Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Novel] Menapak Jejak di Kimaam: Episode 09-10

20 September 2024   06:05 Diperbarui: 20 September 2024   06:08 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode 09: Pertanyaan tentang Pertanian

Pesta Adat Dambu telah membangkitkan serangkaian pertanyaan dalam benak Josefa tentang pertanian tradisional di kampung Tabonji. Saat matahari terbenam dan kehangatan hari mulai mereda, Josefa masih terdiam dalam kekagumannya terhadap keajaiban tanaman Dambu yang dipamerkan di pesta itu. Namun, di balik keindahan itu, ada kerumitan yang mendorongnya untuk menggali lebih dalam.

Josefa terus bertanya-tanya, bagaimana penduduk kampung mampu menghasilkan ubi-ubi begitu besar tanpa bergantung pada teknologi modern seperti pupuk kimia atau sistem irigasi canggih? Apakah mereka memiliki pengetahuan khusus atau hanya mengandalkan keberuntungan?

"Tante Marta," tanya Josefa kepada seorang wanita tua yang duduk di sebelahnya, "bagaimana bisa ubi-ubi di sini tumbuh begitu besar? Apakah ada rahasia khusus?"

Tante Marta tersenyum lembut. "Nak, rahasianya ada pada cara kami merawat tanah dan tanaman. Kami tidak menggunakan pupuk kimia, hanya bahan-bahan alami yang ada di sekitar kita."

Josefa mengangguk, tertarik. "Apa saja bahan-bahan alami itu, Tante?"

"Banyak sekali, Josefa," jawab Tante Marta. "Kami menggunakan abu bakaran, sisa-sisa tumbuhan, dan kotoran hewan sebagai pupuk. Kami juga punya cara khusus dalam memilih bibit dan menanamnya di waktu yang tepat sesuai siklus alam."

Pertanyaan-pertanyaan ini memantik rasa ingin tahu dan semangat penelitian Josefa. Ia mengingat betapa pentingnya tanaman Dambu bagi kehidupan sehari-hari di kampung halamannya. Tanaman ini tidak hanya menjadi sumber pangan utama, tetapi juga bagian integral dari budaya dan identitas Marind Anim.

Selama bertahun-tahun, Josefa telah melihat bagaimana pertanian di kampungnya sering kali mengandalkan pengetahuan turun-temurun dan pengalaman praktis yang diperoleh dari generasi sebelumnya. Namun, di zaman yang semakin modern, pertanyaannya adalah apakah metode tradisional ini masih relevan dan dapat dipertahankan?

"Tapi, Tante Marta," Josefa melanjutkan, "apakah cara-cara ini masih relevan di zaman sekarang? Bukankah kita perlu teknologi modern untuk meningkatkan hasil panen?"

Tante Marta tersenyum bijak. "Josefa, teknologi memang penting, tapi tidak semuanya harus modern. Kadang-kadang, yang tradisional justru lebih baik karena tidak merusak alam. Yang penting adalah bagaimana kita bisa menggabungkan yang lama dengan yang baru tanpa merusak keseimbangan."

Josefa merasa terdorong untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Dia ingin memahami dengan lebih dalam bagaimana tanaman Dambu dapat tumbuh dengan subur di tanah Kimaam, tanpa harus bergantung pada teknologi modern yang kadang-kadang mempengaruhi ekosistem secara negatif.

Dengan setiap langkahnya di Pesta Adat Dambu, Josefa semakin yakin bahwa impian untuk belajar ilmu pertanian, khususnya terkait tanaman Dambu, bukan hanya sekadar ambisi pribadi. Ini adalah panggilan untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dan melestarikan warisan budaya yang berharga bagi masyarakat Papua.

"Terima kasih, Tante Marta. Aku akan terus belajar dan mencoba menggabungkan ilmu modern dengan kearifan lokal kita," kata Josefa dengan semangat yang baru.

