Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[Novel] Menapak Jejak di Kimaam: Episode 07-08

18 September 2024   06:05 Diperbarui: 18 September 2024   06:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Cover Novel Menapak Jejak di Kimaam (Dokumentasi Pribadi)


Episode 07: Pembicaraan dengan Sesepuh Kampung

Di tengah gemerlapnya Pesta Adat Dambu, Josefa mendapat kesempatan langka untuk duduk bersama sesepuh kampung. Mereka berkumpul di bawah rindangnya pohon bakau yang tua, di pinggir pantai yang menghadap ke Laut Arafuru yang tenang. Udara malam yang sejuk terasa menyegarkan setelah sehari penuh kegiatan.

Sesepuh kampung, yang duduk dengan tenang di depan Josefa, terlihat bijak dan penuh pengalaman. Mereka tersenyum ramah menyambut Josefa, menunjukkan sikap hormat yang mendalam terhadap keingintahuan dan ketertarikan gadis muda ini terhadap budaya dan pertanian tradisional mereka.

"Josefa, apa yang ingin kau ketahui tentang Pesta Adat Dambu?" tanya Mbah Yosef, salah satu sesepuh tertua dengan suara lembut.

"Terima kasih, Mbah. Saya ingin tahu lebih banyak tentang sejarah dan filosofi di balik Pesta Adat Dambu. Apa makna sebenarnya dari perayaan ini bagi kita?" jawab Josefa dengan penuh rasa ingin tahu.

Mbah Yosef mengangguk pelan. "Pesta Adat Dambu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai suku Marind Anim. Acara ini bukan hanya sebuah pesta biasa, tetapi juga perayaan kehidupan dan keberhasilan dalam bercocok tanam, terutama tanaman Dambu yang menjadi andalan kita."

"Betul sekali," sambung Mbah Yohanes, sesepuh lainnya. "Dulu, nenek moyang kita memulai tradisi ini untuk menghormati alam dan segala hasil bumi yang diberikan. Mereka percaya bahwa dengan merawat tanah dan tanaman dengan baik, kita akan selalu diberkati dengan panen yang melimpah."

Josefa mencatat dengan seksama setiap kata yang disampaikan oleh sesepuh. "Saya kagum dengan bagaimana kita bisa menjaga tradisi ini di tengah arus modernisasi yang semakin kuat. Bagaimana caranya kita bisa mempertahankan kearifan lokal ini?"

Mbah Yosef tersenyum bijak. "Tantangan memang selalu ada, Nak. Tapi kunci utama adalah keseimbangan. Kita harus bisa menjaga tradisi sambil tetap membuka diri terhadap inovasi dan teknologi baru yang bisa membantu kita."

"Benar, Josefa," kata Mbah Yohanes. "Kami selalu berusaha mengajarkan nilai-nilai ini kepada generasi muda seperti kamu. Kearifan lokal dan kemajuan teknologi bisa berjalan beriringan, asalkan kita tidak melupakan akar budaya kita."

Josefa merasa terinspirasi dan terdorong oleh cerita-cerita sesepuh ini. Ia semakin yakin bahwa perjalanan pencariannya akan ilmu pertanian tidak hanya tentang mengejar gelar akademis, tetapi juga tentang memahami dan menghargai akar budaya serta kearifan lokal yang telah teruji sejak zaman nenek moyang.

"Saya berjanji, Mbah, saya akan terus belajar dan berkontribusi bagi komunitas kita. Saya ingin membawa perubahan positif tanpa meninggalkan jejak identitas budaya yang begitu berharga bagi masyarakat Marind Anim di Pulau Kimaam," ujar Josefa dengan tekad yang bulat.

Sesepuh kampung tersenyum bangga. "Kami percaya padamu, Josefa. Masa depan kampung ini ada di tangan generasi muda sepertimu."

