Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjuangan Memulihkan Martabat: Mempertahankan Hak Ulayat Tanah Masyarakat Adat di Merauke

31 Juli 2024   06:41 Diperbarui: 1 Agustus 2024   03:34 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wilayah Merauke dikenal dengan keanekaragaman hayati yang kaya serta kebudayaan masyarakat adat yang unik. Masyarakat adat di Merauke, yang dikenal dengan nama Marind-Anim, terdiri atas berbagai suku asli yang telah mendiami daerah ini selama berabad-abad. Mereka hidup secara tradisional dan memiliki keterikatan kuat dengan tanah leluhur mereka yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan, tetapi juga warisan budaya dan identitas.

Isu atau masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat adat di Merauke adalah hilangnya tanah leluhur mereka. Salah satu penyebab utama adalah program transmigrasi yang digencarkan pemerintah pusat sejak zaman Orde Baru. Eksploitasi hutan oleh investor luar, khususnya melalui penanaman kelapa sawit, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan pengurangan drastis lahan yang dapat digunakan oleh masyarakat adat.

Perpindahan kepemilikan tanah ke tangan pihak luar, terutama perusahaan besar dan transmigran, telah membuat mayoritas tanah di Merauke tidak lagi dimiliki oleh masyarakat adat. Akibatnya, masyarakat asli hampir tidak memiliki tanah lagi yang bisa mereka gunakan untuk pertanian, berburu, atau aktivitas tradisional lainnya. Kehilangan ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga merusak struktur sosial dan budaya masyarakat adat, karena tanah merupakan bagian integral dari identitas dan keberlangsungan hidup mereka.

Namun, di tengah situasi yang suram ini, ada segelintir masyarakat adat Merauke yang berpikir progresif dan berjuang demi masa depan anak cucu mereka. Artikel ini berusaha menjelaskan perjuangan tersebut. Melalui penjelasan mengenai sejarah, tantangan, dan strategi perjuangan, artikel ini berusaha mengangkat kesadaran akan pentingnya pemulihan martabat masyarakat adat melalui pengembalian tanah leluhur mereka. Dengan demikian, tidak hanya kesejahteraan ekonomi yang dapat dipulihkan, tetapi juga identitas budaya dan sosial masyarakat adat dapat dijaga dan diperkuat.

Sejarah dan Konteks

Sejarah penguasaan tanah di Merauke oleh pihak luar dimulai sejak masa kolonial Belanda dan semakin intensif pada era Orde Baru dengan kebijakan transmigrasi yang digencarkan oleh pemerintah pusat. Kebijakan transmigrasi ini bertujuan mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dengan memindahkan penduduk ke daerah-daerah kurang penduduk seperti Papua, termasuk Merauke, yang memiliki lahan pertanian yang sangat potensial. 

Melalui program transmigrasi, banyak lahan di Merauke dialokasikan untuk para transmigran. Akibatnya, masyarakat adat setempat kehilangan sebagian besar tanah leluhur. Selain itu, banyak masyarakat adat yang menjual tanah mereka kepada perusahaan atau individu tertentu, sering karena tekanan ekonomi atau ketidakpahaman tentang nilai sebenarnya dari tanah mereka.

Program transmigrasi ini menyebabkan alokasi lahan yang signifikan kepada para transmigran, yang sebagian besar berasal dari Jawa, serta masyarakat lain yang datang spontan dari Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan daerah lainnya. Transmigrasi ini secara dramatis mengubah demografi dan kepemilikan tanah di Merauke. Lahan-lahan yang dulunya dimiliki oleh masyarakat adat secara turun-temurun, beralih ke tangan para pendatang, sering tanpa kompensasi yang adil atau pemahaman yang memadai tentang konsekuensi jangka panjang bagi masyarakat adat.

Selain program transmigrasi, perusahaan-perusahaan besar juga berperan dalam pengambilalihan tanah leluhur. Eksploitasi sumber daya alam, khususnya untuk perkebunan kelapa sawit, menjadi penyebab utama perpindahan kepemilikan tanah. Banyak perusahaan memperoleh izin konsesi dari pemerintah pusat tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat adat. Pengambilalihan ini sering disertai dengan konflik, intimidasi, dan manipulasi hukum yang merugikan masyarakat adat.

Dampak Penguasaan Tanah

Penguasaan tanah oleh transmigran dan perusahaan luar memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat adat di Merauke. Dampak ini mencakup berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun budaya.

