Akan tetapi, tradisi menjamu tamu dengan segala kemewahan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh gengsi sosial yang turut membentuk praktik ini. Dalam konteks masyarakat NTT, ada keinginan untuk menunjukkan kehormatan dan martabat sebagai tuan rumah yang mampu memberikan yang terbaik. Banyak yang merasa bahwa dengan menjamu tamu secara berlebihan, mereka mampu mempertahankan status sosial dan menjaga citra baik di hadapan orang lain.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran makna dari tradisi asli menjadi bentuk upaya mempertahankan gengsi. Ketika tradisi bertransformasi menjadi sesuatu yang dilakukan untuk memenuhi ekspektasi sosial, makna sejati menghormati tamu berpotensi untuk bergeser. Kebiasaan menyajikan makanan terbaik untuk tamu sementara keluarga sendiri jarang menikmati hasil tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan dan kesehatan keluarga. Ketergantungan pada jagung, sayuran, dan ubi-ubian sederhana sering tidak mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang, yang berisiko menyebabkan malnutrisi terutama bagi anak-anak dalam keluarga.
Implikasi dan Refleksi
Praktik menjamu tamu dengan hidangan terbaik memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi keluarga di NTT. Dalam upaya menjaga tradisi ini, keluarga sering mengorbankan sebagian besar hasil pertanian atau ternak yang seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri atau bahkan dijual untuk mendapatkan penghasilan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi rumah tangga, karena sumber daya yang dimiliki tidak dikelola secara berkelanjutan.
Gereja Katolik menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya dengan bijak ditekankan, terutama untuk memastikan bahwa kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Paus Leo XIII, dalam ensiklik Rerum Novarum (1891), menekankan bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya secara bijaksana dan memastikan kesejahteraan keluarga. Hal ini berarti, meskipun memberi kepada tamu adalah tindakan mulia, kesejahteraan keluarga tidak boleh diabaikan dalam proses tersebut.
Generasi muda di NTT tampaknya memiliki pandangan yang berbeda mengenai tradisi menjamu tamu dengan kemewahan. Dalam era modern yang diwarnai oleh kesadaran akan pentingnya efisiensi dan pemenuhan kebutuhan dasar, banyak di antara mereka mulai mempertanyakan praktik ini melalui platform media sosial, terutama ketika mengakibatkan pengabaian terhadap kesejahteraan keluarga sendiri. Para pemuda lebih cenderung menilai secara rasional tentang dampak ekonomi dan kesehatan dari tradisi ini, dan mulai mencari cara untuk tetap menghormati tamu tanpa harus mengorbankan kebutuhan keluarga.
Gereja Katolik mendukung perubahan menuju praktik yang lebih berimbang. Dalam Gaudium et Spes (1965), Konsili Vatikan II menekankan bahwa tradisi harus diteruskan dengan mempertimbangkan kebutuhan zaman dan kesejahteraan manusia. Gereja mengajarkan, adalah bijaksana untuk menjaga tradisi sejauh tradisi tersebut tidak membahayakan kebutuhan dasar dan kesejahteraan keluarga. Ini berarti generasi muda dapat berinovasi untuk tetap menghargai tamu tanpa harus mengikuti cara lama yang mungkin tidak lagi relevan dengan kondisi mereka saat ini.
Penutup
Tradisi menghormati tamu di NTT merupakan warisan budaya yang sangat berharga, namun perlu dikelola dengan bijak agar tidak mengorbankan kesejahteraan keluarga sendiri. Penting bagi masyarakat untuk menemukan keseimbangan antara memuliakan tamu dan menjaga kebutuhan kesehatan dan ekonomi rumah tangga. Penghormatan terhadap tamu tidak harus diwujudkan dalam bentuk pengorbanan yang berlebihan, tetapi dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih sederhana, namun penuh makna.
Salah satu langkah penting dalam menjaga keseimbangan ini adalah dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya gizi dan nutrisi untuk keluarga. Pemerintah, Gereja, dan lembaga masyarakat dapat bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesejahteraan keluarga sebagai prioritas. Melalui edukasi ini, masyarakat dapat lebih memahami bagaimana menghormati tamu secara proporsional tanpa harus mengabaikan kebutuhan dasar keluarga mereka sendiri. Selain itu, mendorong inovasi dalam cara menjamu tamu juga dapat menjadi solusi agar tradisi tetap hidup, namun tidak membebani.
Kita perlu merenungkan nilai-nilai yang kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah tindakan kita benar-benar mencerminkan kasih dan penghargaan, atau justru dipengaruhi oleh dorongan gengsi? Menghormati tamu adalah bagian penting dari kehidupan bermasyarakat, tetapi kesejahteraan keluarga sendiri haruslah menjadi prioritas utama. Hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam, agar kita dapat menjaga tradisi yang baik, sekaligus memastikan bahwa keluarga kita pun memperoleh perhatian dan pemeliharaan yang layak. Hanya dengan keseimbangan ini kita dapat menciptakan komunitas yang benar-benar sejahtera dan harmonis. (*)