Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membaca, Menulis, dan Mempraktikkan: Solusi untuk Literasi yang Terabaikan

21 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 21 Oktober 2024   07:16 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Literasi telah lama diakui sebagai fondasi penting dalam pendidikan, mencakup kemampuan membaca, menulis, memahami informasi, mengolahnya secara kritis, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun literasi diharapkan menjadi pilar yang mendukung semua mata pelajaran di sekolah, kenyataannya pencapaian keterampilan membaca dan menulis masih belum optimal. Berdasarkan pengalaman mengajarkan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi, banyak mahasiswa kesulitan memahami bacaan dan mengekspresikan pemahaman secara tertulis, yang disebabkan oleh kurangnya perhatian pada pembiasaan membaca dengan pemahaman dan latihan menulis kritis di sekolah. Tulisan ini berusaha mengidentifikasi penyebab rendahnya literasi dan menawarkan solusi holistik melalui pendekatan membaca, menulis, dan mempraktikkan untuk membangun generasi pembelajar yang lebih baik.

Literasi Sekolah: Antara Teori dan Praktik

Literasi dalam pendidikan tidak hanya mencakup kemampuan dasar membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan memahami, mengkritisi, dan menerapkan informasi dari bacaan. UNESCO (2006) mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan mengolah informasi tertulis dalam berbagai konteks. Anderson dan Pearson, dalam A Schema-Theoretic View of Basic Processes in Reading Comprehension (1984), menekankan bahwa pemahaman bacaan adalah proses kompleks yang melibatkan penghubungan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki pembaca.

Literasi yang komprehensif mencakup kemampuan membaca dengan pemahaman, menulis untuk mengekspresikan pemahaman, dan menerapkan apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), menekankan bahwa literasi harus mendorong pembebasan dan tindakan kritis, menghubungkan teori dengan praktik dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, program seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah diinisiasi oleh Kemdikbud untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis siswa.

Akan tetapi, evaluasi menunjukkan hasil yang belum optimal. PISA (2018) melaporkan bahwa keterampilan membaca siswa Indonesia masih di bawah rata-rata internasional. Masalah utama adalah minimnya latihan pemahaman bacaan yang mengajarkan siswa berpikir kritis. Menurut Kamil, dalam Adolescent Literacy: Research and Practice (2003), siswa jarang dilatih untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki atau mengkritisi teks secara mendalam.

Minimnya latihan ini berdampak pada kesiapan mahasiswa di perguruan tinggi, yang sering kali kesulitan memahami teks akademik kompleks dan mengekspresikan pemahaman secara kritis melalui tulisan. Snow, dalam Reading for Understanding: Toward a Research and Development Program in Reading Comprehension (2002), menyatakan bahwa pembelajaran literasi yang hanya menekankan aspek teknis menciptakan pembaca pasif, bukan pembaca kritis.

Meskipun literasi telah menjadi fokus dalam kurikulum, pelaksanaannya masih perlu evaluasi. Pendekatan literasi yang lebih integratif, yang menggabungkan kemampuan membaca, menulis, dan mempraktikkan, sangat diperlukan untuk membangun keterampilan literasi yang lebih bermakna bagi siswa hingga ke perguruan tinggi.

Tantangan Literasi: Membaca Tanpa Memahami

Salah satu tantangan utama dalam pendidikan adalah rendahnya kemampuan membaca yang mendalam. Banyak siswa hanya membaca secara mekanis tanpa memahami konteks atau makna teks. Menurut Snow (2002), membaca adalah proses kompleks yang melibatkan interaksi pembaca dengan teks, di mana pembaca harus menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada.

Namun, banyak siswa hanya membaca untuk menyelesaikan tugas, tanpa menerapkan strategi pemahaman seperti merangkum atau mengidentifikasi gagasan utama. Akibatnya, mereka cenderung menghafal informasi tanpa memahami konteks atau tujuan teks yang mereka baca, sebagaimana dinyatakan oleh Duke dan Pearson dalam Effective Practices for Developing Reading Comprehension (2002).

Membaca secara mekanis membuat siswa kehilangan kesempatan berpikir kritis, sehingga tidak mampu menganalisis atau menafsirkan teks. Pemahaman konteks, nuansa bahasa, serta interpretasi maksud penulis sering terabaikan, yang berdampak pada pemahaman bacaan yang terbatas.

Indikasi kurangnya pemahaman bacaan adalah ketidakmampuan siswa menceritakan ulang teks. Menceritakan ulang tidak hanya melibatkan ingatan, tetapi juga kemampuan mengorganisir informasi secara logis. Guthrie dalam Motivating Reading Comprehension: Concept-Oriented Reading Instruction (2004), menekankan bahwa kegiatan ini penting dalam memperkuat pemahaman dan merangkai kembali informasi dengan bahasa sendiri.

Sayangnya, menceritakan ulang belum menjadi bagian rutin dalam pembelajaran literasi. Tanpa latihan ini, siswa kehilangan kesempatan memperkuat pemahaman dan mengidentifikasi bagian teks yang kurang dipahami, sehingga mereka hanya menjadi konsumen pasif informasi.

Selain itu, rendahnya kemampuan menulis secara kritis dan reflektif berdasarkan bacaan juga menjadi tantangan. Menurut Graham dan Perin, dalam Writing Next: Effective Strategies to Improve Writing of Adolescents in Middle and High Schools (2007), menulis berkualitas membutuhkan kemampuan mengembangkan ide, argumen kuat, dan bahasa efektif, namun banyak siswa belum terlatih untuk ini.