Perpindahan kepemilikan tanah menyebabkan masyarakat adat kehilangan sumber penghidupan utama mereka. Tanah yang dulunya digunakan untuk bertani, berburu, dan kegiatan ekonomi tradisional lainnya kini tidak lagi dapat diakses. Kehilangan tanah ini memaksa masyarakat adat untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan atau mencari pekerjaan lain yang sering tidak sejalan dengan keterampilan dan pengetahuan tradisional mereka, sehingga menurunkan kualitas hidup mereka.

Secara sosial, perpindahan kepemilikan tanah menimbulkan disintegrasi komunitas adat. Menurut McKenna (2015), dalam Losing Ground: Indigenous Rights and Mining in Papua, proses transmigrasi dan pengambilalihan tanah oleh perusahaan menyebabkan pemisahan keluarga dan komunitas adat. Hal ini menimbulkan konflik sosial, yang disebabkan oleh perbedaan budaya, adat, dan kepentingan ekonomi.

Dari segi budaya, kehilangan tanah berarti kehilangan identitas dan warisan budaya. Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya sumber ekonomi tetapi juga pusat kehidupan spiritual dan sosial. Dalam Culture and Conservation in Papua (2012), disebutkan bahwa upacara adat, mitos, dan cerita rakyat yang berkaitan dengan tanah menjadi terancam punah ketika masyarakat adat kehilangan akses ke tanah leluhur mereka.

 

Perjuangan Masyarakat Adat

Perjuangan masyarakat adat Merauke untuk mempertahankan tanah leluhur mereka tampaknya masih terbatas pada segelintir orang-orang yang berpikiran progresif dan ingin mempertahankan tanah leluhurnya demi masa depan anak cucu mereka. Meskipun demikian, riak-riak kecil perjuangan tersebut tidak boleh diremehkan. Hal ini dapat dilihat melalui diskusi LSM dan LMA di Tanah Marind-Anim.   

Masyarakat adat di Merauke menggunakan berbagai metode dan strategi dalam perjuangan mereka. Salah satu cara utama adalah melalui jalur hukum. Meskipun proses hukum ini sering panjang dan berliku, beberapa kasus berhasil dimenangkan dan tanah leluhur dapat dikembalikan.

Aksi protes dan demonstrasi juga sering digunakan sebagai metode untuk menarik perhatian publik dan menekan pihak berwenang. Dalam banyak kasus, masyarakat adat menggelar protes damai (dengan memasang umbul-umbul dari pucuk kelapa) di lokasi-lokasi yang menjadi sengketa tanah, atau di kantor-kantor pemerintah setempat. Protes-protes ini sering mendapat perhatian media dan menimbulkan tekanan politik yang dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa.

Salah satu kasus penting yang mencerminkan perjuangan masyarakat adat Merauke adalah perjuangan melawan pengambilalihan tanah oleh perusahaan kelapa sawit. Dalam laporan Colchester (2011): Land Grabs, Biofuel, and Oil Palm Expansion in Indonesia: The State of Play, disebutkan bahwa melalui upaya hukum dan advokasi, orang-orang Marind berhasil mendapatkan sebagian tanah mereka kembali setelah perusahaan yang terlibat terbukti melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.

Kasus lainnya adalah perjuangan masyarakat adat di kampung Zanegi, yang tanahnya diambil alih untuk proyek perkebunan tebu. Menurut laporan Tebay (2009), Human Rights and Indigenous Peoples in Papua, masyarakat Zanegi melakukan aksi protes dan menggugat pemerintah serta perusahaan yang terlibat. Meskipun prosesnya panjang, mereka berhasil mendapatkan perhatian nasional dan internasional yang akhirnya memaksa pemerintah untuk melakukan mediasi dan sebagian tanah mereka dikembalikan.

Tantangan yang Dihadapi

Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh masyarakat adat di Merauke adalah hambatan hukum dan regulasi. Meskipun Indonesia memiliki berbagai peraturan yang mengakui hak-hak masyarakat adat, implementasinya sering tidak efektif. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, misalnya, memberikan pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat, namun pelaksanaannya sering terganjal oleh birokrasi dan kepentingan politik.

Tekanan ekonomi dan politik juga menjadi tantangan besar bagi perjuangan masyarakat adat. Banyak pihak berkepentingan, termasuk perusahaan besar dan pemerintah serta pejabat-pejabat lainnya, yang memiliki kepentingan ekonomi dalam penguasaan tanah di Merauke. 

Tekanan ekonomi datang dari janji-janji keuntungan finansial yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat adat, sering tanpa penjelasan tentang dampak jangka panjangnya. Banyak masyarakat adat yang tergiur oleh iming-iming pekerjaan dan infrastruktur, tanpa menyadari bahwa mereka akan kehilangan tanah dan mata pencaharian mereka. Sering, perusahaan juga menggunakan strategi pembagian dan penaklukan dengan menawarkan kompensasi yang tidak adil dan memanfaatkan kelemahan hukum untuk mengamankan tanah yang mereka inginkan.

Dampak sosial dan budaya dari perjuangan untuk mempertahankan tanah leluhur juga signifikan. Kehilangan tanah menyebabkan disintegrasi sosial dalam komunitas adat. Keluarga-keluarga kehilangan ikatan dengan tempat yang memiliki nilai spiritual dan historis. Selain itu, budaya masyarakat adat yang sangat terkait dengan tanah juga terancam punah. 

Menurut Weitzner (2011), dalam  Indigenous Peoples, Natural Resources and Governance, upacara adat, mitos, dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun bergantung pada akses ke tanah leluhur. Ketika tanah tersebut diambil alih, masyarakat adat kehilangan akses untuk melakukan praktik-praktik budaya mereka, yang mengakibatkan erosi identitas budaya.

Harapan dan Prospek Masa Depan

Potensi dan peluang keberhasilan dalam mempertahankan tanah leluhur bagi masyarakat adat Merauke semakin besar dengan adanya berbagai dukungan dan kesadaran global terhadap hak-hak masyarakat adat. Menurut Colchester & Lohmann (1993), dalam The Struggle for Land and the Fate of the Forests, peningkatan kesadaran global dan dukungan internasional terhadap hak-hak masyarakat adat memberikan tekanan kepada pemerintah dan perusahaan untuk memperhatikan hak-hak ini.

Peluang keberhasilan juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang semakin inklusif terhadap hak-hak masyarakat adat. Misalnya, dalam laporan Goodland (2006), Indigenous Peoples' Rights and the Extractive Industries, kebijakan nasional dan internasional yang mendukung perlindungan hak-hak adat, seperti Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, memberikan kerangka hukum yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka. 

Selain itu, semakin banyaknya organisasi non-pemerintah (NGO) dan LSM yang mendukung perjuangan masyarakat adat memberikan bantuan teknis, hukum, dan advokasi yang sangat diperlukan. Dukungan dari berbagai organisasi ini membantu memperkuat posisi tawar masyarakat adat dalam negosiasi dengan pemerintah dan perusahaan.

Untuk memaksimalkan peluang keberhasilan, masyarakat adat dan pendukungnya perlu mengambil langkah-langkah strategis yang terencana dan terkoordinasi. Beberapa rekomendasi langkah-langkah strategis, antara lain memperkuat kapasitas hukum dan advokasi melalui pelatihan hukum agar masyarakat memahami hak-hak mereka dan mekanisme hukum untuk mempertahankan tanah leluhur. 

Membangun aliansi dengan LSM dan organisasi nasional maupun internacional untuk memberikan tekanan global kepada pemerintah dan perusahaan. menggunakan media dan teknologi untuk kampanye advokasi dan informasi untuk meningkatkan kesadaran global tentang isu-isu yang dihadapi masyarakat adat. Mengembangkan ekonomi alternatif yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.

Paparan di atas menunjukkan, penguasaan tanah oleh pihak luar bukan hanya isu kepemilikan, melainkan persoalan hak asasi dan keberlanjutan budaya masyarakat adat. Karena itu, perjuangan segelintir masyarakat adat Merauke yang berpikir progresif sangat penting untuk masa depan anak cucu mereka. Perjuangan ini tidak hanya tentang mempertahankan hak ulayat tanah mereka, tetapi juga mempertahankan identitas dan martabat mereka.

Artikel ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Kajian yang komprehensif diperlukan untuk memahami secara penuh dinamika dan tantangan yang dihadapi, serta merumuskan langkah-langkah strategis yang efektif. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, masyarakat adat Merauke dapat lebih optimis dalam perjuangan memulihkan martabat dan menjaga kelangsungan budaya serta identitas mereka bagi generasi mendatang. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun