Di sebuah kota kecil di Papua, yang tersembunyi di balik lekukan-lekukan bukit hijau yang permai, Robertus memandang langit yang senja, berwarna merah lembayung seperti luka yang belum sembuh. Matahari tenggelam perlahan, meninggalkan jejak-jejak keemasan di langit yang semakin gelap, seolah-olah menggambarkan kehidupan Robertus yang kian meredup. Di usia 27 tahun, dia telah merasakan pahitnya kehilangan pekerjaan, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi padanya.
Kota kecil ini, yang dahulu penuh dengan harapan dan keceriaan, kini sepi dan murung. Krisis ekonomi telah menghantam dengan kekuatan yang tak terduga, memaksa banyak perusahaan tutup, dan meninggalkan ratusan orang, termasuk Robertus, tanpa pekerjaan. Di tengah kesunyian sore itu, Robertus berdiri di depan rumah kayunya yang sederhana, meresapi kesunyian yang terasa lebih dalam dari biasanya.
Rumahnya, yang dikelilingi oleh pepohonan rindang dan tanaman bunga liar yang bermekaran, seolah-olah menjadi satu-satunya tempat ia bisa menemukan ketenangan. Namun, hari itu, ketenangan pun terasa tak cukup untuk meredakan kegundahannya. Dengan langkah berat, ia memasuki rumah, meninggalkan senja di luar, namun membawa kesuraman itu ke dalam hatinya.
Ibu Robertus, seorang wanita yang bijak dengan rambut yang telah memutih oleh waktu, menatap anaknya dengan tatapan yang sarat dengan kasih sayang dan keprihatinan. Ia tahu betul bahwa hati Robertus sedang dilanda badai. Namun, ia percaya bahwa badai ini akan berlalu, seperti halnya badai-badai sebelumnya yang pernah menghantam kehidupan mereka.
"Robertus, ingatlah nasihat Ibu," kata sang ibu dengan lembut, suaranya bagai alunan lagu yang menenangkan jiwa. "Jangan pernah menyerah. Optimisme adalah kunci untuk keluar dari kegelapan."
Robertus hanya mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi keraguan. Kata-kata ibunya selalu menjadi cahaya dalam gelap, tetapi kali ini, kegelapan terasa terlalu pekat untuk diterangi. Dengan penuh kekhawatiran, ia menghabiskan malam itu dalam diam, merenungkan masa depan yang tampak suram.
Hari-hari berlalu, namun kesulitan yang Robertus hadapi semakin membesar, seperti ombak yang terus menghantam karang tanpa henti. Tabungannya yang sedikit demi sedikit habis membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan. Setiap kali ia mencoba mencari pekerjaan baru, pintu-pintu tertutup di hadapannya, meninggalkan jejak kehampaan di hatinya.
Namun, di tengah kegelapan itu, ada satu cahaya kecil yang terus menyala, meski redup---Mardini, sahabat karib Robertus. Mardini adalah seorang wanita yang penuh semangat dan ceria, selalu mampu melihat sisi terang dari setiap masalah. Meski ia juga mengalami kesulitan akibat krisis, semangatnya tetap berkobar, dan ia tidak pernah membiarkan Robertus terbenam dalam keputusasaan.
"Robertus, kau punya bakat," kata Mardini suatu sore ketika mereka duduk di tepi sungai yang mengalir tenang di pinggir kota. "Kau punya kemampuan menulis yang hebat. Mengapa tidak mencoba menulis untuk media? Siapa tahu, ini bisa menjadi jalan keluarmu dari kesulitan ini."
Robertus menatap sahabatnya dengan ragu. Menulis? Ia memang selalu menikmati menulis, tetapi ia tidak pernah membayangkan bisa mencari nafkah dari itu. Namun, melihat semangat di mata Mardini, ia merasa ada secercah harapan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.
"Bagaimana jika aku gagal?" tanya Robertus, suaranya nyaris tenggelam dalam suara gemericik air sungai.