Saat percakapan berlanjut hingga larut malam, Josefa merasa bersyukur telah mendapat kesempatan untuk berbagi dengan sesepuh kampung. Ia merasa lebih terhubung dengan warisan budaya dan alam yang mengelilinginya, siap untuk melangkah maju dengan pengetahuan dan inspirasi baru.

Episode 08: Rasa Ingin Tahu yang Meningkat

Di tengah gemerlapnya Pesta Adat Dambu, Josefa merasa semakin terpanggil untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang tanaman Dambu dan kearifan tradisional yang melekat di kampung halamannya. Setelah berbicara dengan sesepuh kampung dan mendengarkan cerita mereka tentang pertanian tradisional, rasa ingin tahunya semakin memuncak.

"Kak Josefa, apa yang sedang Kakak pikirkan?" tanya Didimus yang tiba-tiba duduk di sebelahnya, menatap wajah Josefa yang tampak dalam lamunan.

Josefa tersenyum. "Aku memikirkan tanaman Dambu, Didimus. Rasanya begitu menakjubkan bagaimana mereka bisa tumbuh subur tanpa bantuan teknologi modern."

Didimus mengangguk. "Iya, benar sekali. Tapi bukankah itu yang membuat kita unik? Kearifan lokal kita yang sudah teruji sejak lama."

"Benar," balas Josefa sambil menghela napas. "Namun, aku merasa kita bisa melakukan lebih banyak lagi. Aku ingin menelusuri lebih jauh rahasia di balik keberhasilan pertanian tanaman Dambu ini."

Didimus mengangkat alisnya, tertarik. "Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan menghabiskan lebih banyak waktu di ladang-ladang kampung, mengamati langsung teknik bercocok tanam yang diterapkan oleh penduduk setempat," jawab Josefa dengan semangat. "Setiap gerakan mereka, dari pemilihan bibit hingga teknik penyiraman, semuanya penting untuk dipelajari."

Didimus tersenyum lebar. "Itu ide yang bagus, Josefa. Kau memang selalu memiliki semangat yang besar untuk belajar."

Saat malam semakin larut, Josefa masih terjaga di bawah langit berbintang, memikirkan potensi besar yang terkandung dalam tanah Kimaam. Ia merasa terinspirasi untuk membawa ilmu yang ia dapatkan lebih jauh lagi, mungkin bahkan ke perguruan tinggi di luar Kimaam.

"Aku ingin mempelajari lebih lanjut tentang teknologi modern yang dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian tanaman Dambu tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional," ujar Josefa dengan penuh tekad.

"Tapi, bagaimana dengan keluargamu?" tanya Didimus, mengingatkan pada tantangan yang mungkin dihadapi Josefa. "Mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami ambisimu untuk mengejar ilmu pertanian di luar Kimaam."

Josefa mengangguk, menyadari kekhawatiran Didimus. "Aku tahu, tapi aku harus mencoba. Aku ingin membawa perubahan positif bagi komunitas kita dan melestarikan budaya lokal yang kaya ini."

Didimus menepuk bahu Josefa dengan lembut. "Aku mendukungmu, Josefa. Kau punya hati yang besar dan tekad yang kuat. Pesta Adat Dambu ini adalah titik awal yang penting dalam perjalananmu. Jangan pernah ragu untuk mengejar impianmu."

Josefa tersenyum, merasa semakin bersemangat. "Terima kasih, Didimus. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tetap setia pada nilai-nilai yang telah aku pelajari, sambil terbuka pada inovasi dan teknologi yang dapat membantu mewujudkan impian kita memajukan pertanian di kampung halamanku."

Dengan semangat yang semakin menggebu, Josefa merasa siap untuk menghadapi tantangan apapun demi mencapai tujuan mulianya. Pesta Adat Dambu telah menjadi titik awal yang penting dalam perjalanannya menuju pengetahuan yang lebih dalam tentang tanah dan budaya Papua.

(Bersambung)

Merauke, 18 September 2024

Agustinus Gereda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun