Waktu adalah sebuah konsep universal yang dialami oleh semua orang, setiap detik, setiap hari. Namun, apa sebenarnya arti dari 'waktu'? Secara umum, waktu dipahami sebagai sesuatu yang terus bergerak maju, sebuah aliran yang tidak pernah berhenti. Dalam detik-detiknya, kita bekerja, beristirahat, bermimpi---hidup berlangsung dalam hitungan menit dan jam. Inilah yang sering disebut sebagai 'kronos', waktu dalam pengertian linier, yang mengatur rutinitas kita dari satu hari ke hari berikutnya.
Namun, di luar aliran kronos, kehidupan tidak hanya meliputi serangkaian momen yang datang dan pergi tanpa makna. Ada waktu yang tidak bisa dihitung dalam hitungan jam, tetapi ditandai oleh momen-momen yang penuh arti---sebuah kesempatan, sebuah titik balik yang dapat mengubah segalanya. Di sinilah hadir konsep 'kairos', sebuah momen yang membawa peluang atau makna mendalam. Kairos tidak bisa diukur oleh jam, karena ia merupakan dimensi kualitatif, bukan kuantitatif dari waktu.
Dalam bahasa Yunani, 'kronos' mengacu pada waktu yang mengalir secara mekanis, sebuah pengukuran yang ditandai oleh detik dan menit. Sebaliknya, 'kairos' adalah waktu dalam arti lain---bukan sekadar jumlah detik yang berlalu, melainkan sebuah kesempatan yang datang pada momen yang tepat.
Di antara rutinitas kronos, ada kairos, sebuah undangan untuk mengambil peluang yang jarang datang dua kali. Pemahaman mendalam tentang dua wajah waktu ini bisa mengubah cara kita melihat hidup, dari sekadar menjalani hari demi hari menjadi menyadari dan menangkap peluang yang membawa perubahan besar.
Waktu dalam Arti Kronos
Kronos, dalam bahasa Yunani, merujuk pada waktu yang bersifat liniar dan kuantitatif, yang diukur dalam detik, menit, dan tahun. Ia adalah bentuk waktu yang kita gunakan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, mulai dari rutinitas hingga tenggat waktu. Menurut Lewis Mumford dalam Technics and Civilization (1934), "Jam menciptakan waktu mekanis yang mengatur seluruh ritme kehidupan modern." Kronos, dengan segala ketepatannya, menjadi elemen penting dalam kehidupan modern.
Namun, kehidupan yang terikat pada kronos dapat membuat kita terjebak dalam rutinitas yang terasa tak berakhir. Setiap hari kita terbangun pada waktu yang sama, menjalani pekerjaan dengan jadwal ketat, dan berhadapan dengan tenggat waktu. Waktu sering terasa seperti sesuatu yang terus memburu kita tanpa henti, mendorong kita untuk bergerak maju tanpa istirahat.
Menurut Kardinal Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI), dalam The Spirit of the Liturgy (2000), waktu yang hanya dimaknai sebagai kronos dapat menjadikan manusia budak dari ritme kehidupan yang tak memberi ruang bagi kebebasan atau makna lebih dalam. Kronos dapat memenjarakan manusia dalam pola hidup tanpa arah, di mana hidup hanya diisi untuk memenuhi tuntutan waktu yang terus bergerak.
Ketika hidup hanya mengikuti kronos---dengan fokus pada rutinitas dan tenggat waktu---kehidupan bisa terasa monoton dan penuh tekanan. Matthew Kelly, dalam The Rhythm of Life (1999), menyatakan bahwa "ketika kita hanya menghitung waktu, kita kehilangan esensi hidup." Ini menunjukkan bahwa berfokus pada kronos saja membuat kita kehilangan momen-momen bermakna yang memberi makna pada kehidupan.
Ajaran Gereja Katolik, terutama dalam Laudato Si' (2015), mengingatkan pentingnya keluar dari ritme cepat dunia modern. Paus Fransiskus menekankan bahwa hidup dalam kronos yang mekanis dapat membuat kita kehilangan kesadaran akan momen-momen berharga yang mendekatkan kita kepada Tuhan dan sesama. Waktu Tuhan, menurut ajaran Katolik, tidak diukur dalam hitungan detik, tetapi dalam momen kasih yang mendalam.
Terjebak dalam kronos tanpa memahami kairos, momen penuh makna, dapat menyebabkan kelelahan mental dan emosional. Rutinitas yang ketat memang penting untuk efisiensi, tetapi jika tidak diseimbangkan dengan momen kairos, hidup bisa terasa hampa. John O'Donohue, dalam Anam Cara: A Book of Celtic Wisdom (1997), mengatakan bahwa jika kita hanya mengukur hidup dengan jam kronos, kita kehilangan kesempatan untuk menyentuh keabadian dalam momen-momen kecil.