Dengan hati yang penuh semangat, Josefa bersiap untuk melangkah ke babak berikutnya dalam pencariannya akan ilmu, sambil mempertimbangkan bagaimana ia dapat berkontribusi positif bagi kampung halamannya dengan ilmu yang akan ia peroleh.

Episode 10: Pemikiran tentang Masa Depan

Saat malam mulai merayap di atas kampung Tabonji, Josefa duduk sendiri di tepi pantai yang tenang. Suasana pesta adat masih terasa di udara, tetapi pikirannya sudah melayang jauh ke depan, memikirkan masa depan pertanian di kampung halamannya.

Di tengah lamunannya, Didimus mendekat dan duduk di sebelahnya. "Josefa, kamu kelihatan sangat serius. Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya.

Josefa tersenyum tipis. "Aku sedang memikirkan masa depan pertanian di kampung kita, Didimus. Semua yang aku lihat dan pelajari hari ini membuatku terkesima. Tanaman Dambu tumbuh subur tanpa bantuan teknologi modern. Aku bertanya-tanya, apakah teknologi modern benar-benar solusi satu-satunya untuk meningkatkan produksi pertanian?"

Didimus mengangguk. "Aku mengerti apa yang kamu maksud. Tapi bukankah teknologi juga bisa membantu kita meningkatkan hasil panen? Aku selalu berpikir kalau kita bisa menggabungkan cara tradisional dan modern, kita bisa mendapatkan yang terbaik dari kedua dunia."

Josefa merenung sejenak sebelum menjawab. "Ya, aku setuju. Aku membayangkan ladang-ladang yang lebih hijau dan subur, tanaman Dambu yang lebih besar dan lebih berlimpah, serta masyarakat yang lebih sejahtera berkat pertanian yang berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal. Tapi, tantangan besar menanti kita, terutama di tengah arus modernisasi yang terus mengalir."

"Tantangan itu memang ada," kata Didimus sambil menatap ke arah laut. "Tapi kita juga punya keunggulan. Kita punya kearifan lokal yang sudah terbukti bertahan selama berabad-abad. Kita hanya perlu belajar bagaimana menggabungkannya dengan teknologi modern tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional kita."

Josefa mengangguk setuju. "Itu yang aku pikirkan juga. Aku ingin belajar ilmu pertanian modern di luar Kimaam, tapi aku juga ingin tetap memegang teguh nilai-nilai tradisional yang diajarkan oleh nenek moyang kita. Aku yakin ada cara untuk menggabungkan ilmu pengetahuan modern dengan kearifan lokal, menciptakan sistem pertanian yang lebih baik dan lebih berkelanjutan."

Didimus tersenyum penuh semangat. "Aku yakin kamu bisa melakukannya, Josefa. Kamu selalu punya semangat dan tekad yang kuat. Kita bisa membuat perubahan yang positif bagi kampung kita."

Pemikiran tentang masa depan ini menguatkan tekad Josefa untuk mengejar impian pendidikannya di luar kampung halamannya. Ia ingin membuktikan bahwa ada cara lain untuk mencapai kemajuan tanpa harus mengorbankan budaya dan lingkungan.

Duduk di tepi pantai yang tenang, Josefa merasa siap untuk menghadapi perjalanan panjangnya. Ia tahu bahwa tantangan dan rintangan akan datang, tetapi ia juga yakin bahwa dengan semangat dan tekadnya, ia dapat membuat perubahan yang positif bagi kampung halamannya dan masyarakat Marind Anim di Pulau Kimaam.

"Terima kasih, Didimus," kata Josefa sambil menatap sahabatnya. "Dengan dukunganmu, aku merasa lebih siap untuk menghadapi masa depan."

"Sama-sama, Josefa," jawab Didimus. "Kita akan melalui ini bersama-sama. Demi kampung kita, Tabonji."

Mereka berdua duduk dalam diam, menikmati keheningan malam dan bintang-bintang yang bersinar terang di atas laut Arafuru, merasakan tekad dan semangat yang semakin menguat di hati mereka.

(Bersambung)

Merauke, 20 September 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun