Figur otoritas, seperti orang tua, guru, atau dokter, memiliki peran penting dalam kehidupan, menjadi sumber kebenaran dan panduan yang dihormati. Mereka membentuk karakter dan potensi individu serta memengaruhi keputusan dan keyakinan. Namun, kekuatan otoritas ini bisa menjadi dua sisi mata pedang---mendukung pengembangan pribadi atau mengendalikan jika individu tidak diberdayakan untuk berpikir kritis. Artikel ini menganalisis dampak peran guru di sekolah dan dokter di rumah sakit, menyoroti keseimbangan antara bimbingan dan pengendalian.
Figur Otoritas Guru di Sekolah
Peran guru sebagai pembimbing: Guru adalah salah satu figur otoritas paling berpengaruh dalam kehidupan siswa. Peran mereka tidak hanya terbatas pada penyampaian materi pelajaran, tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu siswa mencapai potensi terbaik mereka. Menurut Vygotsky (1978), dalam Mind in Society, pembelajaran terjadi paling efektif ketika ada interaksi sosial antara guru dan siswa. Guru bertindak sebagai pemandu yang membantu siswa melalui proses "zona perkembangan proksimal"---wilayah antara apa yang sudah diketahui oleh siswa dan apa yang belum bisa mereka capai sendiri. Di sini, guru tidak hanya mengajar tetapi juga memfasilitasi perkembangan siswa dengan memberikan tantangan yang sesuai dan dukungan yang diperlukan. Bimbingan dari guru juga menyangkut pengembangan karakter dan nilai-nilai positif dalam diri siswa. Menurut Eric Jensen (2005), dalam Teaching with the Brain in Mind, guru yang memahami dan menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan otak siswa dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran yang holistik. Misalnya, seorang guru yang mengenali potensi unik setiap siswa dapat mendorong mereka mengejar minat dan bakat mereka, yang pada gilirannya membangun rasa percaya diri dan motivasi intrinsik. Contoh lain, peran guru sebagai pembimbing adalah ketika guru memberikan umpan balik konstruktif yang berfokus pada proses, bukan hasil akhir. Dengan demikian, guru dapat membantu siswa sukses secara akademis sekaligus berkembang menjadi individu yang terbuka terhadap tantangan baru.
Ketika bimbingan menjadi pengendalian: Ada kalanya otoritas guru bisa berubah menjadi pengendalian yang berlebihan (otoriter?). Ketika guru terlalu memaksakan pandangan atau metode tertentu tanpa memberi ruang bagi siswa untuk berpikir dan bereksplorasi sendiri, ia bisa menjadi pengendali yang membatasi kreativitas dan inisiatif siswa. Model pendidikan seperti ini dikritik oleh Paulo Freire (1970) sebagai banking concept of education, yaitu guru dianggap sebagai sosok yang serbatahu, dan siswa hanya menjadi penerima pasif dari informasi, sehingga mematikan kreativitas siswa, dan menghalanginya untuk berpikir kritis. Pengendalian yang berlebihan dari guru dapat menyebabkan tekanan akademis yang tidak sehat bagi siswa. Menurut Michael Thompson (2004), dalam The Pressured Child, tuntutan yang terlalu tinggi dapat menimbulkan stres dan kecemasan siswa, yang akhirnya menghambatnya untuk belajar secara efektif. Selain itu, pengendalian yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan siswa mengembangkan pemikiran kritis. Menurut Alfie Kohn (1993), dalam Punished by Rewards, pendekatan yang terlalu berorientasi pada penghargaan dan hukuman dapat membuat siswa terlalu fokus pada hasil akhir daripada proses. Siswa mungkin menjadi kurang mau mengambil risiko atau mengajukan pertanyaan yang tidak konvensional, yang merupakan inti pemikiran kritis dan inovasi.
Figur Otoritas Dokter di Rumah Sakit
Peran dokter sebagai pembimbing: Dokter adalah salah satu figur otoritas yang paling dihormati dalam masyarakat karena pengetahuan dan keahliannya dalam bidang medis. Mereka bertugas mendiagnosis dan menyembuhkan penyakit, dan memiliki peran penting membimbing pasien menuju pemulihan. Sebagai pembimbing, dokter memberikan nasihat medis yang sangat dibutuhkan pasien untuk membuat keputusan yang tepat mengenai kesehatannya. Menurut Eric Topol (2015), dalam The Patient Will See You Now, peran dokter telah mengalami transformasi dari sekadar penyedia layanan medis menjadi pemandu kesehatan yang membantu pasien menavigasi opsi-opsi pengobatan yang tersedia. Panduan dokter dapat menjadi faktor yang menyelamatkan nyawa, terutama dalam situasi darurat. Misalnya, dalam kasus serangan jantung, dokter yang memberikan arahan segera dan tepat dapat meningkatkan peluang kelangsungan hidup pasien. Selain itu, nasihat medis dokter dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara keseluruhan. Menurut Atul Gawande (2014), dalam Being Mortal: Medicine and What Matters in the End, dokter dapat membantu pasien menghadapi penyakit terminal dengan memberikan panduan yang berfokus pada perpanjangan hidup, dan menjalani sisa hidup dengan kualitas terbaik.
Ketika nasihat medis menjadi pengendalian: Peran dokter sebagai pembimbing dapat berubah menjadi pengendalian ketika otoritasnya digunakan tanpa memberikan ruang bagi pasien (otoriter?) untuk berpartisipasi aktif dalam keputusan medisnya. Dalam banyak kasus, dokter mungkin merasa bahwa dia tahu yang terbaik bagi pasien, sehingga cenderung memberikan instruksi yang harus diikuti tanpa diskusi lebih lanjut. Hal ini terutama terlihat dalam situasi yang melibatkan keputusan besar, seperti apakah pasien harus menjalani operasi atau prosedur medis lainnya. Misalnya, ketika pasien didiagnosis dengan penyakit ginjal yang memerlukan operasi, seorang dokter mungkin secara otomatis menyarankan operasi tanpa mempertimbangkan opsi lain atau pendapat pasien. Hal ini dapat menyebabkan pasien merasa tertekan mengikuti keputusan dokter tanpa memahami sepenuhnya risiko dan manfaat tindakan tersebut.
Dampak dari pengendalian ini sangat merugikan. Pasien yang tidak diberi kesempatan untuk bertanya atau mempertimbangkan opsi lain mungkin kehilangan kepercayaan pada dokter atau merasa tidak memiliki kontrol atas kesehatannya. Menurut studi oleh Charles et al. (1999), dalam Social Science & Medicine, partisipasi aktif pasien dalam pengambilan keputusan medis sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang pengobatan. Dengan demikian, pasien cenderung memiliki kepuasan yang lebih tinggi dengan hasil pengobatannya, serta lebih berkomitmen pada rencana perawatan yang disepakati. Selain itu, ketergantungan penuh pada keputusan dokter dapat mengurangi kemampuan pasien mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang kondisinya dan pilihan perawatan yang tersedia. Ini dapat mengarah pada situasi ketika pasien menjadi pasif dan tidak berdaya, hanya mengikuti perintah tanpa benar-benar memahami implikasinya. Menurut Elizabeth Cohen (2010), dalam The Empowered Patient, pentingnya pasien menjadi advokat bagi dirinya sendiri dan terlibat dalam setiap langkah pengambilan keputusan medis. Sebaiknya pasien diberi ruang untuk meminta informasi tambahan, mencari pendapat lain, dan mempertimbangkan alternatif sebelum memutuskan prosedur medis yang serius.
Pentingnya Pemikiran Kritis dalam Menghadapi Figur Otoritas
Dalam menghadapi figur otoritas guru dan dokter, penting bagi individu mengembangkan pemikiran kritis. Hal ini dapat membantu mengambil keputusan yang lebih baik, dan memastikan bahwa bimbingan tersebut tidak diterima mentah-mentah tanpa dipertanyakan. Dengan pemikiran kritis, individu dapat menghormati otoritas sambil tetap mempertahankan kemampuan untuk mempertanyakan dan menganalisis informasi yang diberikan.