Secara keseluruhan, rendahnya pemahaman membaca, kesulitan menceritakan ulang, dan kelemahan menulis kritis menunjukkan bahwa pendidikan literasi harus lebih menekankan pemahaman mendalam, refleksi, dan penerapan informasi dalam berbagai konteks.

Solusi: Membaca, Menulis, dan Mempraktikkan

Latihan membaca dengan pemahaman penting agar siswa tidak hanya membaca secara mekanis, tetapi juga mampu memahami dan menganalisis bacaan. Anderson dan Pearson (1984) menegaskan bahwa pemahaman bacaan adalah proses aktif yang menghubungkan pengetahuan lama dengan informasi baru. Latihan membaca kritis sejak dini perlu diterapkan melalui diskusi dan refleksi, di mana diskusi kelompok membantu siswa memperdalam pemahaman melalui berbagi pandangan.

Refleksi, seperti yang disarankan Marzano dalam The Art and Science of Teaching (2007), membantu siswa mengaitkan bacaan dengan kehidupan sehari-hari. Latihan menceritakan ulang juga efektif memperkuat pemahaman, seperti diungkapkan oleh Keene dan Zimmermann dalam Mosaic of Thought: Teaching Comprehension in a Reader's Workshop (1997). Menceritakan ulang membantu siswa menyusun ulang informasi dalam bahasa mereka sendiri, memperdalam pemahaman dan mengasah keterampilan menulis.

Menulis berdasarkan bacaan, seperti yang dijelaskan oleh Graham dan Perin  (2007), membantu siswa mengorganisir ide, menganalisis informasi, dan mengkritisi teks. Menulis esai reflektif, misalnya, mengajak siswa mengaitkan bacaan dengan pengalaman pribadi, sehingga memperkuat pemahaman dan keterampilan berpikir kritis.

Paulo Freire (1970) menekankan pentingnya mengaitkan pembelajaran dengan konteks sosial melalui proyek nyata, seperti simulasi atau laporan lapangan. Ini membantu siswa melihat relevansi bacaan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga meningkatkan pemahaman dan kualitas pembelajaran mereka.

Pentingnya Kolaborasi Guru dan Sekolah

Guru berperan penting dalam membentuk kemampuan literasi siswa sebagai fasilitator yang mendorong praktik literasi mendalam. Vygotsky dalam Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (1978), menekankan bahwa guru adalah pemandu yang membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis melalui interaksi sosial. Guru perlu merancang kegiatan yang menekankan pemahaman membaca dan penulisan analitis, serta memberikan bimbingan langsung. Hattie, dalam Visible Learning: A Synthesis of Over 800 Meta-Analyses Relating to Achievement (2009), menyatakan bahwa umpan balik guru sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa.

Kolaborasi antara guru dan sekolah diperlukan untuk mendukung literasi holistik. Fullan, dalam All Systems Go: The Change Imperative for Whole System Reform (2010), menekankan pentingnya kolaborasi sistemik untuk menciptakan lingkungan yang mendukung keterampilan literasi. Sekolah perlu memastikan kurikulum memprioritaskan pemahaman bacaan dan penulisan analitis sejak dini. Pressley dan Allington, dalam Reading Instruction That Works: The Case for Balanced Teaching (2014), menggarisbawahi keseimbangan dalam pengajaran literasi, dan sekolah harus mendukung program yang mendorong pemahaman kritis dan penulisan reflektif.

Sahlberg, dalam Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (2011), menekankan pentingnya sistem pendidikan yang mendukung pengembangan keterampilan berpikir kritis melalui literasi, dengan sekolah menjadi tempat yang mempersiapkan siswa untuk memahami dunia dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial secara bermakna.

Uraian di atas menunjukkan bahwa membaca, menulis, dan mempraktikkan adalah tiga elemen krusial yang harus saling terintegrasi dalam proses pembelajaran literasi. Membaca tidak hanya sekadar mengenal kata, tetapi juga melibatkan pemahaman mendalam terhadap makna dan konteks. Menulis adalah cerminan dari pemahaman tersebut, sehingga siswa mampu mengungkapkan gagasan secara jelas dan terstruktur. Sementara itu, mempraktikkan apa yang telah dibaca dan ditulis adalah bentuk aplikasi nyata yang mengokohkan pemahaman sekaligus memberikan relevansi pada kehidupan sehari-hari. Ketiga elemen ini, ketika berjalan seiring, akan membentuk literasi yang lebih bermakna dan mendalam di sekolah, sekaligus memperkuat keterampilan siswa dalam berbahasa secara keseluruhan. Dengan penerapan pendekatan yang lebih komprehensif dan integratif, siswa dan mahasiswa tidak hanya mampu membaca dan menulis, tetapi juga mampu memahami serta mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh ke dalam kehidupan nyata. Pendidikan yang menekankan keterampilan literasi yang bermakna akan memberikan bekal berharga bagi siswa, baik dalam menyelesaikan studi di perguruan tinggi, maupun dalam berkontribusi positif di masyarakat. Dengan demikian, literasi bukan hanya alat untuk mencapai nilai akademis, melainkan juga keterampilan esensial yang membantu mereka memahami dunia dan membangun masa depan yang lebih baik. (*)

Merauke, 21 Oktober 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun