan bermasyarakat. Namun, melalui Pesta Adat Dambu dan keajaiban tanaman Dambu yang tumbuh subur, Josefa merasa ada lebih banyak hal yang harus dipelajari. Dia ingin memahami bagaimana teknik-tradisional masyarakatnya mampu menghasilkan hasil pertanian yang menagumkan tanpa bergantung pada teknologi modern.
"Ma, waktu Pesta Adat Dambu, aku selalu terpesona dengan tanaman Dambu itu. Bagaimana mungkin mereka bisa tumbuh begitu subur tanpa teknologi modern?" tanya Josefa sambil mengingat masa kecilnya.
Mama Maria tersenyum, mengingat masa itu juga. "Itulah kearifan lokal kita, Nak. Nenek moyang kita punya pengetahuan yang mendalam tentang alam ini."
Keingintahuannya semakin terpicu ketika Josefa bersekolah di Merauke dan bertemu dengan Didimus, teman sekelas yang peduli dengan lingkungan. Diskusi mereka tentang pentingnya melestarikan alam dan keanekaragaman hayati semakin menguatkan tekad Josefa untuk mendalami ilmu pertanian, khususnya yang berkaitan dengan tanaman Dambu.
"Didimus selalu bilang bahwa kita harus menjaga keanekaragaman hayati kita," kata Josefa. "Itu juga yang membuatku semakin ingin belajar lebih banyak lagi."
Ketika Josefa menolak untuk melanjutkan kuliah di Musamus seperti yang diharapkan oleh orang tuanya, dia mengambil langkah besar untuk mengejar mimpinya di IPB. Baginya, Bogor bukan hanya tempat untuk belajar ilmu pertanian modern, tetapi juga kesempatan untuk membawa kembali pengetahuan dan teknologi yang dapat bermanfaat bagi kampung halamannya.
"Josefa, kamu yakin dengan pilihanmu ini?" tanya Papa Samuel, yang baru saja bergabung dengan mereka di teras.
"Aku yakin, Papa," jawab Josefa tegas. "Aku ingin membawa ilmu dan teknologi yang kupelajari di Bogor kembali ke sini, untuk membantu kampung kita."
Selama proses penerimaan, Josefa menjalani beberapa bulan yang penuh tantangan. Dukungan dari Didimus dan beberapa guru di sekolahnya memberinya keyakinan bahwa keputusannya untuk belajar di IPB adalah langkah yang tepat. Dia yakin bahwa di IPB, dia akan mendapatkan pengetahuan yang komprehensif tentang pertanian modern dan teknologi yang dapat dia terapkan kembali di Kampung Tabonji.
"Saat proses penerimaan itu, Didimus dan guru-guru sangat mendukungku, Pa," tambah Josefa. "Mereka membuatku percaya bahwa aku bisa melakukan ini."
Papa Samuel mengangguk. "Kalau begitu, kami juga percaya padamu, Josefa. Pergilah ke Bogor dan belajarlah dengan sungguh-sungguh. Kami akan selalu mendukungmu."
Saat Josefa duduk di teras, memandangi langit senja yang memerah, dia merasa teguh dalam keputusannya. IPB bukan hanya sekadar sebuah institut, tetapi jendela baru menuju pengetahuan yang lebih dalam dan peluang untuk membawa perubahan yang positif bagi komunitasnya. Dengan hati penuh harapan dan semangat, Josefa merencanakan langkah-langkah berikutnya menuju Bogor, tempat dimana impian dan tujuannya akan menjadi nyata.
"Terima kasih, Mama, Papa. Aku akan berusaha sebaik mungkin di sana dan membawa perubahan untuk kampung kita," kata Josefa dengan penuh semangat.
Mama Maria dan Papa Samuel tersenyum bangga. "Kami tahu kamu bisa, Josefa. Semangatlah," ujar Mama Maria sambil merangkul putrinya dengan penuh kasih sayang.
(Bersambung)
Merauke, 27 Oktober 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H