Menurut ajaran Gereja Katolik, kualitas musik liturgi harus melibatkan keseimbangan antara seni musik dan aturan liturgi. Musik yang terlalu menonjolkan gaya pribadi atau genre yang tidak sesuai dengan sifat liturgi dapat mengganggu konsentrasi umat dalam beribadah dan menciptakan suasana yang kurang sakral. Menurut Joseph Gelineau (1982), dalam Liturgical Music Today, musik yang dinyanyikan dalam liturgi harus mencerminkan suasana doa dan tidak boleh mengalihkan perhatian umat dari fokus utama: Tuhan. Karena itu, penilaian terhadap musik liturgi harus memperhatikan keseimbangan antara kualitas artistik dan kesucian.
Selain itu, setiap penampilan dalam Pesparawi harus dinilai berdasarkan 'kesesuaian dengan teks liturgi'. Teks-teks liturgi memiliki kedalaman teologis yang harus dihormati, dan nyanyian yang digunakan harus menonjolkan makna spiritual dari teks tersebut. Menurut Paus Benediktus XVI (2000), dalam The Spirit of the Liturgy, liturgi harus memancarkan keindahan rohani yang membantu umat memasuki misteri ilahi. Musik yang tidak sesuai dengan teks atau yang tidak memuliakan Tuhan, secara fundamental mengabaikan tujuan liturgi.
Dalam konteks Pesparawi, penilaian ini tidak hanya mencakup keindahan suara dan teknik menyanyi, tetapi juga sejauh mana para peserta dapat menyampaikan makna spiritual dari nyanyian liturgi melalui suara mereka. Musik harus dipersembahkan dengan sikap penuh hormat, dengan menyadari bahwa nyanyian tersebut adalah bagian dari doa dan persembahan kepada Tuhan.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Tantangan dalam penyelenggaraan Pesparawi: Setiap penyelenggaraan Pesparawi, meskipun bertujuan memuliakan Tuhan melalui nyanyian yang berkualitas, sering dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya adalah 'ketidakpuasan terhadap hasil penjurian.' Ketika para peserta telah berlatih keras dan memberikan penampilan terbaik mereka, namun tidak berhasil memenangkan kompetisi, perasaan kekecewaan sering muncul. Menurut Joseph Gelineau (1982), "seni liturgi, termasuk musik, selalu berusaha mencapai keseimbangan antara estetika dan spiritualitas. Namun, penilaian terhadap seni semacam ini tidak selalu dapat memuaskan semua pihak, karena sifatnya yang subjektif." Ketidakpuasan ini sering menciptakan ketegangan, tetapi harus diingat bahwa tujuan utama Pesparawi adalah 'memuji dan memuliakan Tuhan', bukan sekadar kompetisi.
Tantangan lain yang kerap muncul adalah 'kesulitan menjaga kualitas nyanyian yang benar-benar sesuai dengan standar liturgi Gereja Katolik.' Pesparawi sering dihadapkan pada dilema antara menampilkan penampilan yang artistik dan menarik, namun tetap taat pada aturan liturgi. Menurut Anthony Ruff (2007), dalam Sacred Music and Liturgical Reform: Treasures and Transformations, "musik liturgi memiliki aturan yang ketat untuk memastikan kesakralan dan spiritualitasnya, dan tantangan terbesar adalah menjaga agar musik tetap memenuhi standar tersebut tanpa kehilangan daya tarik estetisnya." Ini menjadi tantangan besar bagi penyelenggara dan peserta untuk tetap sejalan dengan prinsip-prinsip liturgi sambil menghadirkan penampilan yang memukau.
Harapan untuk pengembangan di masa depan: Melihat ke depan, harapan bagi perkembangan Pesparawi adalah 'peningkatan kualitas nyanyian liturgi,' baik dari segi teknis maupun spiritual. Pesparawi dapat menjadi sarana yang efektif untuk mendidik dan membimbing para peserta tentang pentingnya musik liturgi yang benar-benar sakral, dengan menekankan 'ketaatan pada aturan liturgi.' Menurut Sacrosanctum Concilium (1963), musik liturgi harus diarahkan untuk membantu umat memasuki suasana doa dan partisipasi aktif dalam liturgi. Maka, penyelenggaraan Pesparawi di masa mendatang perlu terus memberikan pelatihan kepada para peserta agar mereka memahami makna nyanyian liturgi, bukan sekadar mengikuti ajang kompetisi.
Harapan lainnya adalah 'peningkatan partisipasi umat.' Pesparawi tidak hanya ajang untuk kelompok paduan suara yang berkompetisi, tetapi juga kesempatan bagi seluruh umat untuk 'terlibat secara aktif' dalam liturgi melalui musik. Penekanan pada partisipasi aktif umat ini penting, karena liturgi pada dasarnya adalah karya bersama dari seluruh umat. Menurut Thomas Day (1992), dalam Why Catholics Can't Sing: The Culture of Catholicism and the Triumph of Bad Taste, "liturgi yang kuat dan bermakna membutuhkan partisipasi aktif dari semua orang, bukan hanya sekelompok penyanyi terlatih." Dengan demikian, Pesparawi di masa depan diharapkan dapat melibatkan lebih banyak umat dalam pengalaman spiritual yang mendalam melalui musik.
Penutup
Pesparawi Katolik IV di Kabupaten Merauke telah menjadi bukti nyata bagaimana musik dapat menjadi sarana memuji dan memuliakan Tuhan, sekaligus menjaga kualitas liturgi sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Acara ini tidak hanya sekadar ajang kompetisi paduan suara, tetapi juga kesempatan bagi umat untuk memperdalam iman melalui nyanyian yang sakral dan bermutu. Meskipun tantangan seperti ketidakpuasan terhadap hasil penjurian dan kesulitan menjaga standar liturgi tetap ada, Pesparawi terus menawarkan harapan untuk peningkatan kualitas musik liturgi dan partisipasi umat di masa depan.
Melalui Pesparawi, kita diajak untuk mengingat bahwa nyanyian dalam liturgi adalah doa yang menyentuh hati dan membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Dengan semangat ini, Pesparawi Katolik diharapkan terus berkembang sebagai perayaan iman yang menguatkan komunitas Gereja, memuliakan nama Tuhan, menjunjung tinggi keindahan serta kesucian liturgi, dan menjaga standar music liturgi yang benar dan bermutu. Semoga Pesparawi di masa mendatang semakin menjadi sarana yang efektif dalam memperkaya kehidupan rohani umat, serta menjaga standar musik liturgi yang benar dan bermutu. (*)