Maria terperanjat melihat kondisi anak itu. Hatinya hancur berkeping-keping, teringat akan luka yang pernah ia alami sendiri. Dia tahu, dia harus melakukan sesuatu.
"Primus, apakah seseorang menyakitimu?" tanyanya, suaranya bergetar.
Primus menatapnya dengan mata yang dipenuhi ketakutan dan rasa malu. Dia menggelengkan kepalanya, tetapi air matanya mulai mengalir, mengungkapkan kebenaran yang tak bisa disembunyikan lagi.
Maria menunduk, menyeka air mata di pipi anak itu. "Kau tidak perlu takut, Primus. Aku ada di sini. Aku akan melindungimu."
Maria merasakan luka lama di hatinya terbuka lagi, darahnya mengalir, tetapi kali ini dia tidak sendirian. Dia memiliki seseorang yang harus dia lindungi, dan itu memberinya kekuatan yang luar biasa.
Malam itu, Maria menghubungi Diana, sahabatnya sejak kecil. Mereka duduk di teras rumah Maria, yang terletak di pinggir hutan. Angin malam yang sejuk menyapu rambut mereka, sementara suara serangga malam mengisi keheningan.
"Diana, aku tidak tahu harus bagaimana," kata Maria, suaranya penuh dengan kecemasan. "Aku tidak bisa diam saja melihat Primus menderita. Dia hanya seorang anak kecil, tetapi dia telah mengalami begitu banyak hal yang buruk."
Diana menatap Maria dengan penuh pengertian. "Aku tahu kau peduli padanya, Maria. Dan aku tahu ini membangkitkan kenangan masa lalu yang ingin kau lupakan. Tetapi mungkin, inilah saatnya kau berbicara. Tidak hanya untuk Primus, tetapi juga untuk dirimu sendiri."
Maria terdiam. Dia tahu Diana benar. Selama ini, dia menahan segala perasaannya di dalam, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tetapi sekarang, luka itu sudah terlalu dalam untuk diabaikan.
"Aku hanya ingin melindungi Primus," kata Maria, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tidak ingin dia mengalami apa yang aku alami."
Diana meraih tangan Maria dan menggenggamnya erat-erat. "Kau tidak sendirian, Maria. Aku ada di sini bersamamu. Kita akan melewati ini bersama."