Pentingnya pemikiran kritis: Pemikiran kritis adalah kemampuan untuk menganalisis informasi secara mendalam, mempertanyakan asumsi, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang sebelum membuat keputusan. Dalam konteks menghadapi figur otoritas, pemikiran kritis memungkinkan individu untuk menerima apa yang dikatakan oleh otoritas, mempertanyakan, dan mengevaluasi informasi tersebut berdasarkan bukti dan logika.
Dalam dunia pendidikan, pemikiran kritis adalah kunci bagi siswa untuk berkembang menjadi pembelajar yang mandiri dan mampu mengambil tanggung jawab atas pembelajarannya. Misalnya, ketika seorang guru memberikan instruksi atau pendapat, siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan mempertanyakan logika di balik instruksi tersebut, mencari pemahaman yang lebih dalam, dan mempertimbangkan berbagai alternatif sebelum mengambil tindakan. Di dunia medis, pemikiran kritis sangat penting bagi pasien. Pasien yang mengembangkan pemikiran kritis lebih mampu mengevaluasi nasihat medis, memahami risiko dan manfaat berbagai pilihan perawatan, dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhannya. Menurut Alfi Kohn (2010), dalam The Empowered Patient, pasien yang berpikir kritis cenderung lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan medis, lebih terlibat dalam perawatannya, dan memiliki hasil kesehatan yang lebih baik.
Cara mengembangkan pemikiran kritis tanpa merugikan figur otoritas: Mengembangkan pemikiran kritis tidak berarti mengabaikan atau merendahkan figur otoritas. Sebaliknya, menemukan keseimbangan antara menerima bimbingan yang diberikan dan mempertanyakan informasi yang disampaikan untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi individu tersebut.
Pertama, mendorong dialog terbuka antara individu dan figur otoritas. Dalam konteks pendidikan, guru harus menciptakan lingkungan sedemikian sehingga siswa merasa aman mengajukan pertanyaan dan mengekspresikan pendapatnya tanpa takut dihakimi.
Kedua, individu perlu dilatih untuk mengevaluasi informasi yang diterima, baik dari figur otoritas maupun sumber lain. Ini melibatkan memeriksa sumber informasi, mempertimbangkan bias, dan mencari bukti yang mendukung atau menentang klaim yang diberikan.
Ketiga, penting bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai perspektif sebelum membuat keputusan. Misalnya, dalam konteks medis, pasien didorong untuk mencari opini kedua atau ketiga dari dokter lain sebelum memutuskan prosedur medis yang serius. Ini membantu memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada pemahaman yang komprehensif tentang semua opsi yang tersedia.
Keempat, pemikiran kritis harus dilakukan dengan tetap menghargai figur otoritas. Ini berarti memahami bahwa otoritas memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berharga, dan menyadari bahwa mereka tidak kebal terhadap kesalahan atau bias. Dengan kata lain, pemikiran kritis tidak dimaksudkan untuk menentang otoritas, tetapi memastikan bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik berdasarkan analisis yang penuh pertimbangan.
Pemikiran kritis adalah keterampilan penting dalam berinteraksi dengan figur otoritas, seperti guru dan dokter. Individu perlu mengembangkan kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi agar dapat membuat keputusan yang tepat. Dalam pendidikan, pemikiran kritis membantu siswa menjadi pembelajar mandiri dan memahami instruksi lebih baik. Di bidang medis, ini memberikan pasien kepercayaan diri untuk terlibat dalam keputusan kesehatannya. Pemikiran kritis dapat memperkaya interaksi dengan otoritas, menjadikannya lebih bermakna dan berdampak positif pada pertumbuhan individu.
Merauke, 24 Agustus 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H